Aku masih mengingat benar, sebuah tekadku yang ingin belajar dan mengarumi dunia pesantren saat Madrasah Ibtidaiyah.
Entahlah, saat itu gerangan apa yang membuatku memiliki tekad yang seperti itu. Padahal waktu itu, usiaku masih belum seberapa. Bahkan belum masuk syarat awal untuk berada di pesantren.
Sampai karena tekad itulah, Papi rela mencarikan pesantren yang di mana pesantren itu mau menerimaku.
Lalu tidak lama, sepekan berlalu dan Papi akhirnya menemukan pondok pesantren Al-Qomar.
Namun sayangnya, aku juga masih belum bisa memasuki pesantren tersebut. Karena umurku yang memang masih benar-benar kurang.
Setidaknya pesantren saat itu memberikan kesempatan untuk lebih cepat masuk pesantren, dan itu adalah peribtah untuk menunggu satu tahun lagi agar bisa masuk ke pesantren. Iya, aku kelas lima Madrasah Ibtidaiyah.
Dan memang benar, pada kelas lima itulah aku mengarumi dunia pesantren. Aku santriwati yang paling minim usinya, bahkan melewati batasan minim. Tetapi aku bangga dan bahagia untuk menjalaninya.
"Iya, tapi karena banyak batasan waktu itu yang justru buat aku malas buat balik ke pesantren lagi. Kalau mbak mau sampai kapan memang betah di pesantren?"
"In sya' Allah, sampai lulus MAN."
"Mbak, yakin? Soalnya kegiatan Pesantren banyak banget lho, mbak. Aku saja sampai-sampai tobat. Tetapi bagaimana lagi, Ayah nyuruh aku untuk tetap mondok di pesantren. Kalau bukan karena ayah, aku ogah."
"Tujuan ayahmu untuk mengantarkan kamu ke pesantren itu sangatlah mulia, Zizi. Biar kamu menjadi gadis yang solihah. Apa tidak mau mewujudkan tujuan mulia ayahmu, itu?"
Zizi terhenyak sejenak.
Seolah memikirkan kembali apa yang aku katakan kepadanya.
"Mau sih, tetapi bagaimana ya?"
Zizi melirik tajam. Aku hanya bisa diam sambil sesekali memperhatikan adikku Kencana yang bermain-main sapu di ambang pintu.
"Ya begitu, harus ikhlas dijalani dan penuh niat."
"Eh, mbak. Ayahku itu tidak memaksa aku ke pesantren. Ayahku itu terserah sih, mbak tergantung akunya sendiri. Jadi enaknya bagaimana ya, mbak? Kalau dulu kan ke pesantren karena adanya kamu juga, mbak. Ada yang nemenin mengaji, sampai berbagi cerita. Tapi kalau sekarang, di pesantren kita sudah tidak sekamar lagi. Seperti gimana ya, tidak asik saja gitu, mbak! Mangkanya itu juga jadi alasan aku malas buat lanjut ke pesantren lagi."
Zizi sepertinya bukan mengeluh lagi, tetapi dia benar-benar menuangkan semua pendapatnya.
Memang semenjak adanya pindahan kamar itu, kamar aku dan Zizi selalu berbeda. Itupun selisihnya begitu jauh, bahkan pernah hingga selisih delapan kamar.
Semenjak itu, aku memang jarang banget bertemu dengan Zizi. Bahkan aku juga sudah jarang sekali mendengar cerita pendeknya yang terkadang juga tidak ada yang spesial.
"Lanjutin ke pesantren saja, Zi. Meski kita sudah tidak sekamar, kita kan masih bisa saling komunikasi. Meski memang tidak selama dulu komunikasinya, tetapi kalau kamu ingin curhat atau berbagi cerita. In sya' Allah aku selalu siap dengerin. Apa hanya karena beda kamar sama aku, kamunya jadi malas ke pesantren. Jangan, Zi ...."
