Share

Bab 8 - Mesin Uap

Clermont adalah nama dari kapal uap pertama yang secara komersial telah sukses menjalankan tugasnya di atas air tanpa masalah, kapal rancangan Robert Fulton itu merupakan kapal berbahan bakar batu bara yang pertama kali dipakai di daerah Clermont, New York dan berhasil menaklukkan Sungai Hudson sejak tahun 1807 sampai 1814. Kapal itu dipersenjatai dengan mesin berkekuatan dua puluh tenaga kuda yang Robert impor dari Birmingham, Inggris. Mesin impor itu menggerakkan sepasang roda berpedal dengan diameter 450 sentimeter yang dipasang di tiap sisi kapal Clermont, sehingga membuatnya bisa bergerak di atas air tanpa bantuan layar dan angin seperti kapal-kapal lain di masanya. 

Hasil ciptaan Robert Fulton itu menjadikannya salah satu penemu Amerika yang paling berpengaruh dalam perkembangan teknologi transportasi, pria kelahiran tahun 1765 itu berhasil meninggalkan kesan yang begitu mendalam bagi kehidupan manusia di atas air sampai detik ini. Seorang Robert Fulton mungkin jarang sekali didengar oleh orang-orang di masa sekarang, tidak seperti penemu terkenal lain yang sering disebutkan namanya di buku-buku sekolah. 

Kendati jarang terpublikasi, bukan berarti kisahnya tak ada yang mengetahui, seperti halnya seorang pelajar pria kelas sebelas yang sedang duduk terpaku di sudut kelas dari sebuah sekolah tak terkenal di ujung barat Pulau Jawa pada awal tahun 2012, telapak tangan kirinya menjadi sandaran bagi buku yang sedang ia baca, sementara jari-jari di tangan kanannya ia beri tugas untuk membalik halaman setelah matanya selesai dengan kata terakhir yang berada di ujung kanan bawah. 

Robert Fulton and the Steamboat adalah buku yang belum sempat lepas dari genggaman tangan dan cengkraman mata sang pelajar sejak dimulainya istirahat pertama. Buku yang terbit pertama kali pada tahun 1954 ini berisi kisah hidup seorang Robert Fulton dan semua kontribusinya dalam dunia teknologi mesin dan transportasi, karya tulis dari Ralph Nading Hill ini lebih mampu menarik perhatian sang pelajar pria, dibanding dengan seorang pelajar wanita yang sedari tadi memanggil namanya.

“Arsha! Arsha! Woi! Jadi gimana?” panggil si pelajar wanita.

“Hah?” saut pelajar pria yang tidak lain adalah Antariksha Bumisakti di masa sekolah. Ia menyaut tanpa sedikit pun membiarkan sorot matanya berpindah dari tulisan-tulisan indah yang berasal dari pertengahan abad dua puluh itu.

“Ih! Dari tadi aku nanya juga, jadi menurutmu gimana soal ramalan kiamat di akhir tahun nanti?” tanyanya antusias.

“Aku nggak tahu, nggak peduli juga,” jawabnya dengan sorot mata yang masih di tempat yang sama.

“Ah, yaudah, kamu nggak mau nanya balik?” lanjut sang pelajar wanita.

“Aku harus nanya apa?” tanya Arsha malas.

“Ya apa gitu! Kenapa kamu nggak pernah nanya balik tiap kuajak ngobrol?!” ketus sang pelajar wanita.

Sorot mata Arsha baru berhenti bergulir menyamping dan ke bawah setelah mendengar perkataan terakhir dari wanita di depannya, tangan kanannya berhenti membalik halaman seperti sedia kala, ia menutup buku itu dengan perlahan, menggeletakkannya di atas meja, melihat ke arah sang wanita, lalu berkata seadanya.

“Aku nggak tertarik.”

Sebuah lontaran kalimat yang cukup kuat untuk membuat wanita itu pergi menjauh dengan ekspresi yang meringis dan gelagat sudah muak, meninggalkan Arsha sendirian dengan penuh rasa nyaman seperti yang selama ini ia harapkan.

“Gila, gila, Shania yang masuk daftar cewek paling cantik di sekolah ini aja kamu bikin dongkol begitu, sia-sia sekali wahai anak muda,” celetuk seseorang, suara yang tak asing itu berasal dari belakang Arsha, ia sudah bisa menduga sebelum menoleh ke arahnya. Rawamana Putra, berdiri di luar kelas dengan kepala yang masuk ke dalam melalui celah jendela.

