"Njir, gila si Radev. Itu ngapain nyosor-nyosor anak orang?”Celetukan Gavy membuat dua temannya serentak menoleh ke arah yang sama.Tampak tidak jauh dari mereka Radev dan Starla sedang berdansa dengan begitu intim.“Si Starla sebenarnya asisten atau pacarnya Radev sih?” Keheranan itu berasal dari Aksa. Apa yang dilakukan Radev dengan Starla saat ini terlalu berlebihan jika disebut sebagai hubungan biasa antara atasan dan bawahan.“Parah nih Radev. Untung nggak ada Ajeng,” kata Gavy menanggapi.“Tapi kalo dilihat-lihat Radev lebih cocok sama Starla sih ketimbang Ajeng. Ya nggak?”Gavy mengangkat alisnya sebagai tanda setuju.“Gimana menurut lo, Ka?” Aksa memandang pada Bjorka ingin tahu apa pendapatnya. Sejak tadi Bjorka hanya diam tanpa memberi komentar apa-apa.“Radev kan udah punya Ajeng. Jadi mau dikata Starla lebih cantik atau lebih cocok sama Radev pun tetap nggak akan mengubah apa-apa,” jawab Bjorka bijaksana. Di antara mereka berempat Bjorka lebih dekat dengan Radev, sehingga
Ajeng masih ngamuk di mobil saat Radev membawanya pergi. Perempuan itu terus mencecar dengan kata-katanya yang kasar. Sementara itu Radev yang berada di sebelahnya tidak menggubris perempuan itu. Alih-alih akan meladeni, Radev malah sibuk mengutak-atik ponselnya yang membuat Ajeng jengkel setengah mati.“Aku tuh lagi ngomong sama kamu, Dev! Kamu malah sibuk main hp! Kamu pikir aku apa, hah?” Ajeng akan merebut ponsel dari Radev, tapi dengan gerakan cepat lelaki itu menjauhkannya lalu menyimpan ke saku celana.Radev mengembalikan konsentrasi pada jalanan di hadapannya. Lelaki itu fokus menyetir.“Kamu nggak menghargai aku sedikit pun. Kamu anggap apa aku ini, Dev? Apa kamu lupa kalau aku tunangan kamu? Bahkan aku nggak hanya sekadar tunangan. Aku ini calon istri kamu!"“Gimana aku bisa menghargai kamu kalau kamu nggak bisa menghargai orang lain,” jawab Radev akhirnya tanpa memandang pada Ajeng.“Orang lain mana yang harus aku hargai?”Radev mendengkus pelan. Ajeng pasti paham siapa yan
“Ke mana aja lo kemarin? Nyokap gue susah-susah jagain bokap lo, tapi lo-nya malah kelayapan!”Pertanyaan bernada tidak menyenangkan itu membuat Starla memalingkan wajah ke arah pintu. Tampak di sana adik tirinya sedang berdiri dengan tangan bersedekap.“Ada acara kantor,” jawab Starla yang tidak ingin ribut. Ini masih terlalu pagi untuk perang mulut. Ia tidak ingin merusak mood-nya dengan hal-hal tidak berguna.“Tiap ditanya lo selalu ngejawab dengan alasan yang sama. Nggak ada alasan lain apa?”“Jadi kamu maunya aku ngejawab apa?” lirik Starla melalui kaca meja rias tempatnya bercermin saat ini.Tantri mengeluarkan dengkusan. Sejak dulu ia tidak pernah menyukai Starla. Starla mempunyai segala yang tidak dimilikinya. Starla berwajah menawan dengan bentuk tubuh yang ideal. Starla juga cerdas dan disenangi banyak orang. Sedangkan dirinya hanyalah seorang perempuan berwajah biasa yang kelewat kurus dan hatinya busuk.Tantri menarik langkah mendekat kala matanya bertemu dengan tube dress
Tampak seorang perempuan sedang bicara pada Starla. Starla tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan tersebut di tempat ini walau sebenarnya tidak mustahil hal itu terjadi.Dikembangkannya senyum ramah bersama sapaan yang terlontar dari bibirnya. “Selamat pagi, Bu Megan.”“Kamu sedang apa di sini?”“Saya disuruh Pak Radev ke sini, Bu. Saya bantu-bantu Bapak menyiapkan perlengkapannya. Ini saya mau beli roti buat sarapan Bapak, Bu,” terang Starla menjelaskan sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya.Megan menyipit memandang Starla. “Perlengkapan apa yang kamu maksud?” tanyanya belum puas.“Pakaian dan sarapan Pak Radev.”“Memangnya kamu nggak bisa menyiapkan sehari sebelumnya? Atau seminggu sebelumnya?”“Bisa, Bu, tapi Pak Radev mau saya datang setiap pagi.”“Ada-ada saja.” Megan geleng-geleng kepala. Perempuan itu kemudian memindai Starla segenap-genapnya tanpa ada yang terlewat dari tangkapan matanya. “Setahu saya kamu sudah dipecat, kenapa balik lagi?”“Karena Pak Radev masih but
