Share

Bab 2 - Niskala

Penyu adalah salah satu hewan paling berani di muka bumi. Tukik, sebutan untuk anakan penyu, adalah analogi positif untuk menggambarkan perjuangan dari nol, sejak masih berada di dalam telur, tukik sudah ditinggalkan oleh induknya, terkubur dalam pasir tanpa penjagaan, menetas mandiri tanpa bantuan, menemukan jalan hidupnya sendiri ke lautan dan harus bertahan dengan cangkang yang masih sedikit lunak sampai ia menjadi kuat.

Antariksha Bumisakti, atau biasa dipanggil Arsha, setiap harinya menjalani hidup seperti seekor tukik yang baru menetas, ia tak gentar untuk merayap sekuatnya melewati pasir pantai untuk menuju ke samudera lepas sampai bisa berenang bebas. Namun, kali ini, Arsha sang tukik harus dihadapkan dengan kenyataan pahit; ia menetas terakhir. Tukik yang menetas terakhir harus mengemban resiko paling besar, tukik-tukik yang lebih dahulu menetas, telah meninggalkan jejak berupa aroma telur di sekitar sarang, membuat predator dengan mudah menemukannya. Tukik bungsu yang malang bisa saja tiba-tiba diterkam rakun, kepiting hantu, bahkan burung camar. Dan predator dari Arsha, sang tukik malang adalah seorang wanita bernama Niskala.

Minggu, 25 Agustus 2013

“Sha, itu joranmu gerak!!!” teriak seorang pemuda dengan lantang kepada temannya yang sedang buang air kecil di balik bongkahan batu besar.

“Halah, bohong aja terus Wa…,” timpalnya malas.

“Arshaaaaa!! Buruan kesini, itu beneran gerak!” satu teriakan tambahan dari seorang perempuan muda yang terdengar lebih nyaring. 

Mendengar teriakan kedua yang lebih meyakinkan, Arsha langsung bergegas pergi dari tempatnya dan berlari menuju dua orang yang sedari tadi meneriakinya, benar saja, ujung joran miliknya sedang bergerak-gerak dengan catutan tak berurutan, seperti ditarik-tarik sesuatu. Arsha bergegas untuk menarik joran miliknya, dengan kuat namun hati-hati, tarikannya yang semula mendapat perlawanan kuat, tiba-tiba hilang tanpa kekuatan, seperti menarik angin. Makhluk apapun yang tadi terjerat kail miliknya, sepertinya sudah berhasil menyelamatkan diri dan terbebas kembali ke lautan.

“Hahaha..., lepas, 'kan? makanya kalo temen bilang dengerin!” kata seorang pemuda bernama Rawamana alias Rawa yang langsung tertawa begitu temannya mengalami kesialan.

“Haha…, eh tapi bukan salah Arsha juga sih, Wa. Kamu tuh keseringan bohong, makanya dia susah percaya sama yang kamu bilang!” timpal Rhea.

“Nah…, bener kata Rhea, kamu udah kebanyakan bohong!” Sambung Arsha.

Tiga orang manusia yang bersahabat baik semenjak balita ini memang sudah biasa gaduh karena hal-hal kecil, sebagian besar memang karena ulah Rawa, yang selalu punya cara untuk membuat kedua sahabatnya geram, namun semua kegaduhan itu hampir selalu berakhir dengan tertawa bersama. Mereka bertiga sama-sama berusia delapan belas tahun dan baru saja lulus Sekolah Menengah Kejuruan.

Rawa, laki-laki penuh euforia, mudah tertawa dan sering bersikap konyol, berbanding terbalik dengan Rhea, perempuan ini lebih dewasa darinya, ia selalu menjadi dinding pembatas apabila Rawa mulai bersikap berlebihan di waktu dan tempat yang tidak tepat. Arsha, anak pendiam dan cuek di depan banyak orang, namun mampu menjadi pribadi yang terbuka di hadapan sahabat-sahabatnya, Arsha juga cukup dewasa.

“Ah, udahan yuk! Panas banget ini, emang ikannya masih kurang, Sha?” tanya Rhea sembari menyeka keringat di wajahnya dengan lengannya yang putih.

“Udah cukup sih, Rhe, yaudah, balik aja yuk! Wa, balik?” tanya Arsha pada Rawa.

“Ah, cemen kalian! Aku nggak akan pulang sebelum dapet hiu kepala martil!” tangkas Rawa pada kedua sahabatnya.

