LOGINRose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.
Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri. “Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat. Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya. Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku. Ia melangkah menghampiri Rose, menyodorkan tangan seperti yang dilakukan suami penyayang di hadapan tamu-tamunya. Seperti biasanya. “Ayo, sayang. Semua menunggu.” Rose menatap tangan itu. Dalam hatinya, ia ingin menepis, ingin berteriak dan mengungkap semuanya di depan publik. Tentang balkon, tentang Giselle, dan tentang ciuman yang menghancurkan lima tahun kehidupannya. Namun otaknya masih bekerja lebih cepat daripada emosinya. Kamera ada di mana-mana. Wartawan menunggu setiap gerakan mereka. Satu saja langkahnya salah, keluarganya akan menjadi headline keesokan paginya. Rose menegakkan tubuhnya, menarik napas panjang, dan menyentuh tangan Noah dengan lembut. “Baiklah.” Keduanya berjalan menuju panggung, diiringi tepuk tangan dan sorakan. Di atas meja kristal, kue tiga tingkat dengan ukiran mawar merah anggur berdiri megah. Di atasnya terdapat tulisan elegan: Happy 5th Anniversary, Noah & Rose. Rose menatap tulisan itu lama. Lima tahun yang tampak sempurna, kini terasa seperti sandiwara palsu baginya. “Noah dan Rose, semoga cinta kalian abadi selamanya,” ujar MC, diikuti sorak dan teriakan bahagia para tamu. Rose tersenyum tipis, menatap Noah yang berdiri di sampingnya. “Abadi?” gumamnya lirih, hampir tak terdengar. Noah meliriknya singkat, mencoba tersenyum. “Selalu, sayang.” Tatapan Rose kembali menajam. Ia tahu senyum itu palsu. Tapi ia tidak akan memberikan kepuasan bagi Noah malam ini. Tidak dengan air mata, tidak dengan amarah sedikitpun. Ia akan berpura-pura tak tahu, hingga waktunya tepat. “Baiklah,” bisiknya pelan. “Kita tiup lilinnya.” Mereka menunduk bersama. Tersenyum. Menghitung hingga tiga. Dan meniup lilin bersama hingga padam. Semua bersorak riuh. Sangat kontras dengan hati Rose yang ingin menjerit dalam diamnya. Pesta berlanjut hingga hampir tengah malam. Rose memainkan perannya dengan sempurna. Ia tertawa saat perlu, menatap penuh cinta saat kamera menyorot, dan menjawab setiap ucapan selamat dengan elegan. Tapi di antara gelas-gelas sampanye dan denting musik, pikirannya terus melayang ke balkon itu. Setiap kali tatapannya bertemu dengan Noah, ia hanya memberikan senyum tipis, tapi matanya tak lagi hangat. Tatapan itu menusuk, seolah berkata tanpa suara. Aku tahu semuanya. Noah mulai gelisah. Setiap senyum Rose kini terasa seperti ancaman terselubung. Namun ia tak bisa mundur. Tidak malam ini. Apalagi saat Giselle berpamitan kepada mereka, Rose menanggapinya dengan ramah. Terlalu ramah sehingga membuat Noah sesak nafas mengingat apa yang sebenarnya terjadi diantara mereka. Ketika akhirnya MC mengumumkan acara selesai dan tamu mulai meninggalkan ballroom, Rose mengambil kesempatan untuk keluar terlebih dahulu. Ia butuh udara. Langit malam di luar hotel tampak hitam pekat, dihiasi bintang samar. Angin dingin berembus lembut, menyapu pipinya yang masih hangat oleh emosi. Ia berdiri di teras luar, memegang segelas air putih, yang ironisnya, bukan sampanye, karena ia butuh sesuatu yang jernih, bukan memabukkan. Ia menatap ke arah taman hotel yang diterangi lampu-lampu kecil. Di sana, ia bisa melihat beberapa staf media yang sibuk membereskan peralatan mereka. Tak ada yang aneh, namun salah satu dari mereka menarik perhatiannya. Seorang pria muda, berkaus hitam dan jaket denim, tengah memeriksa hasil foto di kameranya. Rambutnya sedikit berantakan, tapi justru itu yang membuatnya tampak alami di tengah pesta formal. Ia tidak mengenakan jas seperti tamu lain, tapi ada pesona tenang pada wajahnya. Sangat tenang, tapi tajam. Rose mengenal sebagian besar wartawan yang sering meliput acara keluarganya, tapi wajah pria itu cukup asing. Ia menunduk, memeriksa layar kameranya, lalu tanpa sengaja menoleh ke arah Rose. Tatapan mereka bertemu. Sekilas. Singkat. Namun cukup untuk menimbulkan