Zea tampak tertidur di pangkuan Sasa. Sedangkan mereka berdua sedang asyik berbicara dan bercanda. Aku mendekati mereka dengan perlahan. Mereka tak menyadari aku mendekat karena posisi mereka yang menghadap ke kolam.“Ze—“ Kuurungkan niatku untuk memanggil Zea karena aku mendengar percakapan merekamembahas tentang aku.“Wah, kamu kejam juga ya, Sayang. Masa minta teman kamu yang juga teman dia buat memperkosa Anggita, sih. Kalau aku jadi Anggita, paling udah bunuh diri. Apalagi posisi hamil. Hahahah“ Sasatertawa, entah menertawai nasibku atau ucapannya sendiri.Aku sangat kaget mendengarnya. Tak menyangka peristiwa mengerikan itu atas perintah Arya. Kenapa dia sangat kejam padaku? Apa salahku?Sekuat tenaga aku menjaga agar tak bersuara. Aku diam di tempatku, berharap semoga mereka belum sadar kalau aku sudah berdiri di sini mendengarkan percakapan mereka.“Itu semua belum seberapa dibandingkan sakit hatiku karena kehilangan orang tuaku. Gara-gara orang tua Anggita aku kehilangan A
Pintu terus di gedor, aku tak berani membukanya.“Anggita, ini Ibu, Nak.”Itu suara Bu Inem, aku menghela napas lega. Segera kubuka kunci dan membuka pintunya. Bu Inem langsung memelukku. Aku yang merasa punya Ibu di sini ikut terharu akan kebaikan Bu Inem.“Maaf, ya. Ibu tiba-tiba memelukmu, Ibu kuatir sama kamu dan bayimu. Anakmu gimana? Sehat ajakan?” tanya Bu Inem.Aku mengangguk pelan.“Bu, Makasih banyak ya! Tanpa bantuan Ibu, mungkin aku masih di rumah itu, Makasih juga buat semua barang-barang ini.” Aku memandang sekeliling ruang yang sudah terisi berbagai macam barang, walaupun sederhana tapi lumayanlah daripada kosong.“Ah, itu Ibu nggak beli, kok. Barang lama, daripada disimpan di gudang Cuma dimakan rayap,mending buat kamu aja,” kata Bu Inem.“Ceritakan gimana akhirnya kami bisa keluar dari rumah itu?” tanyanya lagi.Aku pun segera menceritakan semuanya, dari awal hingga kejadian di kolam renang tadi. Bu Inem sampai menangis mendengarnya. Ia tak pernah membayangkan hidup
Aku menggenggam tangan Bu Inem erat. Semoga saja Bu Inem paham akan kode yang aku berikan. Aku menggunakan selendang tipis yang aku gunakan sebagai penutup pundak untuk menutupi rambutku. Untung posisiku membelakangi Arya. Tapi yang aku pikirkan adalah bagaimana cara keluar dari sini? Pintu keluar ada di belakang Arya.Mungkin lebih baik aku sembunyi dulu di toilet sementara, biar Bu Inem menunggu di sini. Nanti kalau situasi sudah aman aku akan pergi dari sini. Tapi bagaimana aku memberi tahu rencanaku kepada Bu Inem? Ah, lebih baik aku mengajaknya langsung menuju toilet restoran ini.Dengan perlahan aku berjalan menjauh dari Arya dengan masih menggandeng tangan Bu Inem erat. Bu Inem berada tepat di belakangku.“Tunggu!”Aku mendengar suara Arya berteriak. Apa dia memintaku menunggu? Karena takut ketahuan aku justru mempercepat langkahku, takut ketahuan olehnya.Bu Inem sedikit mengaduh, mungkin kesulitan berjalan cepat.“Ada apa?” kata Bu Inem.Akhirnya aku berhenti setelah mendenga
“Mau ngapain lagi kamu kesana, Anggita?” tanya Bu Inem sewot.Aku lalu memberitahukan rencanaku untuk mengambil sertifikat itu.“Tapi itu namanya mencuri, Anggita! Kalau Arya tahu gimana?” Bu Inem terlihat cemas.“Aku istrinya, Bu. Meskipun hanya menikah siri,” ucapku menenangkan Bu Inem. “Baiklah, tapi hati-hati ya!” ucap Bu Inem.Aku mengangguk mengiyakan.Setelah semua selesai, aku segera menggendong Zea untuk menuju ke rumah Arya. Maaf ya, Nak! Mama belum memiliki banyak uang untuk mencari seorang pengasuh untukmu, jadi Mama membawamu kemanapun Mama pergi.Rumah mewah Arya terlihat sepi. Aku yakin sekarang Arya dan Sasa masih berada di kantor. Aku segera mengambil kunci gerbang dari dalam saku dan mencoba untuk membukanya. Ternyata masih bisa! Aku kira Arya akan mengganti kuncinya setelah kepergianku dari rumah ini.Pintu gerbang berhasil kumasuki, tapi tidak dengan pintu depan. Arya pasti juga menguncinya. Benar dugaanku, pintu depan terkunci. Padahal aku tak memiliki kunci depan