“Udah kuduga, Rawa sialan,” ketus Arsha, “Ngapain sih harus ngomong lewat jendela begitu?”

“Biar misterius. Eh, serius, Shania itu kayaknya suka denganmu, kenapa diperlakukan begitu?” tanya Rawa.

“Pertama, aku emang begitu ke semua cewek kecuali Rhea. Kedua, Shania selalu ngajak ngobrol tiap aku lagi sibuk dengan duniaku,” jelas Arsha.

“Yaaa, masalahnya kamu itu sibuk dengan duniamu di setiap waktu, kapan dia bisa ngajak ngobrolnya kalau gitu?” tanya Rawa lagi.

“Nanti, kalau dia bisa jadi lebih menarik dari duniaku!” jawab Arsha, “Udah ya, mau lanjut baca buku, pergilah kembali ke dunia asalmu!” lanjutnya.

“Emangnya aku jin nyasar hah?!” protes Rawa. “Yaudahlah, jangan lupa makan, ya!” pesannya lagi.

“Jangan sok perhatian, sialan! Menjijikan!” tolak Arsha.

“Ya abisnya, nanti aku kesulitan nyari orang lain untuk diolok-olok kalau kamu mati karena kelaparan!” kilah Rawa sambil bergegas pergi dari Arsha.

“Siala—”

DUGGG!!

Rawa yang terburu-buru pergi setelah mengejek sahabatnya itu malah terkena karma instan di depan mata Arsha, kepalanya terbentur jendela begitu keras sampai Arsha dan beberapa orang yang masih berada di dalam kelas seketika tertawa puas melihatnya.

***

Satu setengah tahun kemudian Arsha kembali berada di hadapan seorang perempuan, bukan di dalam kelas yang berisik, melainkan di sebuah tempat parkir yang sunyi, tak ada suara mesin uap dengan kepulan asap yang muncul dalam bentuk imajinasi, hanya ada suara mesin kendaraan yang mati atau menyala sesekali. Bukan di hadapan Shania yang sudah merasa dongkol karena diabaikan olehnya, melainkan di hadapan Niskala, perempuan yang malah berhasil membuat Arsha melontarkan banyak tanya, terlalu banyak tanya sampai Niskala menangis dibuatnya.

Membuat seorang perempuan meneteskan air mata adalah hal yang tak pernah Arsha bayangkan sebelumnya, tubuhnya kaku tak tahu harus berbuat apa. Arsha membeku di tengah-tengah tempat parkir yang lapang, yang di setiap detiknya bisa saja ada orang yang datang. Niskala yang menangis tanpa suara bukan berarti membuatnya lantas lega, diamnya perempuan itu justru malah membuat Arsha tak bisa mengatakan sesuatu yang seharusnya dikatakan orang dalam kondisi serupa, ia tak bisa berkata “Tenanglah.”

Untungnya Arsha yang membeku sesaat mulai bisa merasakan hangat, ia mendapatkan sebuah alasan untuk mencair, sebuah alasan yang seharusnya ada di bagian terdepan pemikirannya saat ia merasakan tidak enak, salah satu dari tiga kata paling ajaib dalam kehidupan.

“Maaf.”

Mulut Arsha kembali menutup setelah satu kata itu keluar diiringi rasa sesal, Niskala yang masih terdiam dalam kesedihan, tiba-tiba menggelengkan kepalanya pelan, membuat Arsha kebingungan dan lantas merasa harus memaksa mulut itu terbuka untuk yang kedua kalinya. Bukan kata maaf lagi yang terucap, melainkan sebuah kata yang diakhiri dengan tanda tanya.

“Kamu kenapa?” 

Mulut yang kali ini mengeluarkan dua buah kata ternyata berhasil membuat Niskala keluar dari zona diamnya.

“Kamu nggak salah,” jawabnya.

“Terus kamu kenapa?” tanya Arsha lagi.

“Soal Kak Dirga…,” jawabnya terhenti.

Arsha terkejut mendengar jawaban Niskala dan langsung bertanya lagi kepadanya, “Dia? Kamu diapain?”

“Bukan, bukan itu…, Kak Dirga itu satu-satunya yang nggak minta nomorku di antara cowok-cowok yang kutemui hari ini, makanya tadi aku bisa ngobrol sama dia. Tapi kami emang cuma ngomongin ospek,” terang Niskala.

“Terus yang buat kamu nangis apa?” tanya Arsha lagi.

