***
Neng Lia
"Mbak, besok hari balik ke pesantren. Kalau mbak mau balik besok, atau nanti sore?"
Pagi yang sedingin ini, dia sudah sampai di rumahku dan langsung menanyakan kapan aku kembali ke pesantren.
Sementara aku yang ditanyai, masih belum mempersiapkan apa-apa.
Bagaimana tidak?
Kesibukan pada pagi hari ini belum semuanya terselesaikan.
Aku yang memang setiap hari bangun lebih awal, menjadi tidak sempat membaca alquran karena harus terlebih dahulu mengurus rumah yang mirip kapal pecah.
Belum lagi, membereskan mainan adikku yang berserak di mana-mana. Meja yang dibiarkan lusuh dan taplaknya entah ke mana. Dan sofa yang muasalnya bersudut menjadi pola yang entah itu apa namanya.
Aku juga harus mampir ke dapur, dan seketika itu pun, aku melihat piring-piring bekas makanan yang berpesta pora. Melihat pula gelas kotor di mana-mana, sehingga meja dapur bagai tidak terlihat lagi permukaannya.
Bila mampir ke kamar TV, isinya cucian berbak-bak besar yang mulai menggunung dan baju yang telah dijemur kemarin tidak ada yang mau melipat.
Aku terkadang seperti enggan untuk mengerjakan semua itu, tetapi itu adalah kewajibanku yang tak bisa aku tinggalkan.
Semua harus aku kerjakan sendiri, dan selesai sebelum aku memulai mengerjakan tugas pribadiku.
"Iya, memang kenapa?"
Teh yang aku taruh di meja itu, akhirnya Zizi minum.
Aku tidak tahu rasa teh itu, manis ataukah tidak?
Seingatku, waktu tehnya masih panas sudah aku kasih es batu. Padahal rencanya, teh itu bukan untuk tamu, tetapi buat aku sendiri.
Sesekali, terkadang aku merasakan waktu pagiku terhempas begitu saja. Bahkan terasa begitu cepat.
Hingga aku buat sesekali menyantai pun, sepertinya tidak akan pernah bisa.
"Rencana nanti malam, tetapi entahlah ... aku juga belum selesai beresin semuanya."
"Aku juga, mbak. Belum siap apa-apa. Bahkan aku juga malas banget buat kembali ke pesantren. Mbak tahu sendiri, kalau aku anaknya ini seperti apa? Dikit-dikit suka pusing kalau sudah mulai membahas nahwu shorof saat di pesantren. Belum lagi kitab yang banyak banget, setiap dua jam selalu ada ngaji kitab yang di mana kalau maknai kitab itu tidak cuma dua lembar tapi bisa lima lembar tujuh lembar. Aku malas kembali ke pesantren, mbak."
Teh itu setelah diteguk beberapa saat, dia menaruhnya kembali. Dan keluarlah semua keluhan itu.
Zizi memang ada benarnya, pesantren dari dulu bukanlah tempat bermain-main. Tetapi tempat di mana seorang anak dibimbing sampai bisa menjadi santri yang solih solihah dan tahu tentang norma sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupannya ke depan.
"Namanya juga pesantren Zi, semua ada waktunya. Kita ke pesantren, juga buat bekal masa depan, dan melatih kita untuk disiplin waktu. Kalau waktunya ini ya harus mengerjakan ini, kalau waktunya mengerjakan itu, ya itu. Sama, tidak kamu saja yang maknai kitab banyak. Semuanya seperti kamu, tidak ada pesantren yang isinya bukan kegiatan yang bermanfaat. Seharusnya kita senang, setiap waktu kita adalah pahala. Ngaji kitab pahala, belajar kelompok pahala, ngaji al-quran juga pahala. Bahkan kalau kita pikirkan ke depan, kita kelak pasti akan rindu saat di pesantren bagaimana."