Rhea dan Arsha yang sudah mulai banyak berkeringat, saling melempar tatapan dan kerutan dahi setelah mendengar jawaban Rawa yang selalu diluar kepala mereka. Mereka berdua sepakat membalas “Terserah…,” kemudian bergegas merapikan joran dan perlengkapan memancing.

“Eh yaudah iyaaa aku ikut, duh kalian, susah diajak bercanda,” saut Rawa yang juga ikut membereskan barang-barangnya.

“Ya lagian, ubun-ubun udah panas dan kerongkongan kering kerontang gini, masih aja sempet bercanda,” balas Rhea.

“Iya iya, jangan ngambek dong manis,” canda Rawa, ia memang sering bercanda setengah rayu kepada Rhea, meskipun rayuannya selalu payah dan klise.

“Eh, Sha, jadi kira-kira kapan perempuan kota itu sampe ke rumahmu?” tanya Rhea 

“Ah, aku diabaikan padahal udah bilang manis…,” potong Rawa

“Bodo amat!” ketus Rhea.

Arsha tertawa kecil melihat kedua sahabatnya saat sedang ribut, pemandangan yang sudah biasa ia lihat dari mereka.

“Kayaknya dia bakal sampe sore ini deh, Rhe,” jawab Arsha kepada Rhea yang tadi terpotong oleh Rawa.

“Oh, semoga dia betah deh…,” balas Rhea.

Ada alasan mengapa mereka memancing ikan bersama sedari pagi sampai siang bolong tadi, sore ini Arsha akan kedatangan tamu, seorang perempuan dari kota seberang, anak dari sahabat ayahnya. Untuk beberapa alasan, sang sahabat dari ayah Arsha ingin menitipkan anaknya untuk berkuliah di daerah Arsha, tentu saja akan tinggal bersama Arsha dan keluarganya untuk empat tahun ke depan. Jadi, tamu ini bukanlah sekadar tamu, ia juga akan menjadi penghuni rumah Arsha.

Ayah Arsha, Pak Khalid, adalah warga asli desa Bitung, ia bekerja sebagai seorang teknisi kapal di Pelabuhan Merak yang berjarak 160 kilometer di sisi lain Provinsi Banten, Pekerjaannya mewajibkan ia ikut dalam perjalanan di atas kapal, rutenya memang tak jauh, kapal yang ia naiki bukanlah kapal pesiar besar antar negara, melainkan hanya kapal ferry sedang yang mengangkut warga lokal untuk sampai ke Pulau Sumatera. Namun, pekerjaan ini membuatnya jarang pulang, ia bisa bekerja lima hari dalam seminggu dan pulang di hari sabtu, seninnya sudah harus berangkat lagi. 

Sahabat Pak Khalid, Pak Rohim, merupakan warga asli desa Bitung juga, namun beliau telah merantau jauh dari desa semenjak usianya dua puluhan sampai kini ia hampir kepala lima, ia tak memiliki sanak saudara lagi di desa, karena ia anak tunggal dan orang tuanya telah meninggal, ia menikahi seorang wanita yang berasal dari Kota Bandung dan memutuskan untuk tinggal di sana sampai sekarang. Pak Khalid hanya bisa bertemu dengan sahabatnya beberapa tahun sekali, itu pun jika beliau ada urusan ke daerah Jawa Barat, namun kedua sahabat ini masih menjaga komunikasi dengan baik sampai sekarang.

Pak Rohim memiliki seorang anak perempuan berusia sama dengan Arsha, gadis ini baru saja lulus Sekolah Menengah Atas. Karena alasan tertentu, Pak Rohim memutuskan untuk menitipkan anaknya kepada keluarga Arsha, beliau ingin anak gadisnya tinggal jauh dari perkotaan dan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dekat tanah kelahirannya. Keputusan yang menurut Arsha sedikit rancu, karena perguruan tinggi di daerahnya tidaklah sebagus perguruan tinggi di kota besar seperti Bandung. 

Ikan yang telah Arsha kumpulkan sedari pagi, dimaksudkan untuk dibakar malam ini, untuk menyambut Pak Rohim dan anaknya yang dijadwalkan akan sampai beberapa jam lagi. Mereka berangkat dari Kota Bandung menggunakan mobil yang dikemudikan oleh seorang sopir, menempuh jarak sekitar tiga ratusan kilometer dan memakan waktu sampai tujuh jam perjalanan, jadi sudah sewajarnya jika mereka disambut dengan sepantasnya.

