PoV Rara “Kok kalian bisa seenaknya masuk ke sini? Siapa yang mengizinkan masuk?” aku benar-benar tak menyangka keluarga benalu itu datang. Rupanya inang mereka sudah hilang, makanya mereka mencari inang baru lagi untuk dihinggapi. Menyedihkan! “Orang sama satpamnya boleh kok! Dani kan masih suami kamu, Ra!” Mbak Nia yang menjawab. “Sebentar lagi akan jadi mantan suami, Mbak! Tinggal nunggu sidang putusan dan keluar akta cerainya.” Aku sudah lelah membahas ini. “Ya kan selama belum cerai kamu masih istrinya Dani, Ra!” Ibu yang kali ini bersuara. “Sudahlah, tak usah banyak basa basi. Apa maksud kalian datang ke kantorku?” kulihat Mas Dani meneguk ludahnya. Sepertinya dia kaget dengan ketegasanku, memang selama ini aku selalu menjaga nada bicaraku agar tidak bersuara tinggi kepada suami dan mertuaku. Namun sekarang sudah berbeda, mereka akan menjadi orang lain buatku, jadi tak ada kewajiban harus seperti apa bicaraku pada mereka. “Dek, aku ingin bekerja lagi, kamu tau sendiri k
“Benar, Anda siapa? Dan ada perlu apa?” tanya Dani penasaran.“Boleh minta waktunya sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Ucapannya tak lagi formal.“Maaf, tidak bisa aku harus menjual ponsel ini dan mencari rumah kontrakan untuk keluargaku.” Dani menolak ajakan orang itu, dia merasa tak aman, entah kenapa.“Aku yang akan membeli ponselmu, karena pembicaraan ini sangat penting untukku.” Arya tetap kuekeh mengajak Dani bicara. Ya, orang itu adalah Arya. Mantan kekasih Anggita.“Sepertinya memang sangat penting melihat kamu begitu memaksa, baiklah, kita bicara dimana?” tanya Dani kemudian.“Di Cafe itu saja.” Arya menunjuk sebuah Cafe tak jauh dari kantor Rara.“Oke. Tapi sebentar saja soalnya aku harus mencari—““Rumah kontrakan untuk Ibu dan kakakmu, aku tahu tak perlu bicara lagi. Ayo kesana.” Arya mulai tak sabar, dia berjalan dengan tempo cepat.Di Cafe, Dani dan Arya memilih meja yang berbeda dengan Ibu dan Kakaknya. Meskipun masih bisa melihat mereka, tapi tak akan
Bunyi pesan di ponsel Anggita, Dia hanya melirik sekilas, lagi-lagi baru. Walaupun tak ada namanya, tapi ia yakin kalau pengirim itu adalah Arya. Sebuah gambar dikirim Arya kepadanya. Foto Arya dan Dani terlihat sedang berada di sebuah kafe. ‘kenapa mereka bisa bertemu? Jangan-jangan Arya sudah memberi tahu tentang kandungan ini? Gawat! Apa yang harus aku lakukan sekarang!’ ucap Anggita dalam hati.Anggita mondar mandir di kamarnya. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya agar bisa mengelabui Dani dan tetap melanjutkan pernikahannya minimal sampai anaknya lahir dan memiliki akta kelahiran.“Kamu ngapain kayak setrikaan gitu?” Ibunya tiba-tiba ada dibelakangnya.Anggita tersentak, ia membalikkan tubuhnya menatap orang yang telah melahirkannya berdiri di depan pintu kamar.“Tidak apa-apa. Ibu ngapain ke kamarku?” Anggita mengalihkan pertanyaan sang Ibu.“Tadi ada pihak hotel ke sini, katanya Dani belum membawa sisa kurangan resepsi itu. Jadi mau tidak mau Ibu yang melunasinya, daripad
PoV AnggitaSepeninggal Mas Dani, aku dan Ibu masih membahas tentang kehamilanku ini.“Jadi cerita sebenarnya gimana sih? Kamu hamil sama siapa? Arya atau Dani?” Ibu bertanya seolah aku adalah tersangka.“Sebenarnya ini anak Arya, Bu. Saat dia tahu aku hamil, dia malah pergi. Sekarang setelah aku menikah dengan Mas Dani dia datang lagi dan mengajakku menikah, dia menginginkan anak ini, Bu.” Terangku. Ibu lalu mengangguk paham.“Arya kerja apa? Orangtuanya gimana?” tanya Ibu dengan antusias.“Sepertinya mereka punya usaha kuliner, Bu. Aku juga nggak tahu apa tepatnya, soalnya belum pernah diajak ke rumahnya. Tapi seingatku dulu Arya pernah cerita kalau usaha kuliner keluarganya sudah memiliki beberapa cabang.”Ibu sepertinya berspekulasi tentang seberapa kaya Arya ini, terlihat dari matanya yang berbinar.“Wah, lumayan kaya dong! Semisal aja ya, punya warung bakso dan memiliki beberapa cabang, uda puluhan juta itu sebulannya. Nggak papa deh, kamu nikah sama Arya aja. Ibu merestui.” Ib
