Beranda / Romansa / Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua. / BAB 6 – FIGURAN YANG TIDAK DIINGAT

Share

BAB 6 – FIGURAN YANG TIDAK DIINGAT

Penulis: Za_dibah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 17:29:21

"Bahkan di antara ribuan cahaya, ada bayangan yang tak pernah disentuh kehangatan. Elaria adalah bayangan itu, menari dalam sepi, di panggung yang bukan miliknya."

***

Musik mengalun, menelan Elaria dalam riuhnya pesta. Setelah insiden minuman dan tatapan remeh bangsawan tua, ia mencoba membaur, namun rasanya seperti mengenakan topeng yang terlalu berat. Setiap senyum adalah perjuangan, setiap langkah adalah kehati-hatian.

"Aku harus mendekati Kaelion," tekadnya dalam hati, melirik ke arah tempat Kaelion terakhir kali terlihat. "Ini kesempatanku."

Ia mencoba bergerak perlahan, menembus kerumunan. Kakinya terasa pegal, dan korsetnya mencekik. Elaria merasa seperti berenang di lautan yang asing, mencari sebuah mercusuar.

Ia melihat Kaelion masih di dekat jendela, seorang diri, memandang keluar ke taman yang gelap. Aura kesunyiannya begitu kuat, seolah ia adalah patung pahatan kesedihan yang tak tersentuh.

"Apakah dia tahu betapa aku mengenalnya?" gumam Elaria, langkahnya melambat. Ia ingin mendekat, mengatakan sesuatu. Apa saja.

"Duke Kaelion tidak suka diganggu," suara bariton yang dingin menghentikannya.

Seorang penjaga kekar, berseragam Nightborne, berdiri di depannya. Matanya setajam elang. "Apa urusan Anda mendekati Tuan Duke, Lady?"

Elaria tersentak. Wajahnya memerah. "Saya... saya hanya ingin... menyapa." Suaranya terdengar cicitan.

Penjaga itu menatapnya dengan pandangan merendahkan. "Tuan Duke tidak menerima sapaan dari sembarang orang, Nona. Mundur."

"Tapi saya...."

"Mundur, atau saya akan melaporkan Anda karena mengganggu ketenangan." Nada suara penjaga itu final, tanpa kompromi.

Elaria menunduk, malu. Ia mundur perlahan, merasakan tatapan beberapa pasang mata yang mengamati.

"Baru mencoba, sudah gagal," desisnya dalam hati. "Ini lebih sulit dari yang kubayangkan."

Ia merasa remuk, namun matanya tak lepas dari Kaelion. Lelaki itu, bahkan dari jauh, masih terlihat diselimuti aura yang memikat, seolah ada cerita tak terucap yang hanya bisa ia pahami.

Kaelion, yang tadinya memandang keluar, kini sedikit menoleh, seolah menyadari keributan kecil di dekatnya. Matanya yang obsidian, sedingin es, melirik ke arah Elaria sejenak.

Hanya sekelebat pandangan. Tidak ada pengenalan. Tidak ada rasa ingin tahu. Hanya tatapan kosong yang nyaris tak melihatnya.

"Apakah dia menganggapku aneh?" Elaria bertanya pada diri sendiri. Tatapan itu terasa seperti sabetan pedang, memotong harapannya. "Aku hanya bayangan baginya, persis seperti yang ditakdirkan."

Kaelion berbalik sepenuhnya, melanjutkan pandangannya ke luar jendela. Seolah Elaria dan insiden kecil barusan tidak pernah ada. Ia bahkan tidak beranjak dari tempatnya.

"Dia bahkan tidak tertarik," gumam Elaria pahit. "Aku benar-benar tak terlihat."

Rasa malu dan kekecewaan membanjiri Elaria. Ia merasa begitu bodoh. Ia datang ke sini dengan harapan besar, namun realitas menamparnya keras.

"Mungkin aku tidak akan pernah bisa mengubah apa pun," bisiknya, suaranya tercekat. Ia melangkah menjauh, mencari sudut yang sepi.

Pesta mulai mereda. Para tamu berangsur-angsur meninggalkan aula utama, gemerlap mulai memudar. Elaria menemukan dirinya di teras belakang istana, sendirian.

Hujan mulai turun, tetes demi tetes. Awalnya gerimis pelan, lalu berubah menjadi derai lebat. Angin dingin menerpa wajahnya, terasa seperti air mata langit.

Gaun sutra Elaria kini terasa berat dan basah. Sanggul rambutnya mulai melonggar, beberapa helai jatuh membasahi pelipisnya. Ia tidak peduli. Dinginnya udara terasa seperti pelukan yang menghukum.

