Rara sungguh terlihat sangat cantik saat dia berjalan mendekat. Ingin rasanya memeluknya tapi Anggita memegang tanganku sangat kencang. Anehnya M C acara ini memperkenalkan Rara sebagai anak pemilik R.D Company, bukankah itu kantor tempat Anggita bekerja? Bisa gawat kalau yang diucapkan M C itu benar! Rara sudah sampai di depanku, wajahnya sungguh cantik dengan make up tipis seperti itu. Sadar posisiku tidak menguntungkan aku mencoba menjelaskan padanya. “Dek ... ini ....” Aku berusaha menjelaskan namun dia malah memberikan sesuatu yang paling aku takuti. Surat panggilan sidang perceraian. Aku shock! Apa yang kutakuti akhirnya terjadi! Rara menggugatku. Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Aku harus merayunya agar membatalkan gugatan ini. Aku yakin dia pun masih cinta sama aku. Belum sempat aku memikirkan cara untuk merayunya, mertuaku tiba-tiba pingsan setelah mendengar hutangku yang diberikan kepada Anggita, tapi untunglah, bosku adalah pamannya Rara, jadi tidak jadi dipenjara karena
Matahari semakin meninggi. Panasnya membuat Dani dan keluarganya kegerahan.Dani dan keluarganya masih kebingungan. Rara benar-benar tak mau membukakan pintu pagar untuknya. Istri yang dulu patuh dan taat kepadanya, sudah menjadi istri yang berani dan membuat dirinya kesusahan.“Bu, kita sementara ke pos ronda itu lagi saja, menunggu pintu dibuka baru kita terobos masuk!” saran Dani. Pos ronda letaknya memang berseberangan dengan rumah Rara.“Aku mau pergi saja! Kalau sudah bisa masuk kabari, ya!” tanpa menunggu jawaban yang lain Imron segera pergi.“Aku juga pergi ya, Sayang. Ada urusan sebentar.” Ken ikut meninggalkan rombongan itu. Nia hanya mengangguk tanpa menanyai hendak kemana suaminya itu. Tinggallah mereka bertiga duduk di pos Ronda. Menatap rumah yang dua tahun mereka tinggali, kini diambil oleh pemiliknya.“Dan, beli makanan sana! Ibu sudah lapar,” ucap Bu Intan.“Mana uangnya, Bu?” Dani meminta uang tapi malah disingkirkan tangan Dani dari hadapannya.“Pakai uangmu saja,
“Pa, boleh aku bicara berdua saja dengan Rara?” Mas Dani meminta izin pada Papa.Papa menengok ke arahku. “Terserah Rara mau bicara atau tidak,” ucap Papa.Aku pun mengangguk. Kami berdua bicara di teras. “Keluarlah sekarang, Mas. Ajak kakak dan Ibumu pergi. Pernikahan kita sudah tak bisa dilanjutkan lagi. Kamu sendiri yang merusaknya dengan menghadirkan pihak ketiga. Bahkan ia mengandung anakmu.” Aku memberi pengertian kepada Mas Dani agar meninggalkan rumah ini. “Dek, kalau mau dimadu, surga menantimu. Istri Solehah yang ikhlas menerima suaminya menikah lagi.Apa kamu tidak ingin seperti istri Nabi yang ikhlas menerima suaminya menikah lagi?” Mas Dani berusaha menggunakan dalil agama.“Jangan bicara soal Nabi, Mas. Beliau poligami menikahi janda yang sudah berumur, bukan seorang gadis dan menghamilinya. Kamu memintaku seperti Aisyah, tapi kelakuanmu sama sekali tak mencerminkan sikap suami Aisyah!” sungutku. Jarang salat tapi sok mengerti agama.“Tapi aku benar-benar tak mau ber
Dasar wanita sialan! Bisa-bisanya bilang hutang satu milyar diberikan padaku. Sok banget, memangnya dia siapa! Gara-gara dia pula Ibuku sakit dan marah padaku. Dia bilang aku bodoh karena tidak mencari tahu Mas Dani seperti apa. Kalau benar dia dipecat dan tak bisa bekerja, masa aku yang harus menafkahinya? Aku tidak mau!. Daripada uring-urinngan mending aku ke salon agar diriku semakin cantik. Baru selesei mandi, handphoneku berdering, tanda ada panggilan masuk. Nomor baru, aku pun mengangkatnya.[Halo]Aku hafal suara itu.Suara seorang laki-laki yang meninggalkanku saat mengetahui aku hamil. Ya, anak ini memang bukan anak Mas Dani. Aku masih memiliki pacar saat bertemu dengan Mas Dani kala itu. Saat mengetahui diriku hamil, aku meminta pertanggung jawaban kepada pacarku. Namun dia malah memutuskanku dan menghilang. Aku yang panik karena malu hamil diluar nikah lalu merayu Mas Dani agar mau berhubungan denganku, dan mengakui janin ini sebagai anaknya. Biarlah, daripada anakku t