Ojek berhenti di warung Bu Inem. Aku melihat warung Bu Inem mulai ramai. Mungkin karena ini jam makan siang.“Assalamualaikum” ucapku saat masuk ke dalam warung.“Waalaikum salamsudah selesai urusannya, Anggita?” tanya Bu Inem.“Sudah, Bu. Tapi aku bingung bagaimana menjualnya,” ujarku lagi.“Sstt! Kita bahas itu nanti di rumah, sekarang bantuin Ibu dulu. Zea tidur kan? Letakkan saja di kamar belakang!” suruh Bu Inem. Aku pun segera melaksanakan perintah seorang Ibu yang berhati malaikat itu.Aku membantu melayani pembeli juga membuatkan minuman untuk mereka. Setelah kuamati, memang benar apa yang Bu Inem katakan. Banyak di antara mereka yang membayar dengan uang seadanya, bahkan ada seorang kakek tua yang Bu Inem beri uang dan makanan. Sepertinya kakek itu seorang pemulung. Kakek itu menangis bahagia setelah diberi makanan dan uang yang menurutku tidak begitu banyak. Hanya beberapa lembar uang merah.“Terima kasih banyak, Bu. Semoga Tuhan menggantinya dengan rezeki yang berlimpah d
Ponselku masih terus bergetar. Aku membiarkannya. Aku pun lantas memblokir nomor Arya tersebut, agar ia tak dapat menghubungiku kembali.Aku sudah memutuskan, lebih baik aku kembali ke Jakarta. Daripada aku di sini sendirian, tak enak juga merepotkan Bu Inem.🍀🍀🍀🍀🍀Keesokan harinya aku menjual beberapa perhiasan yang aku ambil untuk membeli tiket pesawat kembali ke Jakarta. Aku pun segera mengutarakan maksudku kepada Bu Inem yang tengah memasak.“Bu, sepertinya aku lebih baik kembali ke Jakarta. Berkumpul dengan kedua orang tuaku. Aku ingin bertanya mengenai kecelakaan itu kepada Ayah dan memintanya untuk meminta maaf,” ujarku saat mengupas bawang.“Kecelakaan? Apa maksudnya Anggita?” tanya Bu Inem.“Kemarin saat di rumah Arya aku menemukan foto-foto tentang kecelakaan orang tua Arya, dan pelakunya adalah ayahku, Bu. Mungkin itu yang menyebabkan Arya dendam dan melampiaskannya kepadaku,” jawabku sambil terisak.Bu Inem mengelus pundakku dan memintaku untuk duduk berhadapan dengan
“Sebentar,” ucap Ayah dari dalam rumah.“Selamat malam, Pak. Benar ini rumah Ibu Anggita?” tanya seorang laki-laki.Aku hanya mendengarkan dari balik tembok ruang tengah, hanya berani mengintip, tak berani ikut menemui orang itu.“Iya, benar. Bapak-bapak ini siapa?” tanya Ayah. “Kami dari kepolisian, apa Ibu Anggita ada?” Deg!Jantungku serasa mau copot mendengar perkataan orang itu, dari kepolisian? Apa mereka tak salah? Apa jangan-jangan Arya yang melaporkanku? Tapi bagaimana dia bisa tahu? Saat itu sepi tak ada orang.Aku sangat ketakutan. Harus bagaimana ini? Mau kabur pun percuma, Ayah sudah bilang kalau aku ada di sini. Aku menggigit jariku, berjalan pelan menuju kamar.Aku memeluk Zea erat, perasaanku mengatakan kalau sebentar lagi aku akan berpisah dengan Zea. Aku menangis, menyesali perbuatan gegabahku kemarin. Kalau saja aku tidak mengambil sertifikat rumah milik Arya, Seandainya ... seandainya ... semua itu hanya seandainya saja.Pintu kamarku terbuka, aku tak menggubris si
Pak Joko dan Bu Joko masih meratapi anaknya yang masuk bui. Mereka sangat terpukul, anak semata wayang yang sangat ia cintai harus merasakan dinginnya lantai penjara.“Ibu tidak terima, Yah! Anggita meringkuk di penjara sementara Arya bebas begitu saja, padahal selama ini Anggita tersiksa di sana. Huhuhu” Bu Joko masih menangis.Pak Joko mengusap bahu istrinya, mencoba menguatkan.“Kita ke rumah Arya saja, Bu. Ayah mau minta maaf sama Arya, siapa tau Anggita bisa bebas.” “Arya kan di Medan, Yah? Gimana kita ke sana kalau rumahnya saja Ibu tidak tahu!” ucap Bu Joko. “Kemarin kan dia ada di sini? Kita ke kantor Arya saja, Ayah yakin ia ada di sana!”Pak Joko dan istrinya mulai bersiap. Tak lupa mereka mengajak Zea bersama mereka. Selama perjalanan kedua suami istri itu hanya terdiam, larut dalam pikiran mereka masing-masing.Mereka segera masuk ke kantor Arya, untunglah begitu masuk, mereka melihat Arya sedang berbicara dengan seseorang di sofa tamu. Pak Joko duduk di kursi tak jauh da