"Ini seperti diriku," ia bergumam, menatap tetesan hujan. "Dihapus, tak diingat, basah kuyup oleh kenyataan."

Ia menatap langit malam yang gelap, yang kini sama suramnya dengan hatinya.

"Mengapa aku harus datang ke sini?" bisiknya, merasakan air matanya bercampur dengan rintik hujan.

Tiba-tiba, suara langkah kaki memecah kesunyian.

Elaria menoleh. Di bawah payung besar yang dipegang seorang pelayan, Kaelion melangkah keluar dari istana. Ia hendak memasuki keretanya.

Langkahnya tegap, wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi. Ia sama sekali tidak menoleh ke arah Elaria.

Hati Elaria mencelos lagi. Ini adalah kesempatan terakhirnya untuk menarik perhatian. Ia ingin memanggilnya, namun suaranya tercekat. "Kaelion..."

Tepat sebelum Kaelion menaiki kereta, seolah merasakan sesuatu, ia menoleh. Pandangannya menyapu teras.

Matanya bertemu dengan Elaria yang basah kuyup. Hanya sepersekian detik. Tatapan obsidian itu berlama-lama padanya, namun tanpa ekspresi. Elaria merasakan desiran aneh, bukan kehangatan, hanya sebuah pengakuan sesaat.

Lalu, Kaelion mengalihkan pandangannya. Ia melangkah masuk ke dalam kereta tanpa berkata apa-apa.

Pintu kereta tertutup. Kereta kuda mulai bergerak, menjauh, menelan Kaelion dalam kegelapan malam.

"Dia pergi," bisiknya, suaranya pecah bersama suara hujan. "Seperti bayangan yang menghilang, tak ada jejak. Aku sungguh figuran yang tak pernah diingat."

Elaria berdiri di sana, sendirian dalam hujan yang semakin lebat. Ia tak lagi merasakan dingin, hanya mati rasa.

Pesta emas berakhir. Bagi Elaria, ia hanya meninggalkan sisa-sisa harapan yang hancur di tengah badai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 12 – LANGKAH DUA YANG PATAH

    "Nurani adalah cermin jiwa, memantulkan kebenaran yang tak kasat mata. Di tengah kekelaman tuduhan, sebuah hati yang berani bersinar, menerangi jalan bagi yang terpinggirkan." *** Keterasingan menjadi teman Elaria setelah insiden pesta dan kontes berburu. Undangan ke jamuan makan dan acara sosial berhenti total. Viscount Thorne masih murka, dan Clara terus mengawasinya seperti elang. Elaria menghabiskan hari-harinya di taman istana, membaca buku atau mencoba melukis. Ia merasa seperti burung dalam sangkar emas, tak terlihat, tak penting. "Aku tak bisa terus begini," bisiknya pada bunga mawar. "Aku harus menemukan cara. Bukan untuk membuat mereka terkesan, tapi untuk diriku sendiri." Ia merindukan dunianya yang dulu, di mana tawa dan kejujuran adalah hal yang wajar, bukan sebuah keanehan. Di sini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata dan gerak-gerik. Suatu pagi yang dingin, Viscount Th

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 11 – TUNANGAN SANG PANGERAN

    "Cinta adalah pisau bermata dua. Ia mengukir nama di hati, namun juga merobeknya saat takdir memilih jalan yang berbeda. Di tengah gemuruh sorak-sorai, dua hati hancur dalam diam." *** Berita pertunangan Pangeran Aerion Vaelhardt dan Lady Leona menyebar bagai api. Pengumuman resmi itu menggema di seluruh penjuru Caelum, menjadi topik utama di setiap meja makan bangsawan, di setiap kedai kopi, bahkan di telinga rakyat jelata. Elaria mendengarnya dari bisikan para pelayan di Estate Thorne. "Lady Leona dan Pangeran Aerion akan bertunangan!" Mereka berkata dengan riang, tak menyadari beban di hati Elaria. Hatinya mencelos. Ia tahu hari ini akan tiba, namun mendengarnya secara langsung tetap terasa seperti hantaman. "Ini sudah dimulai," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia ingat jelas adegan ini di novel. Sebuah upacara megah di plaza utama, disaksikan ribuan pasang mata. Kaelion, sang Duke yang pendiam

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 10 – DINDING YANG TAK MAU RETAK