Rara mulai mengepak barang-barang. Untuk sementara dia akan kembali ke rumah Papanya sampai rumahnya laku. Rumah ini sudah diberi tanda kalau dijual, tapi Rara tidak mencantumkan nomornya, melainkan nomor Papanya. Ia benar-benar sudah tak mau lagi berhubungan dengan keluarga Dani, ia mulai mengganti nomornya dan memblokir nomor Dani dan keluarganya. “Sidangmu hari ini, ya?” tanya Alex. Rara memang dibantu Alex membereskan barangnya.“Iya, nanti jam sembilan pagi, ini masih jam enam kok,” tukas Rara.“Ya sudah, nanti aku antar sekalian. Mana lagi barang yang perlu dipacking?” tanya Alex sambil mengikat kardus berisi novel-novel milik Rara.“Barang di lantai dua, bawa seperlunya saja gak usah semuanya, Lex,” kata Rara sedikit berteriak karena dia sudah berada di tangga. Rara memasukkkan beberapa peralatan memasaknya. Tak sengaja Rara menengok ke arah pintu kamar Pembantu—yang sempat dipakai Anggita— karena pintunya terbuka. Rara pun masuk kamar itu. Ia lupa belum membereskan sisa bar
“Yang aku coret semuanya adalah laporan fiktif! Tidak ada kegiatan tersebut di kantor ini. Lalu ke mana uangnya?! Bentak Sang direktur yang membuatnya tambah panik. Apalagi orang itu menatapnya terus-menerus.**** “Kenapa kamu diam saja Anggita?” tatap Bosnya tajam. Tentu saja Anggita tak bisa menjawab. Kebingungan juga mendapat tatapan tajam dari seseorang membuatnya tambah grogi.Karena tak menjawab, Pak Bos mengambil sesuatu dari laci mejanya.“Lalu apa ini?!” Bos Anggita memberikan beberapa slip gaji palsu yang biasa Anggita pakai untuk menggaji karyawan kantor itu. Tanpa perlu memegangnya pun Anggita sudah mengenali tumpukkan kertas itu.Anggita masih terdiam, dia benar-benar tak menyangka bosnya akan mengetahui semua hal yang sudah dia sembunyikan rapat selama ini. Benar kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Sekarang Bosnya sudah tahu, dia tak bisa mengelak lagi. Pak Ardi memberikan slip gaji asli dari kantor, dan membandingkan dengan s
Anggita kesal sendiri di ruangannya. Dia tak menyangka kejahatannya akan ketahuan secepat ini. Dirinya mulai tak fokus bekerja. Pikirannya kembali pada percakapan tadi dengan Bosnya. Dirinya sama sekali tidak menyangka kalau Rara adalah anak dari Pak Ardi.“Arrrgh ....” Anggita memukul meja kerjanya. Dia sangat kesal. Semuanya tak berjalan sesuai keinginannya. Dia berencana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari kantor ini. Setelah itu baru akan resign dan memulai usaha butik impiannya.Tapi manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan. Ditambah sekarang dia dipecat. 'Mana mau Aku menjadi Office Girl, pekerjaan rendahan, mau-maunya menjadi pesuruh. Batinnya. Biarlah aku dipecat, nanti bisa cari kerjaan baru. Aku kan cantik. Gumamnya sambil melihat dirinya di kaca yang selalu ia bawa.[Perhatian kepada semua karyawan, besok akan diadakan pengangkatan direktur baru, diharapkan kehadirannya jam tujuh malam di Hotel Melia. Boleh mengajak anggota keluarga. Terima kasih.] Terdengar pe
“Kenapa, Nia?” tanya Bu Intan sambil duduk di samping Nia. Ibunya mengelus kepala Nia dan menyenderkannya di bahunya. Anggita dan Dani berdiri di depan Nia.“Ada orang yang mengirim pesan gambar padaku, Bu. Bang Ken ditangkap polisi.” Setelah mengatakan itu Nia kembali menangis.“Ditangkap polisi? Kok bisa? Memangnya apa yang dia lakukan?” tanya Dani tak sabar.“Jangan langsung percaya, bisa jadi itu penipuan, Mbak. Seperti mama minta pulsa, lagi di kantor polisi gitu.” Anggita menanggapi juga.Nia tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya kepada Dani. Anggita dan Ibunya ikut mendekat untuk melihat gambar apa itu. Di ponsel itu terlihat Ken dan seorang perempuan berpakaian mini yang menutupi wajahnya menggunakan tangan. Mereka duduk di ruangan seperti kantor polisi, terlihat dari warna coklat di cat dindingnya.“Memangnya apa masalahnya, Mbak? Lalu siapa perempuan ini? Mbak kenal?” Berondong Dani.Melihat kakaknya tak menjawab, Dani segera memanggil nomor tersebut. Namun tidak aktif.