Felix menarik napas dalam, menyadari bahwa Veny berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Dia akan menjelaskannya dengan hati-hati, seolah ingin menenangkan wanita yang masih terbaring lemah itu.
“Baiklah, aku akan menjelaskan semuanya,” katanya dengan suara tenang. “Malam itu, aku sedang dalam perjalanan menuju bandara. Aku harus mengejar penerbangan untuk kembali ke Philadelphia, kotaku. Namun, ketika aku sedang menyetir, tiba-tiba kamu muncul di tengah jalan. Aku tidak sempat menghindar. Mobilku menabrakmu. Itu kecelakaan, dan aku benar-benar tidak melihatmu datang.” Felix berhenti sejenak, mencoba membaca reaksi Veny, meskipun matanya masih tertutup oleh perban. Dia melanjutkan dengan nada penuh penyesalan, “Setelah kecelakaan itu, aku segera membawamu ke rumah sakit ini. Kamu dibawa langsung ke ruang operasi karena cedera di wajahmu sangat serius. Aku merasa bersalah, dan aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan tetap di sini sampai kamu sembuh.” Veny mendengarkan dalam diam, mencoba memahami semua yang dikatakan Felix. Namun, masih ada banyak pertanyaan di benaknya. “Aku... aku masih tidak ingat,” gumam Veny lemah. “Kamu bilang dari Philadelphia? Apa kamu akan kembali ke sana?” Felix mengangguk, meski Veny tidak bisa melihatnya. “Ya, aku seharusnya kembali, tapi aku memutuskan untuk tinggal. Setidaknya sampai aku tahu kamu sudah benar-benar pulih. Ini semua salahku, dan aku tidak akan pergi sampai aku memastikan kamu mendapatkan perawatan yang kamu butuhkan.” Ada jeda panjang di antara mereka, hanya suara mesin monitor yang terdengar di kamar itu. Veny merasa bingung dan hampa, sementara Felix masih dibayang-bayangi oleh rasa bersalah yang terus menghantuinya. “Aku tahu ini tidak bisa menggantikan apa yang terjadi,” tambah Felix dengan suara rendah, “tapi aku akan memastikan kamu mendapat pengobatan yang terbaik sampai kamu benar-benar sembuh.” Ketika Felix baru saja selesai berbicara, pintu kamar terbuka dan seorang dokter serta perawat masuk. Mereka membawa clipboard dan perlengkapan medis untuk memeriksa kondisi Veny. Sang dokter, dengan suara tenang dan profesional berkata, “Nona Diandra, kami akan memeriksa kondisi Anda sebentar.” Mendengar nama itu, Veny mengerutkan kening. “Diandra? Siapa Diandra?” tanyanya bingung. Ia tidak pernah mendengar nama itu sebelumnya, apalagi menyadari bahwa orang-orang di sekelilingnya memanggilnya dengan nama tersebut. Felix tampak tegang dan tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Namun, sebelum dia bisa bicara, dokter sudah mulai memberikan penjelasan. “Maaf, kami diberitahu bahwa nama Anda Diandra oleh wali Anda di sini,” dokter melirik sekilas ke arah Felix. “Namun yang lebih penting, kami perlu membahas kondisi kesehatan Anda sekarang.” Veny tetap terdiam, hatinya masih dipenuhi kebingungan, tapi ia mendengarkan dokter dengan cermat. “Kami telah melakukan yang terbaik dalam operasi Anda,” lanjut dokter. “Sebagian besar luka di wajah Anda bisa kami tangani dengan baik, wajah anda mungkin akan sulit dikenali karena perubahan pada dagu Anda, dan cedera parah di area mata. Sayangnya, penglihatan Anda terkena dampak yang sangat signifikan. Kami sudah melakukan semua yang kami bisa, tetapi saya harus memberitahu Anda, bahwa fungsi penglihatan Anda... tidak lagi bisa dipulihkan.” Kata-kata itu melayang di udara seperti bom yang meledak. Veny