Aku masih mengingat benar, sebuah tekadku yang ingin belajar dan mengarumi dunia pesantren saat Madrasah Ibtidaiyah. Entahlah, saat itu gerangan apa yang membuatku memiliki tekad yang seperti itu. Padahal waktu itu, usiaku masih belum seberapa. Bahkan belum masuk syarat awal untuk berada di pesantren. Sampai karena tekad itulah, Papi rela mencarikan pesantren yang di mana pesantren itu mau menerimaku. Lalu tidak lama, sepekan berlalu dan Papi akhirnya menemukan pondok pesantren Al-Qomar. Namun sayangnya, aku juga masih belum bisa memasuki pesantren tersebut. Karena umurku yang memang masih benar-benar kurang. Setidaknya pesantren saat itu memberikan kesempatan untuk lebih cepat masuk pesantren, dan itu adalah peribtah untuk menunggu satu tahun lagi agar bisa masuk ke pesantren. Iya, aku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah. Dan memang benar, pada kelas lima itulah aku mengarumi dunia pesantren. Aku santriwati yang paling minim usinya, bahkan melewati batasan minim. Tetapi aku bangga
"Mbak, bagaimana kalau aku tidak lanjut mondok lagi, biar bisa pulang ke rumah setiap hari tanpa harus nunggu jadwal sambang?" Benar bukan? Tidak salah. Sudah aku duga juga Zizi akan melanjutkan pembicaraannya tentang itu. Aku juga bingung sama Zizi, apakah dari awal dia ke pesantren tidak ada niat sama sekali? Atau memang ada niat, tetapi bukan niat mencari ilmu, tetapi semata-mata karena menuruti keinginan orang tuanya. "Ke pesantren saja Zi, bukannya malah repot sendiri, harus bolak-balik jalan untuk sekolah pagi iya, kan? kamunya nanti akan kurang pondasi kalau ke pesantrennya tidak dilanjut. Tetap lanjut saja, Zi ...." "Mbak, di pesantren itu banyak masalah ini itu." Aku menatapnya kembali, setelah beberapa detik ada keheningan berpadu di antara kami. "Ada masalah ya diselesaikan, aku malah bolak-balik terkena masalah tetapi aku coba selesaikan baik-baik. Tapi kalau kamu, masalah seperti apa memang?" "Ya pokoknya masalah dari Mbak-mbak kamar. Ada saja yang diributkan, en
"Baru tahu, kalau laki-laki sepintar dirimu harus berbelanja sendiri." Aku tersenyum tipis, mungkin saja Mu'in tidak pernah melihatku belanja sebelumnya. Untuk itu dia berkata seperti itu. "Bagaimana kabar anak kecilmu?" Aku teringat saja, anak yang digendongnya saat melakukan pemakaman istrinya itu. Aku mengira, itu adalah adik kecilnya. Tetapi anak kecil itu, bukanlah seorang adik untuknya. Melainkan anak kecil itu adalah anak kandung dari istri yang waktu itu harus pergi meninggalkannya karena panggilan sang pencipta. "Alhamdulillah sehat. Lalu samean kapan jadinya?" Mungkin Gus Mu'in sempat dengar, kalau aku sedang menjalani persahabatan yang menjadi cinta dengan Mafayzah. Menceritakan tentang Mafayzah adalah hal yang begitu langkah untuk aku perbincangkan dengan seseorang. Bukan maksud aku tak menginginkan Mafayzah masuk ke dalam kehidupanku. Akan tetapi, aku belum mampu saja kapan harus memberikan sebuah kepastian untuk Mafayzah. Dan yang aku inginkan, biarkanlah wakt
Aku menatapnya kembali, selekas laptop coba aku cari di laci milik papi di kamar. Dan ternyata memang tidak ada. Bahkan di atas meja kerjanya papi juga tidak ada, malah yang aku temukan justru lembaran kertas kerja yang isinya desain baju-baju rancangan papi. "Papi lagi ke pabrik, ada urusan mendadak. Katanya ada pesanan baju banyak, semacam seragam." Adikku Tika melanjutkan makan kembali, sementara aku menemui mami di Dapur. "Mami, tahu laptop kulo?" Telapak tanganku menyatu ke dinding dapur yang bercat putih. Bau masakan di sini, masih belum terasa. Aku lihat soalnya baru mulai membersihkan beras dengan air berulang kali. Lalu meletakkan panci berisi beras itu di atas kompor. "Mami tidak tahu, mungkin papi bawa ke pabrik." Aku tercekat, spontan mengambil ponsel di ranjang tidurku. Selambu kamar lekas kubuka dan tersajikanlah barang-barang kamar yang berantakan, berserak tidak beratur. Mulai dari baju yang belum disetrika dan masih banyak berkas karangan-karangan cerpen ka
