Hari ini sidang selanjutnya perceraian Rara dan Dani. Rara telah bersiap. Kali ini ia akan ditemani oleh kedua orang tuanya.“Nanti sepulang sidang kita ke kantor Ya! Ada orang yang ingin Papa kenalkan padamu,” ucap Pak Ardi saat sarapan. Rara mengangguk.Seharusnya hari ini Dani berangkat sidang tetapi malah sibuk dengan kakaknya yang panik karena membaca pesan dari suaminya. Belum lagi mertuanya yang memaksa Ibu dan kakaknya untuk meninggalkan rumah. Anggita dari tadi hanya diam di kamar.“Dan! Cepat bawa Ibu dan kakak kamu pergi! Masa di rumah ini Cuma suamiku yang cari duit, kalian tinggal menikmati. Bangun-bangun langsung sarapan! Enak banget!” seru Ibu mertuanya.Belum sempat Dani menjawab Nia sudah menyahut.“Dan! Ayo cepat ke ATM! Bang Ken butuh uang!” Nia menarik tangan Dani.“Ya, sana keluar sekalian bawa koper kalian. Sudah cukup lama kalian numpang di sini! Anggita tak kuizinkan ikut denganmu, Dani! Kamu kan sekarang kere.” Mertuanya masih berteriak kepadanya.“Dasar so
Pak Tejo segera menekan bel di samping gerbang. Tak berapa lama, Bik Surti, Istrinya sendiri yang membuka pintu.“Lho? Ada apa Pak e? Kok tumben ke sini siang-siang?” tanya Bi Surti melihat rombongan yang ada di belakang Pak Tejo.“Ini, mengantar tamu. Beliau ini besannya Bapak, dan Masnya ini suami Non Rara,” jelas Pak Tejo.“Aku langsung pulang ya, Bune.”Bia Surti mengangguk lalu melihat ke arah Dani dan keluarganya. Sebenarnya sedikit banyak ia tahu permasalahan anak majikannya itu. Tetapi karena tidak diberi mandat, dia diam saja. Bi Surti pun membuka pintu gerbangnya dan mempersilahkan mereka duduk di teras sementara ia akan memberi tahu majikannya kalau ada tamu. Lalu dia ingat, Pak Ardi pergi dari tadi pagi dengan Rara dan belum kembali. Ia pun kembali ke depan lagi.“Maaf, saya lupa. Bapak dari pagi pergi dengan Non Rara, sampai sekarang belum pulang.” Bi Surti menjelaskan.“Saya mau nunggu di sini aja sampai Bapak pulang,” seru Ibunya Dani.“Keluarin aja cemilan buat kita nu
“Mama heran deh, sama mertua kamu itu, Ra. Dapat dari mana sih model mertua kayak gitu? Benar-benar urat malunya udah putus dia!” seru Mama“Sudah tahu anaknya baru proses cerai, bisa-bisanya mau tinggal di sini!”Mama masih ngomel, walaupun keluarga Mas Dani sudah pergi. Aku hanya tersenyum, tanpa menjawab. Sebenarnya Mama orang yang sabar, mungkin karena Mama ikut sakit hati atas perlakuan mereka padaku, jadi tambah gedeg melihat mereka datang untuk numpang.“Sudahlah, Ma. Biarin aja orang kayak gitu hidup, bikin hidup lebih bervariasi. Hahahah ....” kelakar Papa. Bukannya tertawa Mama malah semakin kesal, dan semakin Mama kesal, semakin Papa menggodanya. Aku ikut senyum melihat kedua orangtua ku yang masih mesra. Aku pun pergi ke kamarku. Hari sudah mulai sore, aku segera mandi karena ada janji dengan klien. Selesai mandi dan bersiap, aku segera pamit kepada kedua orang tuaku.“Pah, Mah, aku mau pergi dulu ketemu dengan klien” Papa yang sedang membaca koran di teras lalu berdiri
Karena tak diterima di rumah Rara, kami berjalan kaki entah kemana. Tak memiliki tujuan. Otakku seakan buntu untuk berpikir.“Kita harus kemana lagi, Dan? Ibu Anggita mengusir kita, Ibunya Rara tak mengizinkan kita tinggal.” Ibuku mulai menangis. Aku menghirup napas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan. Mencoba mengatasi sesak dalam dadaku. Aku akui ini memang salahku, aku yang bermain api, aku pula yang terbakar. Kalau boleh berkata, ini tak lepas dari peran Ibu yang selalu menuntut ingin punya cucu, hingga aku bermain cinta dengan Anggita. Sekarang semua sudah habis terbakar permainanku sendiri. Aku dipecat, Anggita dipecat. Entah bagaimana nasib pernikahanku kelak dengan Anggita. Sekarang saja baru beberapa hari menikah sudah begitu banyak masalah yang datang.“Kita ke rumah yang masih dibangun itu saja ya, Bu? Daripada kita tak punya tempat berteduh, uangku sudah menipis, tak cukup untuk mengontrak rumah,” jelasku pada Ibu.“Ya sudah, kamu cari taksi sana, Mbak sudah capek