“Pak Radev, kok di sini?”Pertanyaan itu Radev dengar dari Starla sesampainya lelaki itu di lantai dasar.“Kita langsung ke kantor,” sahut Radev singkat lalu berjalan mendahului Starla.“Rotinya, Pak? Bapak nggak jadi sarapan?” tanya Starla kebingungan namun tetap mengikuti langkah Radev.“Sarapan di kantor.” Jawaban pria itu masih seringkas tadi.Bertahun-tahun bekerja dengan Radev tidak lantas membuat Starla memahami lelaki itu. Saat ini misalnya. Setelah tadi memutuskan untuk sarapan di apartemen, tiba-tiba saja Radev mengajaknya pergi.Duduk diam di sebelah Radev setelah mereka tiba di mobil, Starla hanyut dalam pikirannya sendiri. Kira-kira apa yang dikatakan Megan pada Radev? Lantas bagaimana reaksi Radev?“Pak, tadi saya ketemu Ibu Megan di depan lift. Bapak udah ketemu sama Ibu?” tanya Starla sambil memandang ke arah Radev.“Hm.” Radev menjawab dengan gumaman.Hening sejenak. Starla memutar otak mencari padanan kata yang tepat untuk bertanya pada Radev apa tadi Megan membicara
Ajeng terduduk dengan muka merah padam. Perkataan Radev tadi membuatnya malu setengah mati. Apalagi lelaki itu mengucapkannya terang-terangan di depan orang lain—Bjorka.“Ka, jangan percaya apa yang dibilang Radev tadi. Itu nggak benar. Aku nggak pernah filler. Semua bagian wajahku masih ori,” dustanya membela diri.Bjorka menerbitkan senyum tipis di bibirnya. Ia tahu persis siapa yang salah dan siapa yang benar di antara keduanya. “Take it easy. Nggak mungkinlah kamu udah cantik begini masih pake filler-filleran.”“Thank’s, Ka.” Ajeng tersipu. Lega karena berhasil meyakinkan Bjorka.“Mau ikut makan sekalian?”“Boleh deh.”Bjorka memanggil waitress, memesankan makanan untuk tunangan sahabatnya, sehingga jadilah mereka makan berdua.“Aku udah nggak ngerti lagi sama Radev. Aku salah apa coba?” curhat Ajeng di sela-sela kunyahannya.“Coba deh kamu introspeksi diri, kira-kira udah bikin apa sampai Radev jadi kesal,” jawab Bjorka menanggapi.“Aku nggak salah apa-apa. Aku baik-baik aja kok.
Embusan napas lega meluncur dari bibir Starla. Sesak di rongga dadanya sedikit berkurang setelah ayahnya pulang ke rumah. Apalagi keadaan pria itu juga sudah membaik.“Satu sendok lagi ya, Pa.” Starla menyodorkan sendok terakhir ke mulut Roni. Sudah sejak tadi ia menyuapi ayahnya itu makan. Senyum tercetak di bibirnya setelah piring di tangannya kosong. Setelahnya Starla memisahkan butiran pil dari kulitnya untuk kemudian memberikan pada Roni satu per satu.Perempuan dengan rambut sedikit di bawah bahu itu mengesahkan napasnya saat ingat harus kembali ke kantor, padahal di luar sana malam sudah berkunjung.‘Nasib budak korporat.’ Starla membatin. Ingin mengeluh nyatanya ia harus bersyukur karena ia masih diberi kesempatan untuk bekerja.“Pa, aku balik ke kantor sebentar.” Starla berpamitan sembari mencium dahi ayahnya. Ia harap Radev tidak menahannya sampai larut.Langkah Starla tertahan tepat di depan pintu kamar saat Mayang menghadangnya.“Mau ke mana?” tanya perempuan itu.“Balik k
“Pak, tapi saya—” Starla belum tuntas dengan jawabannya ketika Radev lebih dulu memutus kata-katanya.“Please, jangan bilang kalau kamu nggak mau. Saya butuh kamu malam ini, Starla. Kamu nggak kasihan sama saya memangnya?”Bukan tidak kasihan, Starla sangat prihatin menyaksikan keadaan Radev saat ini. Lelaki itu tampak kacau, sedih, dan hancur. Masalahnya Starla tidak mungkin tidak pulang. Ia sudah membayangkan omelan yang akan diterimanya dari Mayang jika hal itu terjadi.“Maaf, Pak Radev, saya nggak bisa nemenin Bapak di sini. Saya tetap harus pulang, Pak.”Radev mengembuskan napasnya di tengkuk Starla pertanda laki-laki itu kecewa karena penolakannya.“Pulanglah, maka saya akan minum sebanyak mungkin sampai besok nggak bisa bangun dan ikut meeting.” Ancaman itu terlontar dari mulut Radev bersama pelukannya yang semakin erat di tubuh Starla. Mereka berdansa sambil berpelukan. Keduanya bicara tanpa saling bertemu mata.“Kenapa Bapak selalu mengancam saya?” tanya Starla jengkel. Seper