"Owalah, apa pesanannya dibatalkan ae ya, Lif?" Aku menduduki rotan yang di sebelah timurnya tempat Umi duduk. "Mboten bisa kayaknya, Umi. Kan sudah terlanjur di bayar lunas." "Iya c, Lif." "Nggih, Umi. Sementara pakai bahan dapur yang tak beliin ini." Aku sudah lama tak membelanjakan barang dapur untuk pesantrennya Abah Umiku ini, mungkin sudah lewat dua bulan kalau aku hitung dari terakhir pengeluaran di dompet keuanganku. Aku baru tahu, harga-harga barang dapur pada naik drastis. Terutama telur sama beras. Kalau beras, alasannya naik katanya banyak petani yang lagi gagal panen. Kalau telur, katanya ada yang bilang banyak ayam yang pakannya mahal, kalau tidak begitu ada banyak peternak ayam yang kehilangan ayamnya karena penyakit unggas. Abah sama Umi mungkin agak pontang-panting saat belanjain barangnya pesantren di dua bulan terakhir ini. Kalau tahu begini, aku tidak akan ikut rapat di Wonogiri sama teman-teman guru. Tetapi kalau tidak ikut juga, aku pasti juga akan keti
Mungkin barusan Papi mengirim pesan, kalau malam ini aku harus balik ke pesantren. Tetapi bagaimana dengan karangan novelku? Mungkin berhenti lagi, di pesantren Umi Salamah aku tidak bisa juga mengerjakan novel karena padat kegiatan. "Iya, habis ini mau siap-siap." Mengingat pesantren Umi Salamah, tiba-tiba aku teringat sama Madrasah Diniah. Sore itu sebelum aku pulang, ada seorang ustad yang nyamperin aku yang tengah berada di lorong kelas. Beliau Ustad Shofi, anak dari almarhum Kyai Nadhir. "Ayu ...." Suara beliau mencegah langkahku. Saat itu aku menepi ke pinggir kiri, menunduk, menjawab lalu memberi salam. Dan membiarkan temanku untuk pulang terlebih dahulu. "Nggih, assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Aku tetap menunduk dan tidak berani menatap pandangan mata beliau. Selain beliau orang yang ma'rifat, aku juga menghormati beliau. "Ada apa, ustad?" "Yu, setelah tahun ini samean lulus ya?" Ustad Shofi itu yang mengajarku waktu kelas dua di Madrasah Diniyah, untuk
Entahlah, aku seperti tidak suka saja dengan rokok. Bukan memang dampak negatif dari rokok, tetapi memang aku tidak menyukai saja cara merokok dan rasa yang akan di hisap saat rokok itu ujungnya menyalah. Sebenarnya aku juga tidak begitu menyukai dengan kepulan-kepulan rokok dari Pak Arief, tetapi aku sebagai teman guru maka aku biarkan saja. "Aku tahu apa juga, Pak, tentang teater? Bukan jalurku. Aku di kantor saja sibuk mengurus kerjaan. Kalau pun ngelatih anak-anak teater pembinaan darimu, ya sudah jelas tidak akan sanggup." Aku menggeleng beberapa kali atas tawarannya Pak Arief itu, terasa aneh saja kalau aku bisa gabung sebagai pembina teater. Dari dulu aku tidak begitu tertarik dengan kesenian, yang ada ketertarikanku hanya pada bidang bahasa Inggris, pesantren dan laptop komputer. "Kali saja mau gabung." "Iya, lain kali aku lihat-lihat ke sana. Ruai bukan?" Pak Arief itu sebenarnya adik kelasku waktu dari Madrasah Aliyah kelas tigaku dulu. Cuman akunya tidak kenal sama Pak
Aku menghampiri beliau dengan langsung meraih punggung tangannya untuk aku cium dengan tawadlu'."Terus adik e samean ngaji gak engkok?""Nggih, kulo sing nganter, Mbah.""Jauh bukane, Nduk? Nang Anyar." Mbah Putri hafal karena pernah ngantar adikku mengaji. Tetapi itu sudah lama. Anyar memang agak jauh kalau dari rumah. Sekitar lima belas menitan baru bisa sampai, itupun harus pakai sepeda motor.Anyar juga jalanannya ramai, terkadang aku tidak berani untuk ke sana meski cuma nganter adikku ngaji. Kondisi seperti hari ini yang harus membuat aku nekat untuk tetap ke Anyar."Nggih, Mbah.""Hati-hati Nduk, nanti waktu ngantar adikmu. Anyar itu ruame jalane.""Nggih, Mbah.""Wes maem?""Nanti, Mbah. Rancananya mau masak nasi goreng." "Orah usah masak, Mbah tadi masak jangan asem lauk tempe. Nanti ambilen.""Nggih, Mbah."***Gus IqbalIni Ruai? Motor aku parkirkan ke sebelah kanan sisi garansi. Lalu kucabut kunci, sambil memandangi sapu yang berserak di depan pelataran Ruai yang tanp