Umi adalah guru Madrasah Diniah juga, sama sepertiku. Hanya saja, Umi mengajar di bagian kitab dasar seperti kitab alala dan kitab safinatun najah. Tetapi Umi belakangan ini tidak begitu sepenuhnya untuk mengisi jam pelajaran yang ada di Madrasah Diniah, karena Umi juga sedang sakit. Alhasil, terkadang kelas Umi banyak jam kosongnya. Dan bila ada waktu, akulah yang mengisi kelasnya Umi.
"Iya, tapi nanti bukannya samean itu mau mrivat anaknya Abah Haris?"
"Anaknya Abah Haris sedang ingin libur katanya, Umi. Tadi pagi sempat mengirim pesan!"
Umi masih ingat saja siapa murid yang aku privat untuk pelajaran bahasa inggris. Padahal Umi juga lama tidak aku bilangin kalau habis dari kantor aku langsung mampir untuk mrivat.
Sebenarnya sudah lama aku membuka diri untuk mengajar privat dengan cara mendatangi rumah dari anak yang aku privat tersebut. Dan sebenarnya sudah lama juga, aku ingin berhenti untuk mengajar privat karena kalau jadwalku padat seperti ini, ujung-ujungnya malam langsung tepar sehabis menyimak santri putra mengaji di aula.
Mungkin juga energiku tidak sama lagi seperti umurku yang masih dua puluh satu dan dua puluh dua itu. Sekarang kalau banyak kegiatan malah gampang lelah. Alhasil kadang malamnya tidak sempat tahajud.
"Oh, ya, sudah. Memang pas samean mrivat anaknya Abah Haris itu kelasmu sudah ada yang gantikan, Lif?"
"Nggih, Umi. Ada kok, Pak Ulum namanya. Lagian mrivatnya kan, kulo juga yang ngasih jadwal."
"Ya sudah, kalau begitu."
"Nggih, Umi."
"Oh, iya, nanti bisa belikan garam sama kecap ke pasar? Lagi habis stoknya e, Lif. Kemarin ada, cuma buat dapurnya santri putri yang juga lagi kehabisan!"
"Begitu, Umi? Bukannya Abah biasanya mesan ke toko pusat buat ngirim setiap dua minggu?"
"Masalahnya belum dikirim, Lif! Di sananya lagi tidak ada stok."
"Oh begitu, Umi. Nggih, kulo belikan. Sekalian sama mampir ke toko pusat, buat nanyain ke penjualnya kapan bisanya mengirim pesanan Abah seperti biasanya."
"Ya sudah, Umi ke dapur dulu. Bantu Ibu-ibu dapur masak makanan buat para santri."
"Nggih, Umi."
Aku melihat Umi dengan seksama, Umi yang melangkah pelan menuju lantai bawah. Kaki Umi mungkin sudah agak sulit dibuat jalan cepat, hingga Umi harus memilih jalan sedikit lambat.
Aku pernah, mencoba menuntun Umi ke suatu acara. Namun bilangnya Umi malahan tidak usah katanya juga sungkan. Dan justru bilang ke aku, "Masa' usia begini harus sudah dituntun kalau jalan?"
Aku bersyukur masih beruntung ada Abah sama Umi yang bisa mendukungku untuk menjalankan terus pondok pesantren peninggalan kakek buyutku ini.
Di mana kegiatan dan semua peraturan di pesantren ini, Abahlah yang menetapkan. Kakek Buyutku adalah seseorang yang asli dari Kota Mahabiru. Dengan kerja keras sendiri, beliau membangun pondok pesantren ini bersama Nenek Buyut di waktu sejak dulu sebelum aku lahir.
Nenek Buyutku memang bukanlah asli sini, asli orang kota pinggir dan pernah sekali tinggal di Kota Indualisya. Dahulunya memang Istiadat Nenek Buyut dengan Kakek Buyut begitu berbeda, namun cinta di antara merekalah yang membuat mereka bersatu tanpa memandang kata berbeda.
