“Yang aku coret semuanya adalah laporan fiktif! Tidak ada kegiatan tersebut di kantor ini. Lalu ke mana uangnya?! Bentak Sang direktur yang membuatnya tambah panik. Apalagi orang itu menatapnya terus-menerus.**** “Kenapa kamu diam saja Anggita?” tatap Bosnya tajam. Tentu saja Anggita tak bisa menjawab. Kebingungan juga mendapat tatapan tajam dari seseorang membuatnya tambah grogi.Karena tak menjawab, Pak Bos mengambil sesuatu dari laci mejanya.“Lalu apa ini?!” Bos Anggita memberikan beberapa slip gaji palsu yang biasa Anggita pakai untuk menggaji karyawan kantor itu. Tanpa perlu memegangnya pun Anggita sudah mengenali tumpukkan kertas itu.Anggita masih terdiam, dia benar-benar tak menyangka bosnya akan mengetahui semua hal yang sudah dia sembunyikan rapat selama ini. Benar kata pepatah, sepandai-pandainya menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga. Sekarang Bosnya sudah tahu, dia tak bisa mengelak lagi. Pak Ardi memberikan slip gaji asli dari kantor, dan membandingkan dengan s
Anggita kesal sendiri di ruangannya. Dia tak menyangka kejahatannya akan ketahuan secepat ini. Dirinya mulai tak fokus bekerja. Pikirannya kembali pada percakapan tadi dengan Bosnya. Dirinya sama sekali tidak menyangka kalau Rara adalah anak dari Pak Ardi.“Arrrgh ....” Anggita memukul meja kerjanya. Dia sangat kesal. Semuanya tak berjalan sesuai keinginannya. Dia berencana mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari kantor ini. Setelah itu baru akan resign dan memulai usaha butik impiannya.Tapi manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan. Ditambah sekarang dia dipecat. 'Mana mau Aku menjadi Office Girl, pekerjaan rendahan, mau-maunya menjadi pesuruh. Batinnya. Biarlah aku dipecat, nanti bisa cari kerjaan baru. Aku kan cantik. Gumamnya sambil melihat dirinya di kaca yang selalu ia bawa.[Perhatian kepada semua karyawan, besok akan diadakan pengangkatan direktur baru, diharapkan kehadirannya jam tujuh malam di Hotel Melia. Boleh mengajak anggota keluarga. Terima kasih.] Terdengar pe
“Kenapa, Nia?” tanya Bu Intan sambil duduk di samping Nia. Ibunya mengelus kepala Nia dan menyenderkannya di bahunya. Anggita dan Dani berdiri di depan Nia.“Ada orang yang mengirim pesan gambar padaku, Bu. Bang Ken ditangkap polisi.” Setelah mengatakan itu Nia kembali menangis.“Ditangkap polisi? Kok bisa? Memangnya apa yang dia lakukan?” tanya Dani tak sabar.“Jangan langsung percaya, bisa jadi itu penipuan, Mbak. Seperti mama minta pulsa, lagi di kantor polisi gitu.” Anggita menanggapi juga.Nia tak menjawab, hanya menyerahkan ponselnya kepada Dani. Anggita dan Ibunya ikut mendekat untuk melihat gambar apa itu. Di ponsel itu terlihat Ken dan seorang perempuan berpakaian mini yang menutupi wajahnya menggunakan tangan. Mereka duduk di ruangan seperti kantor polisi, terlihat dari warna coklat di cat dindingnya.“Memangnya apa masalahnya, Mbak? Lalu siapa perempuan ini? Mbak kenal?” Berondong Dani.Melihat kakaknya tak menjawab, Dani segera memanggil nomor tersebut. Namun tidak aktif.
