Share

Keras Kepalanya Zizi

***

Neng Lia

"Mbak, besok hari balik ke pesantren. Kalau mbak mau balik besok, atau nanti sore?" 

Pagi yang sedingin ini, dia sudah sampai di rumahku dan langsung menanyakan kapan aku kembali ke pesantren.

 Sementara aku yang ditanyai, masih belum mempersiapkan apa-apa. 

Bagaimana tidak?

Kesibukan pada pagi hari ini belum semuanya terselesaikan. 

Aku yang memang setiap hari bangun lebih awal, menjadi tidak sempat membaca alquran karena harus terlebih dahulu mengurus rumah yang mirip kapal pecah. 

Belum lagi, membereskan mainan adikku yang berserak di mana-mana. Meja yang dibiarkan lusuh dan taplaknya entah ke mana. Dan sofa yang muasalnya bersudut menjadi pola yang entah itu apa namanya.

Aku juga harus mampir ke dapur, dan seketika itu pun, aku melihat piring-piring bekas makanan yang berpesta pora. Melihat pula gelas kotor di mana-mana, sehingga meja dapur bagai tidak terlihat lagi permukaannya.

Bila mampir ke kamar TV, isinya cucian berbak-bak besar yang mulai menggunung dan baju yang telah dijemur kemarin tidak ada yang mau melipat. 

Aku terkadang seperti enggan untuk mengerjakan semua itu, tetapi itu adalah kewajibanku yang tak bisa aku tinggalkan. 

Semua harus aku kerjakan sendiri, dan selesai sebelum aku memulai mengerjakan tugas pribadiku. 

"Iya, memang kenapa?"

Teh yang aku taruh di meja itu, akhirnya Zizi minum.

Aku tidak tahu rasa teh itu, manis ataukah tidak? 

Seingatku, waktu tehnya masih panas sudah aku kasih es batu. Padahal rencanya, teh itu bukan untuk tamu, tetapi buat aku sendiri.

Sesekali, terkadang aku merasakan waktu pagiku terhempas begitu saja. Bahkan terasa begitu cepat. 

Hingga aku buat sesekali menyantai pun, sepertinya tidak akan pernah bisa. 

"Rencana nanti malam, tetapi entahlah ... aku juga belum selesai beresin semuanya."

"Aku juga, mbak. Belum siap apa-apa. Bahkan aku juga malas banget buat kembali ke pesantren. Mbak tahu sendiri, kalau aku anaknya ini seperti apa? Dikit-dikit suka pusing kalau sudah mulai membahas nahwu shorof saat di pesantren. Belum lagi kitab yang banyak banget, setiap dua jam selalu ada ngaji kitab yang di mana kalau maknai kitab itu tidak cuma dua lembar tapi bisa lima lembar tujuh lembar. Aku malas kembali ke pesantren, mbak." 

Teh itu setelah diteguk beberapa saat, dia menaruhnya kembali. Dan keluarlah semua keluhan itu.

Zizi memang ada benarnya, pesantren dari dulu bukanlah tempat bermain-main. Tetapi tempat di mana seorang anak dibimbing sampai bisa menjadi santri yang solih solihah dan tahu tentang norma sehingga dapat bermanfaat untuk kehidupannya ke depan.

"Namanya juga pesantren Zi, semua ada waktunya. Kita ke pesantren, juga buat bekal masa depan, dan melatih kita untuk disiplin waktu. Kalau waktunya ini ya harus mengerjakan ini, kalau waktunya mengerjakan itu, ya itu. Sama, tidak kamu saja yang maknai kitab banyak. Semuanya seperti kamu, tidak ada pesantren yang isinya bukan kegiatan yang bermanfaat. Seharusnya kita senang, setiap waktu kita adalah pahala. Ngaji kitab pahala, belajar kelompok pahala, ngaji al-quran juga pahala. Bahkan kalau kita pikirkan ke depan, kita kelak pasti akan rindu saat di pesantren bagaimana."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status