percikan aneh di dada Rose. Pria itu terkejut sesaat, lalu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya. Rose mengalihkan pandangan, mencoba mengabaikan sensasi hangat yang tiba-tiba muncul. Ia mengutuk dirinya dalam hati. Baru saja disakiti oleh pengkhianatan, tapi jantungnya berdetak untuk seorang asing yang bahkan tidak ia kenal namanya. Namun alam punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua jiwa yang sedang rapuh. “Maaf, Nyonya Ferdinand?” suara itu datang pelan dari belakangnya. Rose menoleh. Pria yang tadi dilihatnya kini berdiri beberapa langkah di depannya, memegang kameranya di tangan kanan. “Ya?” suaranya datar tapi sopan. “Saya Ethan.” Ia memperkenalkan diri dengan nada tenang. “Fotografer dari Society Vision Magazine. Saya bertugas mendokumentasikan acara malam ini. Saya hanya ingin bilang… Anda tampak sangat memukau di atas panggung tadi.” Rose mengerjap pelan, tak terbiasa menerima pujian yang terdengar begitu tulus. “Terima kasih, Ethan.” Ia mengangguk, lalu menatapnya sebentar. “Maaf kalau saya lancang. Tapi Anda terlihat… berbeda.” “Berbeda bagaimana?” Ethan menatapnya dengan mata tajam yang jujur, tanpa lapisan basa-basi. “Seperti seseorang yang tersenyum karena harus, bukan karena ingin.” Rose terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Ethan tampak menyadari ucapannya terlalu jujur. “Maaf, saya seharusnya tidak berkata seperti itu. Ini hanya kebiasaan fotografer, membaca ekspresi orang.” Rose menghela napas kecil, senyum pahit menghiasi bibirnya. “Tidak apa-apa. Kadang, orang asing justru lebih jujur daripada orang yang kita kenal selama bertahun-tahun.” Hening sesaat. Hanya suara angin dan klik lembut dari kamera Ethan yang terdengar. Rose memperhatikan bagaimana ia bekerja. Fokus, tenang, dan seolah dunia di sekitarnya tak penting. Ada sesuatu yang berbeda darinya. Ia tidak seperti pria-pria di lingkaran sosial Rose yang hidup dari reputasi dan pameran status. Ethan tampak nyata. Sederhana, tapi kuat. “Noah tidak bersama Anda?” tanya Ethan hati-hati. Rose menatap lurus ke arah taman. “Dia sibuk. Selalu sibuk.” Ethan mengangguk pelan, tidak mencoba menggali lebih dalam. Ia hanya berdiri di sana, memberikan ruang bagi Rose untuk bernapas. Sikap itu anehnya terasa nyaman. Tidak menghakimi. Tidak ingin tahu lebih dari yang perlu. “Malam yang panjang,” gumam Rose akhirnya. “Dan dingin,” balas Ethan. “Tapi udara dingin kadang membuat kita bisa berpikir lebih jernih.” Rose menatapnya, dan kali ini ia benar-benar menatap. Cahaya lampu taman memantul di mata Ethan, memperlihatkan sorot lembut yang tak dibuat-buat. Ada sesuatu yang hangat di balik tatapan itu. Bukan iba, melainkan pengertian. Sebuah getaran samar mengalir di udara di antara mereka. Tiba-tiba Ethan menyodorkan sesuatu pada Rose. "Saya sudah lama mengagumi Anda sebagai model. Jujur, ini pertama kali saya melihat Anda secara langsung, dan ternyata Anda jauh lebih mengagumkan dari yang saya lihat di media." Rose menatap pemberian Ethan itu. Sebuah kartu nama bertuliskan Ethan Knoxx, lengkap dengan alamat studio dan nomor yang bisa dihubungi. ***“Kau datang tepat waktu,” kata Ethan sambil mendekat. “Kupikir kau mungkin berubah pikiran.”Rose mengerjap pelan. “Mungkin. Hampir saja. Tapi pagi ini tiba-tiba rasanya terlalu tenang untuk dihabiskan sendirian.”Ethan menatapnya sejenak, seolah mempelajari wajahnya lewat lensa yang tak kasatmata. “Kau terlihat berbeda dari semalam.”“Berbeda bagaimana?”“Lebih… segar dan bersemangat,” ujarnya sambil tersenyum samar. “Mungkin karena sinar matahari, atau mungkin karena kau akhirnya melepaskan sesuatu.”Rose tak menjawab. Ia hanya berjalan ke arah dinding yang penuh dengan foto-foto hitam putih maupun berwarna. Potret lanskap, manusia, dan beberapa wajah yang tampak terlalu jujur untuk disebut ‘pose’.“Fotomu terasa jujur,” katanya pelan. “Tidak banyak yang berani memotret seperti ini. Kebanyakan orang ingin terlihat sempurna.”“Kesempurnaan membosankan,” jawab Ethan ringan. “Aku lebih suka kejujuran, meskipun bentuknya retak.”Kata-kata itu membuat Rose menoleh. Tatapan mereka bertemu