Anggita sangat kesal melihat semua perhatian tertuju pada Rara. Apalagi suaminya juga tampak mendekati lagi wanita yang akan menjadi mantan istrinya itu. Bahkan sekarang secara terang-terangan Dani mengajak Rara bicara saat ia turun panggung.‘Aku harus melakukan sesuatu untuk mempermalukan dia di pesta ini.’ Ucapnya dalam hati sambil tersenyum licik. Anggita mengeluarkan ulat bulu dan kecoa dari dalam toples kecil, dia sendiri jijik melihat dua binatang itu. Kemarin sepulang kerja dia meminta OB di kantornya untuk mencari kedua binatang itu, makanya Anggita terlambat pulang karena menunggu OB yang diperintahnya. Tanpa dia sadari sepasang mata mengawasi gerak geriknya, Anggita yang tak sadar tetap mendekati Rara dari belakang. Dia hendak melemparkan binatang menjijikkan itu kepada Rara, tapi belum sampai melemparkan kedua binatang itu, sebuah tangan memukul lengannya pelan, sehingga jatuhlah binatang itu di tubuhnya sendiri. Anggita berteriak, semua orang menatapnya heran. Dani pun m
“Bu, kita ke apotek dulu beli obat. Gatal banget ini badanku!” keluh Anggita.“Kamu juga sih! Aneh-aneh pakai ulat bulu segala. Malu-maluin! Gara-gara kamu baju Ibu juga kotor nih!” sungut Ibunya.“Habis aku tuh sebel, Bu! Mentang-mentang kaya, sekarang Mas Dani jadi mengejar lagi, padahal kan uda mau cerai juga!” ucap Anggita.“Kamu kenapa sih? Lepaskanlah Dani, cari laki yang kaya. Orang dia uda pengangguran masih dipertahankan! Cerai aja udah!” pinta Ibunya.“Ibu! Jaga omonganmu! Anak baru nikah kok uda disuruh cerai. Ucapan seorang Ibu itu adalah doa! Kalau ngomong yang baik-baik! Jangan ngomong sembarangan!” sentak Pak Joko.Mendengar ucapan itu, Mereka berdua terdiam. Kalau Pak Joko sudah marah, maka gantian mereka berdua yang tak berani bicara. Dani dan Ibunya benar-benar menunggu Rara keluar. Mereka berdua duduk lesehan di dekat pintu masuk hotel. Meskipun terkantuk-kantuk, Bu Intan tetap menunggunya. Dani pun bersandar sambil memejamkan mata.Tak berapa lama, beberapa orang
Hari ini sidang selanjutnya perceraian Rara dan Dani. Rara telah bersiap. Kali ini ia akan ditemani oleh kedua orang tuanya.“Nanti sepulang sidang kita ke kantor Ya! Ada orang yang ingin Papa kenalkan padamu,” ucap Pak Ardi saat sarapan. Rara mengangguk.Seharusnya hari ini Dani berangkat sidang tetapi malah sibuk dengan kakaknya yang panik karena membaca pesan dari suaminya. Belum lagi mertuanya yang memaksa Ibu dan kakaknya untuk meninggalkan rumah. Anggita dari tadi hanya diam di kamar.“Dan! Cepat bawa Ibu dan kakak kamu pergi! Masa di rumah ini Cuma suamiku yang cari duit, kalian tinggal menikmati. Bangun-bangun langsung sarapan! Enak banget!” seru Ibu mertuanya.Belum sempat Dani menjawab Nia sudah menyahut.“Dan! Ayo cepat ke ATM! Bang Ken butuh uang!” Nia menarik tangan Dani.“Ya, sana keluar sekalian bawa koper kalian. Sudah cukup lama kalian numpang di sini! Anggita tak kuizinkan ikut denganmu, Dani! Kamu kan sekarang kere.” Mertuanya masih berteriak kepadanya.“Dasar so
Pak Tejo segera menekan bel di samping gerbang. Tak berapa lama, Bik Surti, Istrinya sendiri yang membuka pintu.“Lho? Ada apa Pak e? Kok tumben ke sini siang-siang?” tanya Bi Surti melihat rombongan yang ada di belakang Pak Tejo.“Ini, mengantar tamu. Beliau ini besannya Bapak, dan Masnya ini suami Non Rara,” jelas Pak Tejo.“Aku langsung pulang ya, Bune.”Bia Surti mengangguk lalu melihat ke arah Dani dan keluarganya. Sebenarnya sedikit banyak ia tahu permasalahan anak majikannya itu. Tetapi karena tidak diberi mandat, dia diam saja. Bi Surti pun membuka pintu gerbangnya dan mempersilahkan mereka duduk di teras sementara ia akan memberi tahu majikannya kalau ada tamu. Lalu dia ingat, Pak Ardi pergi dari tadi pagi dengan Rara dan belum kembali. Ia pun kembali ke depan lagi.“Maaf, saya lupa. Bapak dari pagi pergi dengan Non Rara, sampai sekarang belum pulang.” Bi Surti menjelaskan.“Saya mau nunggu di sini aja sampai Bapak pulang,” seru Ibunya Dani.“Keluarin aja cemilan buat kita nu
“Mama heran deh, sama mertua kamu itu, Ra. Dapat dari mana sih model mertua kayak gitu? Benar-benar urat malunya udah putus dia!” seru Mama“Sudah tahu anaknya baru proses cerai, bisa-bisanya mau tinggal di sini!”Mama masih ngomel, walaupun keluarga Mas Dani sudah pergi. Aku hanya tersenyum, tanpa menjawab. Sebenarnya Mama orang yang sabar, mungkin karena Mama ikut sakit hati atas perlakuan mereka padaku, jadi tambah gedeg melihat mereka datang untuk numpang.“Sudahlah, Ma. Biarin aja orang kayak gitu hidup, bikin hidup lebih bervariasi. Hahahah ....” kelakar Papa. Bukannya tertawa Mama malah semakin kesal, dan semakin Mama kesal, semakin Papa menggodanya. Aku ikut senyum melihat kedua orangtua ku yang masih mesra. Aku pun pergi ke kamarku. Hari sudah mulai sore, aku segera mandi karena ada janji dengan klien. Selesai mandi dan bersiap, aku segera pamit kepada kedua orang tuaku.“Pah, Mah, aku mau pergi dulu ketemu dengan klien” Papa yang sedang membaca koran di teras lalu berdiri