Share

2. Tatapan yang Menusuk

Author: Sandra Dhee
last update Last Updated: 2025-10-10 15:12:17

Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.

Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.

“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.

Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.

Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.

Ia melangkah menghampiri Rose, menyodorkan tangan seperti yang dilakukan suami penyayang di hadapan tamu-tamunya.

Seperti biasanya.

“Ayo, sayang. Semua menunggu.”

Rose menatap tangan itu. Dalam hatinya, ia ingin menepis, ingin berteriak dan mengungkap semuanya di depan publik. Tentang balkon, tentang Giselle, dan tentang ciuman yang menghancurkan lima tahun kehidupannya. Namun otaknya masih bekerja lebih cepat daripada emosinya.

Kamera ada di mana-mana. Wartawan menunggu setiap gerakan mereka. Satu saja langkahnya salah, keluarganya akan menjadi headline keesokan paginya.

Rose menegakkan tubuhnya, menarik napas panjang, dan menyentuh tangan Noah dengan lembut.

“Baiklah.”

Keduanya berjalan menuju panggung, diiringi tepuk tangan dan sorakan.

Di atas meja kristal, kue tiga tingkat dengan ukiran mawar merah anggur berdiri megah. Di atasnya terdapat tulisan elegan: Happy 5th Anniversary, Noah & Rose.

Rose menatap tulisan itu lama. Lima tahun yang tampak sempurna, kini terasa seperti sandiwara palsu baginya.

“Noah dan Rose, semoga cinta kalian abadi selamanya,” ujar MC, diikuti sorak dan teriakan bahagia para tamu.

Rose tersenyum tipis, menatap Noah yang berdiri di sampingnya. “Abadi?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.

Noah meliriknya singkat, mencoba tersenyum. “Selalu, sayang.”

Tatapan Rose kembali menajam. Ia tahu senyum itu palsu. Tapi ia tidak akan memberikan kepuasan bagi Noah malam ini. Tidak dengan air mata, tidak dengan amarah sedikitpun. Ia akan berpura-pura tak tahu, hingga waktunya tepat.

“Baiklah,” bisiknya pelan. “Kita tiup lilinnya.”

Mereka menunduk bersama. Tersenyum. Menghitung hingga tiga. Dan meniup lilin bersama hingga padam.

Semua bersorak riuh. Sangat kontras dengan hati Rose yang ingin menjerit dalam diamnya.

Pesta berlanjut hingga hampir tengah malam. Rose memainkan perannya dengan sempurna. Ia tertawa saat perlu, menatap penuh cinta saat kamera menyorot, dan menjawab setiap ucapan selamat dengan elegan. Tapi di antara gelas-gelas sampanye dan denting musik, pikirannya terus melayang ke balkon itu.

Setiap kali tatapannya bertemu dengan Noah, ia hanya memberikan senyum tipis, tapi matanya tak lagi hangat. Tatapan itu menusuk, seolah berkata tanpa suara. Aku tahu semuanya.

Noah mulai gelisah. Setiap senyum Rose kini terasa seperti ancaman terselubung. Namun ia tak bisa mundur. Tidak malam ini.

Apalagi saat Giselle berpamitan kepada mereka, Rose menanggapinya dengan ramah. Terlalu ramah sehingga membuat Noah sesak nafas mengingat apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka.

Ketika akhirnya MC mengumumkan acara selesai dan tamu mulai meninggalkan ballroom, Rose mengambil kesempatan untuk keluar terlebih dahulu. Ia butuh udara.

Langit malam di luar hotel tampak hitam pekat, dihiasi bintang samar. Angin dingin berembus lembut, menyapu pipinya yang masih hangat oleh emosi. Ia berdiri di teras luar, memegang segelas air putih, yang ironisnya, bukan sampanye, karena ia butuh sesuatu yang jernih, bukan memabukkan.

Ia menatap ke arah taman hotel yang diterangi lampu-lampu kecil. Di sana, ia bisa melihat beberapa staf media yang sibuk membereskan peralatan mereka.

Tak ada yang aneh, namun salah satu dari mereka menarik perhatiannya.