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Aku tidak tahu apakah Umi sudah menyiapkan makan di meja makan ataukah belum. Setahuku jam segini, nasi sudah pada dingin semua. Mungkin aku akan ke rumah makan Masakan Padang saja, di sana pasti ada lauk yang aku sukai. Sudah lama juga, aku tidak mampir makan di sana. "Jangan, Le! Tunggu dulu, ini kami membawakan samean makanan. Masih hangat." Aku memperhatikan bungkusan nasi dengan air minum jus buah apokat. Sepertinya enak, tetapi aku sungkan saja kalau menerima makanan itu. Mungkin aku tolak halus saja. "Tidak usah repot-repot, Pak. Terima kasih." Aku menepis pelan bungkusan makanan itu, niatku tidak ingin merepotkan ke dua orang tua gadis itu saja. Gadis itu yang luka-luka, pastilah membutuhkan banyak perawatan. Bahkan aku mengerti soal biaya yang akan ditangguh oleh ke dua orang tuanya itu. Memang apa penyebab peristiwa tadi? "Kami tidak repot, Nak. Kami justru banyak berterima kasih, Le." "Nggih, Pak. Nasinya Bapak sama Ibu makan saja. Kulo tidak apa.""Ya sudah Le, kami
Aku tidak berani bilang ke Mafayzah kalau aku habis menolong seorang gadis. Apalagi aku bilang pada dirinya, kalau aku sedang ada di rumah sakit. "Kamu sudah makan?""Kalau siang sudah, kalau sore belum.""Kasihan ... apa Mas mau aku anterin makan?" "Tidak usah, aku tidak apa-apa kok. Lagian masih kenyang."Sebenarnya aku juga lapar, tapi bagaimana lagi?Semisal aku menjawab memang lagi lapar, yang ada malah Mafayzah datang ke ndalemnya Umi dan malah tidak ketemu aku. "Benaran, Mas?""Iya, Mafayzah.""Ya sudah, aku mau sholat dulu, Mas. Kamu sudah sholat?""Eh iya, belum eq. Iya habis ini sholat, kok.""Wassalamu'alaikum, Mas. Cepat pulang.""Wa'alaikumsalam."***Aku membawa obat yang barusan aku ambil di resep pengambilan itu, kemudian kutaruh obat itu di meja yang tak jauh dari ranjang. Sesekali kulirik ke singgah gadis itu berbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang beralas spons itu, lalu berjalan untuk mengambil kursi yang terletak di bawah ranjangnya agar aku tid
Mafayzah mengirimkan pesan yang cukup banyak. Sampai pesan miliknya yang hampir tenggelam pun, akhirnya kembali di paling atas. Kalau di aplikasi putih ini malah yang mengirim pesan itu kebanyakan guru yang akrab sama aku, sama keluarga jauh yang mungkin hanya sekedar tanya kabar orang rumah bagaimana. Dan pasti selalu ada Mafayzah yang mengirimkan pesan. Pintu operasi itu akhirnya terbuka, maka keluarlah kasur dorong yang di atasnya terbaring gadis yang aku selamatkan tadi. Kulihat, dia masih berbaring lemah. Kali ini gadis itu tak memakai hijab, justru di kepalanya terdapat perban luka. Bahkan sikunya juga di perban dengan perban yang agak tebal. Kenapa aku tidak tahu soal luka yang berada di sikunya? Yang sempat, malah memperhatikan luka yang berada di belakang kepalanya itu. Aku mengikuti para dokter dan tim medis yang memindahkan gadis itu yang katanya ditempatkan di Ruang Aisyah tujuh. "Vivi Ip?"Oh, tidak. Itu bukan Vivi Ip ternyata. Hanya ruangan biasa, tetapi atasnya ad
"Pak, saya membutuhkan tanda tangan dari bapak. Operasi harus secepatnya di jalankan karena ada kepala bagian dalamnya yang terluka."Bagaimana ini? Peristiwa silang sengkrawut memenuhi kepalaku tentang kebakaran mobil dan keramaian tadi, aku yakin semua yang ada di sana sudah terkendali dengan adanya Adi dengan tim.Mereka pemadam kebakaran, pasti tahu bagaimana juga cara mengefakuasi korban, bagaimana cara memadamkan api juga. Soal gadis itu, sudah aku duga kalau ini bakalan terjadi. Darah yang menetes dari kepala bagian belakangnya itu sudah memberi tanda kalau lukanya tidak ringan seperti pada umumnya. Bila aku terlambat memberi keputusan sedikit saja, akibatnya malah berbahaya untuk gadis itu."Baik, akan saya tanda tangani."***"Di mana orang tua gadis ini?"Operasi berjalan kurang lebih satu jam, tetapi aku belum juga mendapat kabar kalau orang tua gadis ini sedang berada di mana. Kenapa aku tidak meminta nomor telpon orang tua gadis ini lewat pamannya tadi? Kenapa juga aku