“Assalamualaikum, Bu, Pak,” salam Arsha kepada orang tuanya sesaat setelah ia sampai di rumah dengan ember penuh ikan, Rawa dan Rhea sudah pulang ke rumah masing-masing, mereka akan datang ke rumah Arsha nanti malam, karena Rawa dan Rhea juga akan menjadi teman dari anak Pak Rohim nantinya, jadi malam ini mereka juga bisa langsung berkenalan dengannya, sekaligus ikut meramaikan acara makan bersama.

“Waalaikumsalam, Sha,” balas ibu Arsha, Bu Ani. Bu Ani berperan sebagai seorang Ibu Rumah Tangga di keluarga Arsha, sebenarnya beliau pernah menjadi pengajar di Sekolah Menengah Pertama yang tidak jauh dari desa, namun beliau berhenti semenjak komplikasi penyakit mulai menggerayangi tubuhnya, salah satunya adalah penyakit yang biasa dialami orang yang sudah berumur empat puluh tahun, yaitu Gout alias Asam Urat. Asam Urat yang dialami Bu Ani memang tidak begitu kronis, namun kekhawatiran Pak Khalid tidak bisa dibendung, ia menyarankan Bu Ani untuk berhenti saja dan bersantai di rumah. 

Arsha disambut sang ibu sendirian di rumah, Pak Khalid sepertinya sedang keluar karena suatu urusan, Arsha adalah seorang pemuda yang mandiri, tidak seperti kebanyakan anak laki-laki lain yang mungkin akan langsung menyerahkan ikan tangkapannya kepada sang ibunda untuk dibersihkan, Arsha langsung pergi ke dapur untuk membersihkannya sendiri, ia juga bisa memasak berbagai jenis hidangan makanan, karena baginya, memasak adalah sebuah keterampilan untuk bertahan hidup, tidak masalah pria ataupun wanita, semua orang setidaknya harus bisa memasak untuk dirinya sendiri.

Ikan yang telah dibersihkan langsung dilumuri dengan bumbu ikan bakar yang telah dibuat oleh Bu Ani untuk kemudian di marinasi agar bumbunya menyerap dengan maksimal dan nanti malam hanya tinggal dibakar saja. Arsha bergegas mandi setelah membersihkan ikan, melanjutkan dengan ibadah wajib dan memutuskan untuk tidur siang didampingi hembusan sejuk kipas angin yang menempel di dinding kamarnya.

***

“Sha, bangun, Sha…,” ujar lembut seorang ibu sambil mendorong-dorong kecil tubuh anaknya yang masih terlelap.

Mata yang masih tertutup kuat itu harus terpaksa dibuka perlahan, “Iya sebentar lagi Buuu…,” lirih Arsha kepada ibunya. Tertidur di siang hari menjelang sore adalah sesuatu yang nikmat bagi seorang Arsha, ia akan sulit untuk bangun kalau sudah berada di penjara tidur ini, apalagi, ia yang baru lulus sekolah benar-benar menikmati momen tidur siang yang sulit didapatkan selama beberapa tahun terakhir, paling hanya saat akhir pekan ia baru bisa mendapatkannya. 

“Bangun, itu Pak Rohim udah sampe, cuci muka terus salim sana!” timpal Bu Ani kepada Arsha yang masih sangat sulit untuk bangun. 

Arsha dengan kesadaran yang baru terkumpul setengah, terhuyung-huyung bak pemuda mabuk salah pergaulan nekat berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya yang tak begitu rupawan, kurang selangkah menuju pintu kamar mandi, tubuhnya terhenti, mematung di depan seseorang yang tak pernah ia lihat seumur hidupnya, seorang gadis muda yang mengenakan pakaian lengan panjang berwarna abu tua, tampaknya gadis ini baru selesai menggunakan kamar mandi. 

“Permisi…,” ujar Arsha spontan sambil memberikan tanda berupa tangan dan tatapan sedikit ke bawah, bahasa universal untuk meminta izin lewat.

“Eh, iya…,” jawab lembut sang gadis asing sembari mempersilakan Arsha lewat.

Kesadaran Arsha baru benar-benar kembali sepenuhnya sesaat setelah air membasahi wajahnya, ia kini berdiri didepan cermin.