Dan! Ibu tidak bisa tinggal di tempat seperti ini! Sama sekali tidak ada perabotan, tempat tidur juga tak ada, bahkan pintu pun belum terpasang! Kamu ini gimana sih?!” Omel Ibunya.“Gimana lagi, Bu? Ibu mau tinggal di bawah jembatan kayak Imron tadi? Iya? Harusnya Ibu bersyukur bisa punya tempat untuk berteduh!” Sentak Dani.“Tapi bukan seperti ini juga, Dan. Kalau tahu seperti ini lebih baik tinggal dengan besan sombong itu. Walaupun yang punya rumah menyebalkan tapi kita masih bisa tidur diatas kasur empuk!” ibunya berkata lirihDani yang tadinya kesal menjadi tak tega melihat Ibunya bersedih. Tapi dia kini sudah jadi miskin. Rasanya ingin menumpahkan air mata yang selama ini ia tahan. Sungguh sebenarnya ia tak kuat, ia pun merindukan keadaannya yang dulu. Sekarang, untuk makan enak pun dia harus berpikir. Roda kehidupan selalu berputar, tidak selamanya orang akan diatas, begitu pun sebaliknya. Hal inilah yang terjadi pada Dani dan keluarganya. Selama ini mereka hidup mewah dengan
PoV Rara “Kok kalian bisa seenaknya masuk ke sini? Siapa yang mengizinkan masuk?” aku benar-benar tak menyangka keluarga benalu itu datang. Rupanya inang mereka sudah hilang, makanya mereka mencari inang baru lagi untuk dihinggapi. Menyedihkan! “Orang sama satpamnya boleh kok! Dani kan masih suami kamu, Ra!” Mbak Nia yang menjawab. “Sebentar lagi akan jadi mantan suami, Mbak! Tinggal nunggu sidang putusan dan keluar akta cerainya.” Aku sudah lelah membahas ini. “Ya kan selama belum cerai kamu masih istrinya Dani, Ra!” Ibu yang kali ini bersuara. “Sudahlah, tak usah banyak basa basi. Apa maksud kalian datang ke kantorku?” kulihat Mas Dani meneguk ludahnya. Sepertinya dia kaget dengan ketegasanku, memang selama ini aku selalu menjaga nada bicaraku agar tidak bersuara tinggi kepada suami dan mertuaku. Namun sekarang sudah berbeda, mereka akan menjadi orang lain buatku, jadi tak ada kewajiban harus seperti apa bicaraku pada mereka. “Dek, aku ingin bekerja lagi, kamu tau sendiri k
“Benar, Anda siapa? Dan ada perlu apa?” tanya Dani penasaran.“Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Ucapannya tak lagi formal.“Maaf, tidak bisa aku harus menjual ponsel ini dan mencari rumah kontrakan untuk keluargaku.” Dani menolak ajakan orang itu, dia merasa tak aman, entah kenapa.“Aku yang akan membeli ponselmu, karena pembicaraan ini sangat penting untukku.” Arya tetap kuekeh mengajak Dani bicara. Ya, orang itu adalah Arya. Mantan kekasih Anggita.“Sepertinya memang sangat penting melihat kamu begitu memaksa, baiklah, kita bicara dimana?” tanya Dani kemudian.“Di Cafe itu saja.” Arya menunjuk sebuah Cafe tak jauh dari kantor Rara.“Oke. Tapi sebentar saja soalnya aku harus mencari—““Rumah kontrakan untuk Ibu dan kakakmu, aku tahu tak perlu bicara lagi. Ayo kesana.” Arya mulai tak sabar, dia berjalan dengan tempo cepat.Di Cafe, Dani dan Arya memilih meja yang berbeda dengan Ibu dan Kakaknya. Meskipun masih bisa melihat mereka, tapi tak akan
Bunyi pesan di ponsel Anggita, Dia hanya melirik sekilas, lagi-lagi baru. Walaupun tak ada namanya, tapi ia yakin kalau pengirim itu adalah Arya. Sebuah gambar dikirim Arya kepadanya. Foto Arya dan Dani terlihat sedang berada di sebuah kafe. ‘kenapa mereka bisa bertemu? Jangan-jangan Arya sudah memberi tahu tentang kandungan ini? Gawat! Apa yang harus aku lakukan sekarang!’ ucap Anggita dalam hati.Anggita mondar mandir di kamarnya. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya agar bisa mengelabui Dani dan tetap melanjutkan pernikahannya minimal sampai anaknya lahir dan memiliki akta kelahiran.“Kamu ngapain kayak setrikaan gitu?” Ibunya tiba-tiba ada dibelakangnya.Anggita tersentak, ia membalikkan tubuhnya menatap orang yang telah melahirkannya berdiri di depan pintu kamar.“Tidak apa-apa. Ibu ngapain ke kamarku?” Anggita mengalihkan pertanyaan sang Ibu.“Tadi ada pihak hotel ke sini, katanya Dani belum membawa sisa kurangan resepsi itu. Jadi mau tidak mau Ibu yang melunasinya, daripad