Seorang pria muda, berkaus hitam dan jaket denim, tengah memeriksa hasil foto di kameranya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru itu yang membuatnya tampak alami di tengah pesta formal. Ia tidak mengenakan jas seperti tamu lain, tapi ada pesona tenang pada wajahnya. Sangat tenang, tapi tajam.

Rose mengenal sebagian besar wartawan yang sering meliput acara keluarganya, tapi wajah pria itu cukup asing.

Ia menunduk, memeriksa layar kameranya, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah Rose. Tatapan mereka bertemu.

Sekilas. Singkat. Namun cukup untuk menimbulkan percikan aneh di dada Rose.

Pria itu terkejut sesaat, lalu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya.

Rose mengalihkan pandangan, mencoba mengabaikan sensasi hangat yang tiba-tiba muncul. Ia mengutuk dirinya dalam hati. Baru saja disakiti oleh pengkhianatan, tapi jantungnya berdetak untuk seorang asing yang bahkan tidak ia kenal namanya.

Namun alam punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua jiwa yang sedang rapuh.

“Maaf, Nyonya Ferdinand?” suara itu datang pelan dari belakangnya.

Rose menoleh. Pria yang tadi dilihatnya kini berdiri beberapa langkah di depannya, memegang kameranya di tangan kanan.

“Ya?” suaranya datar tapi sopan.

“Saya Ethan.” Ia memperkenalkan diri dengan nada tenang. “Fotografer dari Society Vision Magazine. Saya bertugas mendokumentasikan acara malam ini. Saya hanya ingin bilang… Anda tampak sangat memukau di atas panggung tadi.”

Rose mengerjap pelan, tak terbiasa menerima pujian yang terdengar begitu tulus. “Terima kasih, Ethan.”

Ia mengangguk, lalu menatapnya sebentar. “Maaf kalau saya lancang. Tapi Anda terlihat… berbeda.”

“Berbeda bagaimana?”

Ethan menatapnya dengan mata tajam yang jujur, tanpa lapisan basa-basi. “Seperti seseorang yang tersenyum karena harus, bukan karena ingin.”

Rose terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga.

Ethan tampak menyadari ucapannya terlalu jujur. “Maaf, saya seharusnya tidak berkata seperti itu. Ini hanya kebiasaan fotografer, membaca ekspresi orang.”

Rose menghela napas kecil, senyum pahit menghiasi bibirnya. “Tidak apa-apa. Kadang, orang asing justru lebih jujur daripada orang yang kita kenal selama bertahun-tahun.”

Hening sesaat. Hanya suara angin dan klik lembut dari kamera Ethan yang terdengar.

Rose memperhatikan bagaimana ia bekerja. Fokus, tenang, dan seolah dunia di sekitarnya tak penting. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Ia tidak seperti pria-pria di lingkaran sosial Rose yang hidup dari reputasi dan pameran status. Ethan tampak nyata. Sederhana, tapi kuat.

“Noah tidak bersama Anda?” tanya Ethan hati-hati.

Rose menatap lurus ke arah taman. “Dia sibuk. Selalu sibuk.”

Ethan mengangguk pelan, tidak mencoba menggali lebih dalam. Ia hanya berdiri di sana, memberikan ruang bagi Rose untuk bernapas.

Sikap itu anehnya terasa nyaman. Tidak menghakimi. Tidak ingin tahu lebih dari yang perlu.

“Malam yang panjang,” gumam Rose akhirnya.

“Dan dingin,” balas Ethan. “Tapi udara dingin kadang membuat kita bisa berpikir lebih jernih.”

Rose menatapnya, dan kali ini ia benar-benar menatap. Cahaya lampu taman memantul di mata Ethan, memperlihatkan sorot lembut yang tak dibuat-buat. Ada sesuatu yang hangat di balik tatapan itu. Bukan iba, melainkan pengertian.

Sebuah getaran samar mengalir di udara di antara mereka.