“Tadi, anaknya Pak Rohim, ya?” gumamnya sedikit pelan.

Pemuda mabuk yang tadi memasuki kamar mandi, kini melangkah keluar sebagai pemuda siuman yang sudah taubat, sadar sepenuhnya hanya karena air setara tiga gayung. Arsha menghampiri Pak Rohim dan sang Sopir yang masih kerabat dari istri beliau untuk memberi salam, Pak Khalid juga telah kembali dan kini mendampingi mereka merokok dan minum kopi di selasar depan rumah.

“Arsha, ya? Udah gede ya sekarang, terakhir ketemu waktu masih setinggi pinggang, sekarang sudah melewati saya haha…,” celetuk Pak Rohim begitu santai sambil tertawa.

“Eh, iya Pak hehe…,” timpal Arsha sedikit canggung, ia tak ingin memikirkan bagaimana bisa Pak Rohim membandingkan tingginya dengan pinggangnya semasa itu, padahal masih ada unsur lain yang bisa dijadikan komparasi.

“Bapak titip si neng ya, Sha. Tolong jagain selama di sini. Kalo dia ngerepotin, marahin aja gapapa hahaha…,” lanjutnya begitu santai dan lagi-lagi tertawa, Arsha tak habis pikir, seorang ayah menitipkan anak gadisnya untuk tinggal selama empat tahun di tempat yang berjarak ratusan kilometer darinya, namun seperti tidak ada kekhawatiran tercermin dari perangainya.

“Iya, Pak, InsyaAllah saya jaga,” jawab Arsha singkat padat.

Arsha baru menyadari bahwa ia belum melihat lagi gadis yang tadi berpapasan dengannya, padahal ia merasa sedikit bersalah karena tidak menyalaminya. Setelah berbincang lebih lama dengan Pak Rohim, tak disangka, sang gadis yang ia pertanyakan keberadaannya muncul secara tiba-tiba dari balik pintu dengan hiasan tirai bergantungan cangkang kerang, pintu dari sebuah ruangan yang akan menjadi kamar pribadinya, ternyata sedari tadi ia sibuk menyusun pakaiannya di dalam. Arsha berdiri, memasuki rumah kembali dan menghampiri gadis itu tanpa pikir panjang.

“Hai, perkenalkan, Arsha…,” ucapnya pelan sambil mengulurkan tangan dan mengharap balasan.

Untuk beberapa detik, sang gadis hanya terdiam kaku, menatap ke arah Arsha dengan lipatan mata yang menipis tajam. Arsha sedikit bingung dengan situasi itu, ia berpikir apakah sang gadis marah karena ia tak menyalaminya sebelumnya. Sang gadis yang mula-mula terlihat serius, mendadak menunjukkan senyum tipis dengan tatapan sayu.

“Sama pacar sendiri udah lupa?” tanya gadis itu santai dengan gestur menggoda.

Arsha sontak terperanjat mendengar pertanyaan yang sangat abstrak dari seseorang yang tak pernah ia jumpai sebelumnya. Arsha tak pernah mempunyai pacar seumur hidupnya, mendekati wanita saja ia tak mencari tahu caranya, ia mampu, namun memilih untuk tidak melakukannya. Jadi, sudah jelas bahwa gadis ini mengada-ngada.

“Haaaahh?!! Pacar? Kamu mabuk darat?” tanya Arsha sedikit curiga.

“Enak aja! Aku sadar seratus persen!” jawab gadis itu merajuk.

“Kita aja baru ketemu! Dan aku nggak pernah punya pacar!” cetus Arsha.

“Kamu punya pacar! Namanya Niskala…, itu aku!” celetuk sang gadis percaya diri.

“…,” Arsha terdiam keheranan.

“Au ah!” timpal Niskala, sang gadis misterius, yang kemudian melesat pergi dan masuk kembali ke kamarnya, meninggalkan seorang pemuda kebingungan mematung dengan pikiran yang masih tenggelam dalam keheranan.

Di sisi lain, sang pemuda bingung, masih belum mampu memproses kejadian yang baru terjadi sepersekian detik lalu, ia memikirkan sebuah kemungkinan dan membangun hipotesis menakutkan, yaitu Niskala adalah makhluk yang lebih random dari Rawa dan makhluk ini akan tinggal di rumahnya untuk waktu yang lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status