    "Ada dinding yang dibangun bukan dari batu, melainkan dari kesepian yang dalam. Dan Elaria, dengan segala kegilaannya, bertekad merobohkan dinding itu, batu demi batu." *** Malam-malam setelah jamuan makan yang memalukan itu, Elaria menghabiskan waktunya merenung. Kata-kata Kaelion di hutan, tatapannya yang kosong di balkon, dan cemoohan para Lady di pesta, semuanya berputar di benaknya. "Dia kesepian," bisiknya pada diri sendiri, menatap pantulan wajahnya di cermin. "Aku melihatnya. Di balik semua dinginnya." Tekadnya semakin menguat. Ia tidak akan menyerah hanya karena Kaelion menganggapnya aneh, atau karena para bangsawan menertawakannya. Ia pernah membaca, di dunia asalnya, ketekunan sering kali berbuah manis. "Jika dia tidak bisa melihatku, aku harus membuatnya melihatku," gumam Elaria, menyusun rencana baru. *** Pagi itu, Elaria meminta Lyssa untuk membantunya. "Lyssa, aku ingin mengirimkan bunga ini ke Istana Nightborne. Untuk Duke Kaelion." Ia memegang seikat bunga sil

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 9 – TAWAKU TAK DIINGINKAN DI DUNIA INI

    "Bahkan tawa yang paling tulus pun bisa menjadi sumbang di telinga yang salah. Di dunia penuh topeng, kejujuran adalah pengkhianatan paling menyakitkan." *** Pergelangan kaki Elaria masih terasa nyeri, namun luka di hatinya jauh lebih sakit. Pertemuan di hutan dengan Kaelion meninggalkan bekas yang dalam. Kata-kata dingin pria itu, "Kau sebaiknya tidak mencoba berada di jalur kami," terus terngiang. "Jalur kami? Memangnya aku pengganggu?" gumam Elaria pahit, saat Clara membalut pergelangan kakinya. "Aku hanya ingin membantu!" Clara hanya menatapnya dengan tatapan "sudah kuduga". Elaria tahu, Clara pasti sudah melaporkan semuanya pada Viscount Thorne. Ia siap menerima omelan lagi. Namun, yang datang bukanlah omelan, melainkan undangan lain. Viscount Thorne, entah mengapa, memutuskan untuk membawa Elaria ke jamuan makan malam penting yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga bangsawan terkemuka. "Ini kesempatanmu untuk memperbaiki kesan buruk," kata Viscount Thorne, wajahnya d

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 8 – SI GILA YANG TAK PUNYA TEMPAT

    "Di antara rerimbunan hutan, sebuah takdir mencoba mengukir jalannya sendiri. Ia tersesat, terjatuh, namun justru di sanalah ia menemukan pandangan mata yang telah lama ia dambakan." *** Musim gugur perlahan menyelimuti Caelum. Daun-daun berubah warna menjadi emas dan merah, jatuh satu per satu, seolah ikut menari dalam kesunyian. Udara pagi terasa renyah, membawa aroma tanah basah dan kebebasan. Elaria memandang daftar acara yang ditempel di papan pengumuman Istana Thorne. Sebuah kontes berburu tahunan untuk kaum bangsawan akan segera diadakan di hutan kekaisaran. Ini adalah acara yang biasanya diikuti oleh para pria, atau Lady yang memiliki keterampilan berkuda dan memanah yang mumpuni. "Kesempatan," gumamnya, matanya berbinar. "Pasti ada Kaelion di sana." Ia tahu, berdasarkan novel Heart's Companion, Kaelion Vaelhardt selalu ikut dalam kontes berburu. Ini adalah salah satu dari sedikit kesempatan di mana ia keluar dari bayang-bayang istana dan menunjukkan keterampilannya. "Ba

  • Kekasih Hatiku Sang Tokoh Kedua.   BAB 7 – GADIS BODOH DENGAN HATI TERLALU LEMBUT

    "Ketika takdir mengunci semua pintu, akal adalah kunci terakhir yang mampu membebaskan. Elaria tidak akan lagi menyerah pada naskah yang tak adil." *** Kereta kuda keluarga Thorne terasa dingin dan sunyi di perjalanan pulang. Elaria duduk bersandar, matanya menatap kosong ke luar jendela. Rintik hujan masih membasahi kaca, seperti air mata yang tak henti jatuh. Pesta emas itu meninggalkan luka yang lebih dalam dari sekadar sepatu basah atau gaun ternoda. Harga dirinya hancur berkeping-keping. "Bodoh sekali aku," gumamnya, bibirnya bergetar. Ia telah melihat Kaelion, sedekat itu. Namun, jarak takdir antara mereka terasa tak terlampaui. Kaelion bahkan tak meliriknya, tak ada secuil pun pengakuan di mata obsidian itu. "Hanya figuran, persis seperti yang kubaca," desis Elaria, mengepalkan tangan. Amarah mulai membakar rasa malunya. "Tapi aku bukan figuran biasa! Aku adalah Laurenta Wallace!" Frustrasi menggerogoti setiap sel tubuhnya. Ia sudah mencoba. Ia sudah mengerahkan keberania

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status