"Ada apa to, kok teriak. Kayak di hutan aja.” Sahut Ibuku yang masih menyapu lantai. “Arya barusan telepon, Bu. Katanya dia mau menikah denganku! Sebentar lagi kita akan jadi orang kaya, Bu!” Aku dan Ibu bergandengan tangan dan melompat seperti anak kecil karena terlalu senang. “Jangan melompat, Nak. Kamu sedang hamil.” Suara Ayah menghentikan kegiatanku dan Ibu. “Jadi kapan dia mau datang, biar Ibu pesan makanan enak untuk menyambutnya. Eh, dia sendirian atau bersama orang tuanya?” Ibu sungguh tak sabar, melebihi aku yang akan menikah. “Belum tahu, Bu. Tapi mungkin sendirian dulu,” jawabku tak kalah semangat. “Anggita, inget! Kamu harus cerai dulu dengan Dani, baru bisa menikah. Wanita tidak boleh mempunyai dua suami.” Seketika aku cemberut. Tak perlu diingatkan pun aku sudah tahu kalau aku masih memiliki Mas Dani sebagai suamiku. Aku yakin Mas Dani juga akan senang kalau kita bercerai, dia pasti akan mengejar Rara lagi. Biarlah, toh aku juga akan menikah. “Iya, aku tahu, Ayah
“Eh, ada Bu besan. Gak salah belanja di sini? Nanti bisa beli baju tapi gak bisa makan. Kan kasihan!” Suara Ibuku terdengar nyaring. Duh, Ibu bikin malu aja!****Aku menduga akan terjadi perang dunia ketiga apabila mertuaku menjawab ucapan Ibu. Raut muka mertuaku sudah memerah. Aduh ... Sebentar lagi meledak itu.“Bukannya ke balik ya? Usaha suamimu kan hampir bangkrut, lebih baik kamu di rumah aja atau duitmu buat modal aja biar makin kaya.Hahaha ....” ucapan mertuaku membuat Ibuku tak mau kalah.Beberapa orang mulai mengerubungi perseteruan dua Ibu itu.“Masih mending akulah, punya rumah, punya usaha, nggak kayak kamu. Kesana kemari numpang, anak semua nggak ada yang kerja. Duitmu aja tuh ditabung buat beli beras.” Sindir Ibuku.“Totalnya enam belas juta lima ratus ribu rupiah, tapi karena Ibu punya poin banyak karena sering belanja di sini jadi ada potongan sebesar tiga juta rupiah. Sisanya jadi tiga belas juta lima ratus ribu rupiah.” Terdengar suara kasir membacakan harga yang
Dani tak menyangka pertemuannya dengan Rara akan membuatnya sesakit ini. Dibukanya kembali akta cerai yang diremasnya tadi. Dibaca berulang kali pun, tetap sama . Mereka telah resmi bercerai. Bulir bening menetes dari pelupuk matanya. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seandainya dikasih kesempatan kedua, Dani pasti akan menjaga hati Rara sepenuh hati. Memang, kita baru merasa membutuhkan setelah kehilangan.“Kamu kenapa, Dan?” tanya Bu Intan.Dani menyerahkan akta cerai itu kepada Ibunya. “Kalian sudah resmi cerai? Lalu kenapa kamu sedih?” Ibunya masih juga tak paham.“Bu, aku sekarang bukan siapa-siapa Rara, sekuat tenaga aku mengajaknya rujuk, tetap tidak mungkin bisa.” Lirih Dani.“Ya jelas nggak mau lah, wong kita aja sekarang kere. Coba kalau kamu sukses, pasti bisa mendapatkan hatinya kembali! Kamu pandangi kertas itu sampai lebaran monyet juga tak akan berubah. Lebih baik kamu yang berubah. Cari kerja dan jadi sukses lagi. Kamu itu ganteng, kalaupun tak ada Rara pasti
“Brengsek kenapa kamu menyakiti kakakku, hah? Kalau memang sudah bosan ceraikan saja dia, tak usah jadi pengecut seperti ini!” teriak Dani marah. Tentu saja dia tak terima kakaknya diperlakukan seperti ini.“Kenapa kamu marah, hah? Bukannya Kamu juga sama brengseknya denganku?! Mungkin kalau dulu Rara punya kakak, kamu akan mati di tangan kakaknya!” ucapan Ken membuat Dani terdiam. Seakan ucapan itu kena di relung hatinya. “Aaarrgg ... tetap saja aku tak terima Mbak Nia kamu buat seperti ini.” Sentak Dani yang sudah babak belur. Dia kembali menyerang Ken, tapi tentu saja dihalangi warga.Wati dan Nia pun sama, tampang mereka tak kalah memprihatinkan. Bekas cakaran dan tamparan ada di wajah mereka. Pak RT dan dua orang warga masih kebingungan untuk memisahkan mereka berempat. Akhirnya pertikaian dapat dihentikan setelah beberapa orang memegangi mereka.“Sudah! Jangan adu fisik lagi. Kalian yang ribut, aku yang capek!” Pak Basri terengah-engah.“Dani, Nia. Kalian kenapa?” Bu Intan d