Share

Dua Hal Yang Berbeda

"Mbak, bagaimana kalau aku tidak lanjut mondok lagi, biar bisa pulang ke rumah setiap hari tanpa harus nunggu jadwal sambang?" 

Benar bukan? Tidak salah. 

Sudah aku duga juga Zizi akan melanjutkan pembicaraannya tentang itu.

Aku juga bingung sama Zizi, apakah dari awal dia ke pesantren tidak ada niat sama sekali? Atau memang ada niat, tetapi bukan niat mencari ilmu, tetapi semata-mata karena menuruti keinginan orang tuanya.

"Ke pesantren saja Zi, bukannya malah repot sendiri, harus bolak-balik jalan untuk sekolah pagi iya, kan? kamunya nanti akan kurang pondasi kalau ke pesantrennya tidak dilanjut. Tetap lanjut saja, Zi ...."

"Mbak, di pesantren itu banyak masalah ini itu."

Aku menatapnya kembali, setelah beberapa detik ada keheningan berpadu di antara kami.

"Ada masalah ya diselesaikan, aku malah bolak-balik terkena masalah tetapi aku coba selesaikan baik-baik. Tapi kalau kamu, masalah seperti apa memang?"

"Ya pokoknya masalah dari Mbak-mbak kamar. Ada saja yang diributkan, entah itu siang, atau malam. Berisik, mbak!"

Zi mulai cemberut. 

"kalau berisik coba tidak usah kamu respons, Zi. Pokoknya hal seperti itu, tidak usah dipikir dalam. Bikin santai saja."

"Ya allah, mbak. Ya sudah, karena kamu deh, mbak. Zizi akan lanjut lagi ke pesantren." 

"Niatin mencari ilmu, ya ... jangan karena aku. Serahkan pada allah jangan mengeluh, kalau kamu mengeluh, ya ntar yang kamu jalaninya akan berasa berat. Karena yang tahu dirimu, itu juga dirimu sendiri!"

"Hmmm. Iya, mbak."

***

Gus Iqbal

"Gus, samean di sini?" 

Aku sepertinya kenal dengan suara serak itu. Gus Mu'in kah?

Aku menoleh ke arah belakang. 

Benar, itu Gus Mu'in teman Madrasah Ibtidaiyahku sekitar dua puluh tahun yang lalu. Hanya saja aku hampir lupa wajahnya seperti apa. Terakhir aku bertemu dengannya di perlombaan yang di selenggarakan besar-besaran di distrik. Itupun, kami tidak bisa untuk berbincang begitu lama. 

"Iya, lagi beli kebutuhan dapur."

Gus Mu'in semakin dekat dengan singgahku. Setelah dekat, ditepuknya pelan pundakku. Apa setiap orang harus selalu menepuk pundak?

Gus Mu'in wajahnya seperti mencerminkan kebahagiaan, apakah malam-malam di pelabuhan kota dengan rutinitas pesantren yang didirikan almarhum abahnya mengubah setiap kesedihannya yang pernah ada. 

Sebenarnya, malam di pelabuhan di saat hujan itu menggumpalkan beberapa ribu kenangan. Akan tetapi ceritaku dengan Gus Mu'in begitu sangat berbeda, begitu berbeda dengan kenyataan pahit yang kami telan secara keterpaksaan. 

Iya, dia benar-benar kehilangan istri tercinta untuk selama-lamanya karena tragedi kebakaran kapal yang akan berlayar ke Riyadh Dariyat. Bersamaan dengan itu pula, aku kehilangan paman yang selama ini berperan layaknya seorang ayah. Baiklah, mungkin kepahitan itu memang sebuah suratan yang memang harus kami terima mentah-mentah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status