Suara hujan sudah berhenti ketika Rose tiba di rumah tengah malam. Udara lembap masih menempel di kulitnya, dan ujung gaun merah anggur itu kini kusut serta berat oleh air. Ia tak peduli. Begitu masuk ke kamarnya, Rose langsung melepaskan sepatu hak tinggi yang sejak tadi membelit kakinya, meletakkan clutch nya di meja rias, melepas gaunnya asal-asalan, lalu memakai gaun tidur tipis dan berbaring di ranjang tanpa menghapus make up atau membersihkan diri.Tubuhnya terasa lelah, tapi yang lebih berat adalah pikirannya. Setiap kali memejamkan mata, bayangan Noah dan Giselle di balkon hotel muncul lagi. Semua tampak jelas, menyakitkan, dan nyata. Ia menarik selimut hingga menutupi dada, berharap bisa tertidur sebelum pikirannya menenggelamkannya lebih dalam.Entah jam berapa akhirnya ia terlelap.Ketika cahaya pagi menembus tirai besar di kamarnya, Rose membuka mata perlahan. Kepalanya sedikit berat, tapi bukan karena alkohol, melainkan karena kenyataan. Ia menoleh ke sisi tempat tidur ya
"Terima kasih," ucap Rose sekilas."Sudah lama juga saya bermimpi bisa bekerja sama dengan Anda. Saya akan mengangkat karir model Anda lagi seperti dulu. Bahkan lebih tinggi dari sebelumnya. Jika Anda tertarik, Anda bisa datang mencari saya." jelas Ethan.Rose menatap pria itu, tapi karena tatapannya terlalu menusuk, ia langsung mengalihkan pandangan."Aku... Sudah lama meninggalkan dunia itu." "Sayang sekali..." gumam Ethan, "Begini saja. Anda bisa memikirkannya baik-baik. Saya akan menggelar pameran dalam waktu dekat, dan saya ingin bekerja sama dengan Anda di pameran tersebut. Judulnya... 'wajah di balik topeng'."Ethan kembali memberikan sebuah kertas. Kali ini undangan acara pameran yang ia maksud. Rose menelan ludah. Ia merasa tema acara itu sangat sesuai dengan kehidupannya."Entah mengapa, saya merasa Anda sangat cocok untuk menjadi model saya dalam acara ini. Saya yakin Anda juga merasakannya," tambah Ethan seakan mengerti apa yang sedang dipikirkan Rose.Rose ingin berbicar
Rose menatap bayangannya di cermin raksasa yang tergantung di sisi ballroom. Senyumnya masih sama seperti lima menit lalu. Terlihat lembut, manis, dan sempurna di hadapan publik. Namun matanya… bukan lagi mata seorang istri yang bahagia.Di dalam pupilnya, ada retakan. Retakan halus yang tak terlihat bagi siapa pun, tapi cukup tajam untuk melukai dirinya sendiri.“Noah dan Rose, mari kembali naik ke atas panggung. Saatnya prosesi tiup lilin!” seru MC dengan semangat.Tamu-tamu bersorak. Tepuk tangan menggema. Rose menoleh pelan, melihat Noah berdiri di ujung ruangan. Pria itu sudah kembali dari balkon seolah tak terjadi apa-apa. Dasi hitamnya masih rapi, wajahnya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk pria yang baru saja mencium sekretarisnya.Tatapan mereka bertemu. Rose tidak berkata apa-apa, tapi tatapan itu… dingin, tajam, dan menusuk sampai ke dasar nurani. Noah sempat tertegun sepersekian detik sebelum memasang senyum yang nyaris terlihat kaku.Ia melangkah menghampiri Rose, menyod
Lampu kristal berkilauan bagaikan ribuan bintang yang jatuh ke bumi. Ballroom Hotel Imperial malam itu dipenuhi kilau gaun-gaun rancangan desainer internasional, setelan jas terbaik, dan senyum yang penuh kepura-puraan. Semua orang datang bukan hanya untuk merayakan ulang tahun pernikahan ke-5 Rose dan Noah, tetapi juga untuk menjadi bagian dari pesta paling bergengsi tahun ini.Rose berdiri di tengah ruangan, mengenakan gaun merah anggur dengan potongan leher berbentuk hati, membalut tubuhnya dengan elegan. Rambut panjangnya disanggul setengah ke atas, menyisakan beberapa helai bergelombang yang jatuh manis di bahu. Malam ini, ia tahu, semua mata tertuju padanya. Ia sudah terbiasa dengan sorot kamera, dengan bisikan iri sekaligus kagum dari kalangan sosialita. Ia adalah Olivia Rose, istri Noah Ferdinand. Pengusaha muda yang menjadi penerus satu-satunya tahta bisnis raksasa keluarga Ferdinand Group.Namun, di balik tatapan anggun dan senyuman yang ia pajang, jantung Rose berdegup lebi