Aku sebenarnya ingin sekali satu kamar lagi dengan Zizi. Tetapi, keputusan Umi Kulsum yang diamanahi pindah kamar tidak dapat aku sendiri tolak. Dan kewajibanku sama seperti santri yang lain. Harus taat dengan peraturan.
"Iya, tetapi bukan itu saja sih, alasannya Zizi tidak ingin lagi mondok."
"Terus?"
Aku membalas tatapannya yang lekat dengan wajah yang membeku heran.
Gadis itu entah kenapa bisa terpental dengan mobil yang terbakar itu. Aku pun tak mengerti, bagaimana kronologi jelasnya. Namun aku yakin, dia pasti masih merasa kesakitan."Nggih, Umi.""Tidak usah repot-repot, Umi. Kulo bisa pulang sendiri." Mafayzah yang merapikan mukenahnya Umi, sepertinya tidak sengaja mendengar keputusan Umi yang menyuruhku untuk mengantarkannya pulang. Dia tahu sendiri, kalau aku orangnya bagiamana? Apapun perintah Umi, tidak kan pernah aku tolak selama perintah itu mengandung kebaikan. "Halah, Nduk. Diantar Alif saja loh, naik angkutan umum itu mahal. Apalagi rumahmu ke rumah sakit ini cukup jauh." "Ya sudah, kulo patuh ke Umi saja. Biar Mas Alif yang ngantar.""Nah, begitu lak enak. Lif, cepat anterin pulang!" ***Pagi ini, rumah sakit sudah sangat ramai kunjung. Sampai parkiran mobil saja sudah sangat penuh."Mas, pean masih mencintai aku?"Hampir saja Mafayzah membuatku tersedak. Kenapa juga dia menanyaiku dengan pertanyaan itu? Apa karena tadi malam ak
"Iya, ini, kalau ngirim pesan ke Ibunya Mafayzah saja. Kalau ke Ayahnya Mafayzah jam segini kurang sopan, Lif. Nanti juga biar Ibunya Mafayzah yang akan ngasih tahu ke Ayahnya Mafayzah." "Nggih, Umi."***Bukankah Mafayzah cantik? Hanya saja kalau seperti ini aku tak melihat cerewetnya seperti apa. Ketika matanya terpejam, seakan kediaman bagai membungkamnya. Inikah istri yang kelak akan menjadi Ibu dari anak-anakku? Lantas aku kapan menghalalkanmu? Mafayzah itu sabar, seperti halnya istri nabi. Tetapi aku tak bisa sabar seperti nabi. Beberapa kali hatiku bergejolak berasa ingin menyentuhmu, apalagi ingin memberikan kecupan pertamaku. Hanya saja aku tahu, aku tak akan bisa sebelum pada akhirnya kita sah pada jalur nikah. Ah, bagaimana aku bisa meninggalkanmu. Jasamu pada Abah itu berharga, bahkan aku tak mengira bahwa peristiwa seperti tadi mampu terjadi. Dan aku bersyukur ada malaikat sebaik dirimu yang membantu Abahku. "Mas, pean sejak kapan di sini? Aku pamit pulang ya ...."