Tiba-tiba Ethan menyodorkan sesuatu pada Rose. "Saya sudah lama mengagumi Anda sebagai model. Jujur, ini pertama kali saya melihat Anda secara langsung, dan ternyata Anda jauh lebih mengagumkan dari yang saya lihat di media."

Rose menatap pemberian Ethan itu. Sebuah kartu nama bertuliskan Ethan Knoxx, lengkap dengan alamat studio dan nomor yang bisa dihubungi.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   28. Penjara Berjalan

    Makan malam itu berlangsung dalam sunyi yang menyesakkan.Meja panjang dengan hidangan mewah terasa seperti panggung sandiwara yang gagal. Rose duduk di satu sisi, punggungnya tegak namun bahunya tegang. Noah duduk di seberang, memotong makanannya dengan gerakan mekanis, tatapannya sesekali melayang. Bukan pada Rose, melainkan ke layar ponsel yang sejak tadi tak lepas dari genggamannya.Rose mencoba fokus pada piringnya. Ia tahu, sejak kepulangan Noah, udara di rumah itu berubah. Lebih berat dan dingin.Lalu ponsel Noah bergetar.Sekali. Dan sekali lagi.Noah berhenti makan. Rahangnya mengeras. Ia membaca sesuatu di layar, dan dalam hitungan detik, wajahnya berubah. Bukan terkejut. Bukan sedih. Melainkan Marah.Noah berdiri mendadak, kursinya bergeser kasar hingga menimbulkan bunyi memekakkan. Rose terlonjak kecil.“Ada apa?” tanya Rose, refleks.Noah tidak menjawab. Ia melempar ponselnya ke atas meja dalam keadaan layarnya menyala, menampilkan sebuah artikel singkat dari akun anonim.

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   27. Rahasia Yang Tercium

    Pagi itu, saat Rose terbangun di studio Ethan, ia masih merasakan hangatnya kebahagiaan yang belum sempat benar-benar mengendap. Ia bernapas pelan, mengharapkan Ethan masih ada di dekatnya. Namun yang ia temui hanya ranjang kosong di sampingnya, walaupun jejak Ethan masih terasa hangat disana. Mungkin Ethan sedang merapikan peralatan kamera, atau mungkin sedang membuatkan kopi dan sarapan. Tapi ruangan itu terasa terlalu sunyi, nyaris hampa.Rose bangun perlahan, meraih bajunya yang berserakan di lantai dan mulai berpakaian. Saat hendak mengambil tasnya, matanya menangkap sesuatu di bawah meja.Sebuah foto.Ia berlutut, meraihnya dengan hati-hati. Satu detik kemudian, pandangannya membeku.Itu foto dua orang pria. Satu asing bagi Rose, tapi pria lainnya sangat ia kenal.Noah.Lebih muda, dengan senyum yang hanya ia lihat dalam foto-foto lama. Pose tegap, latar tempat yang asing, tapi tatapan itu tidak salah lagi. Rose menggenggam foto itu lebih erat, dadanya mengencang.Bagaimana mung

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   26. Kebohongan Ethan

    Ethan menggulingkan tubuhnya, hingga sepenuhnya berada di atas Rose. Bibirnya terus melumat bibir Rose tanpa henti, tangannya bergerak ke tangan Rose. Menggenggamnya erat sebelum mengangkatnya ke atas.Rose terlentang dalam posisi tangan terangkat. Ia mendesah sambil memejamkan mata saat bibir Ethan bergerak turun ke leher dan dadanya.Dalam pose itu, ia tampak semakin sensual dan menggairahkan. Dadanya membulat sempurna. Ethan menelangkupnya dengan kedua tangan, lalu menghisapnya bergantian."Ssshhh... Ethan..." Rose mendesahkan nama itu dengan segenap perasaannya. Ethan terus bergerak, menciumi setiap inchi tubuh Rose. Tangannya mengikuti gerakan bibirnya, hingga akhirnya ia menyentuh titik sensitif Rose di bawah sana.Ethan membelai lembah basah itu dengan lembut. Menyentuhnya seakan itu adalah barang yang sangat berharga. Rose menggelinjang. Ia menggeliat saat jari Ethan masuk dan menyentuhnya semakin dalam."Ethan... Aaaarrgghh..."Ethan tersenyum melihat Rose menyebut namanya un