“Saat kamu mulai nganggep aku pilih-pilih ngobrol sama cowok…, aku tahu, itu bukan salahmu. Kamu cuma penasaran, wajar kalau kamu nanya ini itu. Mungkin akunya yang terlalu sensitif,” ungkap Niskala.

“Nggak kok, emang aku juga yang salah, aku malah bikin asumsi aneh-aneh sebelum dengar penjelasan dari kamu,” sanggah Arsha.

“Kamu cuma nanya dengan wajar kok, Sha. Jadi gapapa,” balas Niskala, “Sha…,” panggilnya pelan tiba-tiba.

“Iya?” saut Arsha.

“Caramu menatapku waktu tadi…, aku nggak mau lihat tatapan itu dari kamu lagi,” pinta Niskala.

Arsha terdiam sesaat.

“Aku nggak bisa nahan rasa sedihku tiap kali ada orang yang melihatku seolah aku ini perempuan yang nilai orang lain dari fisik atau statusnya aja. Ada beberapa alasan dibalik itu, alasan yang belum bisa aku ceritain ke kamu,” ujar Niskala.

“Aku ngerti…,” angguk Arsha.

“Sha…,” panggil Niskala lagi. Suaranya terdengar melemah dengan mata yang semakin sayu, membuat Arsha yang mendengarnya semakin merasa bersalah.

“Iya?” saut Arsha pelan, ia seketika menelan ludah karena merasa banyak melakukan hal yang membuat Niskala merana.

“Aku laper…,” jawab Niskala dengan ekspresi meringis yang dibuat-buat, bibirnya sengaja ditekuk ke bawah untuk menciptakan kesan cemberut yang dipaksakan.

Arsha dengan kesadaran sepenuhnya baru saja menerima fakta bahwa ia telah dibodohi lagi oleh perempuan itu, Niskala yang peka bahwa Arsha sedang merasa bersalah, sengaja menciptakan ilusi berupa suasana seolah ia akan merasa semakin bersedih di hadapannya. Ungkapan bahwa ia hanya sekadar lapar langsung membuat ekspektasi Arsha jatuh seketika. Namun anehnya, tak ada rasa kesal yang menghinggapi diri Arsha, ia malah merasa lega karena perempuan itu telah kembali seperti semula.

Arsha tak membalas Niskala yang berkata bahwa ia sedang lapar, ia memilih untuk berpaling darinya, berjalan sebentar ke arah rerumputan yang berada di tepian tempat parkir, mengambil segenggam tanaman hijau itu dan kembali mendatangi Niskala. 

Tangan yang sedari tadi Arsha jaga agar tetap mengepal, ia sodorkan di hadapan Niskala dengan posisi yang sudah berubah terbuka lebar, terlihat gumpalan rumput yang baru Arsha cabut.

“Nih, makan!” celetuk Arsha.

“Enak aja!” protes Niskala, “Tadi kamu suruh aku nanya sama tembok, sekarang suruh aku makan rumput, kamu beneran nganggep aku cicak?!” lanjutnya.

“Wahai putri sulung Pak Rohim…, Sejak kapan cicak bisa ngomong sama tembok? Sejak kapan cicak makannya rumput?!” protes Arsha yang sudah gemas dengan Niskala.

“Wahai putra sulung Pak Khalid…, kamu … aarrgh bodo amat!!” balas Niskala pasrah, ia bergegas mengambil helm bogo miliknya dan memakainya langsung di hadapan Arsha, “Ayo!” ketusnya.

Niskala yang tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya telah menjadi alasan timbulnya sebuah senyuman licik di bibir Arsha, ia merasa senang karena telah menang dari perempuan di hadapannya, sebuah kemenangan kecil dari banyak kekalahan yang ia terima. Arsha bergegas kembali menaiki motornya tanpa lupa meminta Niskala untuk naik juga, mereka berdua memutuskan untuk pergi dan keluar dari tempat parkir. 

Gas dari motor tua itu Arsha tarik perlahan karena ia masih berada di lingkungan perkuliahan, pikirannya yang mulai fokus ke arah depan tiba-tiba dibuyarkan oleh sebuah pertanyaan dari orang di belakang.

“Kamu beneran nggak peka, ya?” tanya Niskala tiba-tiba.

“Nggak peka gimana?” jawabnya dengan tanya.

“Tadi pas aku nangis…, harusnya kan dipeluk. Minimal pundakku kamu pegang gitu,” celetuk Niskala.

“Hah?! Kenapa aku harus ngelakuin itu?” protes Arsha.

“Ya normalnya kan begitu!” ketus Niskala.