Aku tidak tahu apakah Umi sudah menyiapkan makan di meja makan ataukah belum. Setahuku jam segini, nasi sudah pada dingin semua. Mungkin aku akan ke rumah makan Masakan Padang saja, di sana pasti ada lauk yang aku sukai. Sudah lama juga, aku tidak mampir makan di sana. "Jangan, Le! Tunggu dulu, ini kami membawakan samean makanan. Masih hangat." Aku memperhatikan bungkusan nasi dengan air minum jus buah apokat. Sepertinya enak, tetapi aku sungkan saja kalau menerima makanan itu. Mungkin aku tolak halus saja. "Tidak usah repot-repot, Pak. Terima kasih." Aku menepis pelan bungkusan makanan itu, niatku tidak ingin merepotkan ke dua orang tua gadis itu saja. Gadis itu yang luka-luka, pastilah membutuhkan banyak perawatan. Bahkan aku mengerti soal biaya yang akan ditangguh oleh ke dua orang tuanya itu. Memang apa penyebab peristiwa tadi? "Kami tidak repot, Nak. Kami justru banyak berterima kasih, Le." "Nggih, Pak. Nasinya Bapak sama Ibu makan saja. Kulo tidak apa.""Ya sudah Le, kami
Aku tidak berani bilang ke Mafayzah kalau aku habis menolong seorang gadis. Apalagi aku bilang pada dirinya, kalau aku sedang ada di rumah sakit. "Kamu sudah makan?""Kalau siang sudah, kalau sore belum.""Kasihan ... apa Mas mau aku anterin makan?" "Tidak usah, aku tidak apa-apa kok. Lagian masih kenyang."Sebenarnya aku juga lapar, tapi bagaimana lagi?Semisal aku menjawab memang lagi lapar, yang ada malah Mafayzah datang ke ndalemnya Umi dan malah tidak ketemu aku. "Benaran, Mas?""Iya, Mafayzah.""Ya sudah, aku mau sholat dulu, Mas. Kamu sudah sholat?""Eh iya, belum eq. Iya habis ini sholat, kok.""Wassalamu'alaikum, Mas. Cepat pulang.""Wa'alaikumsalam."***Aku membawa obat yang barusan aku ambil di resep pengambilan itu, kemudian kutaruh obat itu di meja yang tak jauh dari ranjang. Sesekali kulirik ke singgah gadis itu berbaring tanpa daya di atas ranjang rumah sakit yang beralas spons itu, lalu berjalan untuk mengambil kursi yang terletak di bawah ranjangnya agar aku tid
Mafayzah mengirimkan pesan yang cukup banyak. Sampai pesan miliknya yang hampir tenggelam pun, akhirnya kembali di paling atas. Kalau di aplikasi putih ini malah yang mengirim pesan itu kebanyakan guru yang akrab sama aku, sama keluarga jauh yang mungkin hanya sekedar tanya kabar orang rumah bagaimana. Dan pasti selalu ada Mafayzah yang mengirimkan pesan. Pintu operasi itu akhirnya terbuka, maka keluarlah kasur dorong yang di atasnya terbaring gadis yang aku selamatkan tadi. Kulihat, dia masih berbaring lemah. Kali ini gadis itu tak memakai hijab, justru di kepalanya terdapat perban luka. Bahkan sikunya juga di perban dengan perban yang agak tebal. Kenapa aku tidak tahu soal luka yang berada di sikunya? Yang sempat, malah memperhatikan luka yang berada di belakang kepalanya itu. Aku mengikuti para dokter dan tim medis yang memindahkan gadis itu yang katanya ditempatkan di Ruang Aisyah tujuh. "Vivi Ip?"Oh, tidak. Itu bukan Vivi Ip ternyata. Hanya ruangan biasa, tetapi atasnya ad
"Pak, saya membutuhkan tanda tangan dari bapak. Operasi harus secepatnya di jalankan karena ada kepala bagian dalamnya yang terluka."Bagaimana ini? Peristiwa silang sengkrawut memenuhi kepalaku tentang kebakaran mobil dan keramaian tadi, aku yakin semua yang ada di sana sudah terkendali dengan adanya Adi dengan tim.Mereka pemadam kebakaran, pasti tahu bagaimana juga cara mengefakuasi korban, bagaimana cara memadamkan api juga. Soal gadis itu, sudah aku duga kalau ini bakalan terjadi. Darah yang menetes dari kepala bagian belakangnya itu sudah memberi tanda kalau lukanya tidak ringan seperti pada umumnya. Bila aku terlambat memberi keputusan sedikit saja, akibatnya malah berbahaya untuk gadis itu."Baik, akan saya tanda tangani."***"Di mana orang tua gadis ini?"Operasi berjalan kurang lebih satu jam, tetapi aku belum juga mendapat kabar kalau orang tua gadis ini sedang berada di mana. Kenapa aku tidak meminta nomor telpon orang tua gadis ini lewat pamannya tadi? Kenapa juga aku