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   25. Milikmu Malam Ini

    Ethan tersenyum. "Baiklah... Izinkan aku menyediakan makan malam istimewa untuk tamu spesialku..."Rose terkekeh. "Okay..." Rose duduk di sofa studio, sementara Ethan mengambil ponsel. Di studio itu tak tersedia dapur, dan hanya ada mesin kopi. Jadi Ethan harus memesan makanan untuk makan malam mereka."Ethan... Apa kau tinggal disini?" tanya Rose."Tidak. Aku tinggal di apartemen. Tapi aku lebih sering berada disini. Studio ini adalah rumah keduaku. Apa kamu mau kita kesana?" tanya Ethan.Jantung Rose berdegup kencang. Pergi ke apartemen Ethan, artinya mereka bisa lebih bebas melakukan apapun. Dan itu jauh lebih membahayakan."Tidak. Sepertinya kita disini saja," tolak Rose. Takut mereka tenggelam ke dalam hubungan yang lebih jauh dari ini.Ia mengalihkan pandangan, berusaha menutupi wajahnya yang memerah, karena sempat membayangkan akan b*cinta dengan liar di apartemen.Melihat reaksi Rose, Ethan tersenyum."Disini juga sama saja. Ada sofa. Ada kamar mandi. Dan ada ranjang..." ucap

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   24. Ketergantungan Yang Berbahaya

    Noah membalas ciuman itu dengan lebih liar dan ganas, seolah ia sanggup melahap bibir Giselle sampai habis. Sementara Giselle menggeliat dan menggerakkan tubuhnya, membuat batang Noah yang sudah mengeras menggesek miliknya di bawah sana."Masukkan!" perintah Noah sambil terus menciumi leher Giselle. Ia meremas dada Giselle yang basah dengan kasar, dan sesekali menghisapnya.Giselle patuh. Ia mengangkat tubuhnya sedikit, sebelum menempatkan miliknya tepat di atas milik Noah untuk menyatukan mereka. Lalu..."Aaarrgghh..." Noah mengerang saat miliknya masuk ke dalam tubuh Giselle. Sensasi yang sangat luar biasa ia rasakan, campuran antara hangat, sempit, dan basah karena mereka dalam posisi berendam. Hal yang belum pernah dilakukan Noah bersama Rose."Ini asyik bukan... Uh... Kamu... Benar-benar perkasa... Uh..." Giselle melenguh ketika batang besar itu melesak keluar masuk di dalam tubuhnyaMendengar pujian itu, Noah semakin merasa gila. Bukan hanya pandai bermain cinta, Giselle juga se

  • Kekasih Gelap Sang Istri Milyarder   23. Hanya Hiburan Sesaat

    Siang itu, kota tempat Noah menghadiri meeting tampak lebih hidup dari kemarin. Matahari menyorot lembut di antara gedung-gedung tinggi, memantul di kaca etalase butik-butik mahal. Noah dan Giselle berjalan berdampingan, jarak mereka terlalu dekat untuk hubungan “bos dan sekretaris”. Dari kejauhan, mereka tampak seperti pasangan kaya yang tengah menikmati liburan spontan.Giselle melangkah ringan, senyum terpasang di bibirnya. Sementara Noah seperti biasa, berwajah datar dan lelah, tapi terlihat jauh lebih rileks dibanding saat bekerja. Itu saja sudah memberi Giselle rasa kemenangan kecil yang memabukkan.“Noah, coba lihat ini,” ucap Giselle sambil menunjuk sebuah jam tangan mahal di etalase butik. Nada suaranya dibuat manja, dengan senyum terukur yang ia tahu selalu melemahkan pria.Noah hanya menghela napas pendek sebelum berkata, “Kalau kamu suka, ambil saja.”Ambil saja. Seolah harga jam itu bukan apa-apa. Seolah apa pun yang ia inginkan bisa ia dapatkan.Giselle masuk ke butik de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status