“Enak aja, lagian mana kepikiran aku buat meluk perempuan, di tempat umum pula!” balas Arsha.

“Yaudah lain kali aku nangis di tempat yang nggak umum aja,” goda Niskala.

“Ya nggak gitu juga!” ketus Arsha, “Tetep nggak bakal kupeluk,” lanjutnya.

“Hmm…, masa? Yaudah lihat aja nanti,” tantang Niskala.

Tantangan dari Niskala tak benar-benar dihiraukan oleh Arsha, memeluk perempuan adalah hal yang tak bisa ia bayangkan akan terjadi dalam waktu dekat. Motor yang telah keluar melewati gerbang utama langsung ia tancap lebih cepat, meninggalkan UNSUF yang terlihat semakin kecil di belakang mereka.

Melihat jalan raya dan lingkungan sekitar, membuat Niskala merasa kebingungan, motor yang membawanya tidaklah berjalan ke arah berlawanan saat mereka datang. Arsha yang juga tak bilang apa-apa membuatnya mengira bahwa pemuda itu memutuskan untuk pulang melewati jalan yang berbeda. Namun, perkiraan Niskala semakin jauh dari kata benar ketika ia sadar bahwa di depan mereka sudah bukan lagi jalan raya, melainkan sebuah tempat luas dengan hembusan angin dan suara deburan yang khas.

Motor yang telah mengaspal kurang lebih selama lima menit semenjak keluar melewati gerbang utama UNSUF itu Arsha hentikan di depan sebuah warung makan tak jauh dari lapang yang dipenuhi dengan pasir putih, Ikan Bakar Sakana adalah nama dari warung makan itu. Aroma khas bumbu ikan bakar yang terjatuh dan menyentuh bagian atas arang telah hinggap dengan nyaman di dalam indra penciuman mereka, kepulan asap tipis dari atas pemanggangan berhasil mendatangkan nafsu makan yang sejak pagi tadi mereka tahan.

Tak jauh dari tempat mereka singgah, terdapat sebuah tulisan besar yang berdiri kuat di atas tanah, sebuah ikon yang terdiri dari beberapa huruf besar terbuat dari beton, huruf-huruf itu dipasang berdiri sejajar, membentuk dua buah kata yang bertuliskan “Pantai Abipraya.”

“Wah…, kok ke sini?” tanya Niskala penasaran.

“Tadi kamu kan bilang laper, gimana sih?!” balas Arsha.

“Oh iya juga,” timpal Niskala.

“Kamu pesan sana, aku yang traktir. Sebagai permintaan maaf karena udah bikin kamu nangis,” jelas Arsha.

“Ih so sweet banget,” goda Niskala.

“Berisik! Buruan pesan sebelum aku berubah pikiran!” keluh Arsha.

“Iya iyaaa!” jawab Niskala yang dengan antusias bergegas memasuki tempat makan, ia memesan cumi bakar yang merupakan makanan favoritnya, diikuti Arsha yang juga masuk dan ternyata memesan menu yang sama.

Ikan Bakar Sakana adalah warung makan yang tak terlalu besar namun sering penuh dan ramai, Arsha mengetahui tentang tempat ini dari Rawa. Warung makan ini layaknya Kedai Kasih yang membelakangi pantai, di bagian belakangnya juga ada tenda sederhana yang melindungi beberapa meja makan di bawahnya. Arsha dan Niskala memutuskan untuk makan di bagian belakang sambil melihat pemandangan pantai yang tak diragukan lagi keindahannya.

Mereka berdua makan dengan lahap dan menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit untuk membuat piring di hadapannya bersih seketika, cumi yang telah dibakar selama tiga puluh menit langsung habis hanya dalam waktu tak lebih dari sepertiganya. Yang tersisa di sana hanyalah Arsha dan Niskala dengan perut terisi dan wajah sumringah.

“Nis…,” panggil Arsha.

“Yaaaa?!!” jawab Niskala dengan begitu antusias, membuat Arsha kebingungan melihatnya.

“Kok kamu jawab seneng banget begitu?” tanya Arsha.

“Baru pertama kali kamu manggil aku bukan dengan nama lengkapku, kamu tiap manggil selalu aja pake kata ‘Niskala’ atau ‘Kamu’, eh tapi aku nggak pengen dipanggil 'Nis', panggil aja Niska atau Ka,” terang dan pintanya.

“Karena itu doang?” tanya Arsha heran.

“Tau ah! Apa manggil-manggil?!” jawab Niskala yang kini berubah menjadi acuh tak acuh.

“Aku jadi penasaran, kenapa kamu nggak mau ngasih nomor teleponmu ke cowok-cowok itu tadi?” tanya Arsha.

“Pertama, karena aku emang ngga nyaman sama cowok yang dateng cuma buat godain dan minta kontakku doang, yang kedua…,” jawabnya terhenti.

“Yang kedua apa?” tanya Arsha penasaran.

“Masa masih nggak peka juga, sih!” ketus Niskala.

“Nggak peka gimana lagi hah?!” protes Arsha.

“Aku pengen kamu jadi cowok pertama yang kupunya nomornya di sini!” ungkap Niskala sedikit berteriak, “Tapi kamu nggak pernah nanyain nomorku duluan,” lanjutnya lagi.

“Astaga…, cuma karena itu? Aku mana kepikiran buat minta nomormu, kita kan serumah! Lagian, kenapa kamu nggak minta duluan?” tanya Arsha.

“Nggak mau! Pengen kamu yang minta duluan. Masa di antara cowok-cowok yang minta nomorku, pacarku sendiri nggak termasuk di antaranya!” jawab Niskala.

Jawaban yang baru ia dengar membuat Arsha terdiam seketika, ia baru ingat bahwa Niskala menganggapnya sebagai pacar, kata itu jarang terdengar lagi dari mulut Niskala semenjak hari pertama dan kedua ia tinggal di sana. Arsha yang telah menerima saran dari Rhea untuk membiarkan Niskala, memutuskan untuk menahan diri dan tidak berkata apa-apa tiap kali perempuan itu membahasnya. Tentu saja Arsha sudah menyiapkan diri untuk membahas itu bersama Niskala, kelak jika ia merasa sudah berada di tempat dan waktu yang tepat.

“Huft…,” keluh Arsha, “Sini ponselmu,” pintanya tiba-tiba.

Niskala lantas memberi apa yang Arsha minta tanpa ada satu pun tanya. “Nih,” sodornya.

“Ini ponselku,” ucap Arsha sambil menyerahkan ponsel miliknya juga kepada Niskala, “Kita isi nomor telepon masing-masing aja biar cepat,” jelasnya.

“Ohh begitu, oke!” jawab Niskala.

Ponsel Niskala kini sudah berada di tangan Arsha, ia menggenggam sebuah perwujudan dari teknologi yang mengikuti zaman, berbeda jauh dari ponsel miliknya yang sudah nyaris menyandang status ketertinggalan. Jari-jarinya begitu nyaman menari-nari di atas papan ketik jenis Qwerty, yang menjadi ciri khas dari ponsel pintar merek buah beri. 

Ponsel dikembalikan ke pemilik masing-masing setelah keduanya sama-sama selesai digunakan dan kedua nomor telepon telah berhasil saling tersimpan. Arsha memutuskan mengajak pulang Niskala tanpa melihat dulu isi ponselnya, Niskala yang sudah kenyang dan cukup lelah juga mengiyakan ajakan sang pemuda. Mereka berdua kembali berada di atas motor tua, kembali pula menyusuri jalan yang sama seperti sedia kala, lima puluh menit dibutuhkan sampai mereka berhenti di depan rumah, di desa yang jauh dari sumpah serapah orang-orang yang berjuang di tengah kota. 

Arsha langsung bergegas naik kembali ke daerah kekuasaannya, menyiapkan diri untuk beristirahat sejenak sebelum melakukan kegiatan yang sudah ia rencanakan. Tubuhnya terlentang di atas kasur empuk, matanya memejam perlahan, pelan-pelan ia mulai melupakan kehidupan. Sampai tak disangka semua rasa nyaman itu hilang seketika karena sebuah getaran dari atas meja. Ponselnya menyala dan menampilkan sebuah notifikasi pesan masuk di layarnya.

Sebuah pesan yang hanya berisi satu kata diakhiri tanda titik, dikirim oleh kontak bernama Niskala Cantik.

“Kangen.”

Pesan yang baru saja Arsha baca itu tak bedanya seperti mesin uap kapal Clermont yang baru pertama kali menyala. Sebuah inovasi baru pasti memiliki kekurangan di belakangnya, cerobong asap dari kapal Clermont adalah salah satu contoh nyata, benda itu mengeluarkan kepulan asap hitam yang menghinggapi pakaian dari semua penumpangnya. Persis seperti Niskala yang baru saja mendapatkan inovasi baru dalam mengganggu Arsha, melalui pesan yang akan terus menghinggapi ponsel sang pemuda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status