terdiam, jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak. Tubuhnya terasa lemas, seolah gravitasi menariknya lebih kuat ke ranjang. Mata… penglihatanku… hilang? “Tidak,” Veny berbisik, suaranya parau dan bergetar. “Tidak mungkin… Ini tidak mungkin…” Felix yang berdiri di sebelahnya merasa tenggorokannya tercekat. Dia bisa melihat betapa terpukulnya Veny oleh berita itu, dan rasa bersalah semakin dalam menghantam dirinya. Ia ingin mengatakan sesuatu, apa pun untuk menenangkan Veny, tapi tidak ada kata-kata yang cukup. Semuanya terasa sia-sia. Air mata mulai mengalir di pipi Veny, meskipun matanya tertutup perban. Hatinya hancur berkeping-keping, membayangkan hidup tanpa penglihatan. Selama ini dia selalu menganggap matanya adalah jendela dunianya, dan sekarang jendela itu tertutup selamanya. Kesedihan dan kepedihan menyapu seluruh jiwanya. Bagaimana aku akan hidup tanpa melihat dunia lagi? Dalam keheningan yang penuh luka itu, dokter menyelesaikan pemeriksaannya, lalu pergi meninggalkan Veny bersama Felix, yang hanya bisa berdiri di sana dengan hati yang berat. Seminggu telah berlalu sejak Veny menjalani perawatan intensif. Hari ini, perbannya sudah dibuka. Perlahan-lahan, ia menggerakkan tangannya, meraba wajahnya yang kini terasa berbeda. Dagunya sedikit lebih lancip daripada sebelumnya, hasil dari operasi yang dilakukan untuk memperbaiki luka akibat kecelakaan itu. Namun, perubahan ini terasa tak berarti dibandingkan kenyataan lain yang baru saja ia ketahui. Dokter dengan suara hati-hati memberitahu Veny bahwa ia saat ini sedang mengandung sepuluh minggu. Berita itu menghantamnya seperti ombak yang tiba-tiba datang. Bayangan masa lalu segera kembali, dan Veny telah mengingat kejadian sebelum kecelakaan, momen-momen penuh kebencian dengan Samy. Semua itu membuat perasaan di dalam dirinya semakin rumit. Ia duduk di tepi ranjang rumah sakit, perutnya yang mulai membesar sedikit disentuh dengan lembut. Samy. Nama itu terasa seperti racun di pikirannya. Rasa bencinya semakin mendalam, mengingat bagaimana Samy pernah menyakitinya dengan begitu parah. Segala kebencian, kepahitan, dan rasa pengkhianatan mengendap di hatinya. Dia tidak berhak tahu, pikir Veny dengan tegas. Samy tidak akan pernah tahu tentang anak ini. Ia tidak akan membiarkan pria yang telah menghancurkan hidupnya mengetahui bahwa dirinya mengandung anak mereka. Ini adalah rahasia yang akan Veny simpan untuk dirinya sendiri. Dengan perasaan penuh tekad, Veny menyentuh perutnya sekali lagi. Aku akan menjaga anak ini sendiri. Tanpa Samy. Saat Felix datang ke kamar rumah sakit, Veny sedang duduk tenang di ranjang, wajahnya kini tanpa perban. Meski luka di wajahnya mulai sembuh, ada kesedihan dan keputusasaan yang tak bisa disembunyikan. Felix dengan langkah hati-hati mendekati Veny. “Aku datang untuk pamit,” kata Felix dengan nada pelan, namun tulus. “Aku harus kembali ke Philadelphia hari ini. Aku sudah mengurus semuanya untukmu di sini. Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungiku.” Felix mengeluarkan sebuah kartu dari sakunya dan menyerahkannya kepada Veny. “Ini untuk kebutuhanmu selama pemulihan. Jangan khawatir tentang biaya apa pun, aku yang akan mengurus semuanya. Aku juga sudah menghubungi beberapa ahli dan aku akan mencari donor mata secepat mungkin untukmu.” Veny menatap kartu di tangannya, jari-jarinya menyusuri permukaan kartu itu, meski ia tahu tak akan bisa melihatnya. Perasaan campur aduk memenuhi dirinya, rasa syukur atas bantuan Felix, tapi juga kehampaan atas masa depannya yang tak pasti. Namun, di tengah pikirannya yang kacau, sesuatu muncul di benaknya. Sebuah ide yang tak terduga. Tiba-tiba tanpa berpikir panjang Veny berkata, “Aku ingin ikut ke kotamu.” Felix terdiam, terkejut dengan permintaan mendadak itu. “Ke Philadelphia?” tanyanya, memastikan dia tak salah dengar. Veny mengangguk pelan. “Ya, aku tidak punya siapa-siapa di sini, dan aku... aku tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Semua kenangan buruk tentang hidupku ada di sini, dan aku ingin pergi. Kamu bilang akan membantuku, kan? Mungkin di sana aku bisa memulai hidup baru.” Felix menatap Veny, melihat tekad di wajahnya meski dia tahu Veny masih berjuang melawan rasa sedih dan luka batin. Di satu sisi, Felix merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Veny. Membawanya ke Philadelphia mungkin adalah satu-satunya cara untuk membantunya benar-benar pulih, baik secara fisik maupun emosional. Felix mengangguk dengan tegas. “Baik, kalau itu yang kamu inginkan. Aku akan mengatur semuanya. Kita akan berangkat secepat mungkin.” Veny merasa lega mendengar itu. Ini adalah langkah pertama menuju sesuatu yang baru, meskipun ia tidak tahu apa yang akan terjadi di Philadelphia, ia merasa itu adalah awal untuk meninggalkan luka lamanya di belakang. Air mata menggenang di mata Diandra. Dia mengerti betapa dalam cinta Alex untuknya, dan itu membuat hatinya terasa penuh. Dia mengangkat wajahnya untuk menatap Alex, tersenyum lembut sambil menyeka air mata yang hampir jatuh. "Aku janji, Alex. Aku akan menjadi ibu yang baik untuk Aurora, istri yang setia untukmu. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu. Kau dan Aurora adalah dunia bagiku." Alex menunduk, mencium keningnya dengan lembut. "Itu saja yang kubutuhkan, Dee. Kau adalah segalanya untukku." Malam itu, di bawah sinar bulan, mereka berdua berdiri dalam pelukan, menguatkan janji mereka untuk saling menjaga, mencintai, dan bersama membangun kehidupan penuh kebahagiaan. Kehidupan keluarga kecil itu semakin bahagia setelah janji-janji malam itu. Hari-hari mereka diisi dengan cinta dan perhatian, terutama untuk Aurora yang kini menjadi pusat dunia mereka. Alex mulai meluangkan lebih banyak waktu di rumah, memastikan dia tidak melewatkan momen berharga bersama Diandra dan bayi m
Di sela-sela pesta, Alex mendekati Diandra yang sedang duduk di sofa. "Kau baik-baik saja? Tidak terlalu lelah?" tanyanya penuh perhatian.Diandra tersenyum lembut. "Aku baik-baik saja, Alex. Terima kasih sudah membuat hari ini begitu istimewa."Alex mencium puncak kepalanya. "Kau yang istimewa, Dee. Aurora adalah hadiah terbaik yang pernah kubayangkan."Pesta berlangsung meriah namun tetap hangat dan intim. Saat malam tiba, Alex mengangkat gelasnya untuk memberi toast terakhir."Untuk Aurora, cahaya baru dalam hidup kita. Semoga dia selalu dikelilingi cinta dan kebahagiaan," ucapnya.Semua tamu bersorak, memberikan doa dan harapan terbaik untuk bayi mungil itu. Hari itu menjadi momen penuh kebahagiaan dan cinta yang akan selalu dikenang oleh keluarga Evanders.Setelah pesta berakhir, rumah keluarga Evanders kembali hening. Diandra sedang menyusui Aurora di kamar bayi yang telah dihias dengan warna pastel lembut. Lampu gantung berbentuk bintang memancarkan cahaya hangat, menciptakan s
Diandra merasa energinya semakin bertambah. Perutnya sudah membuncit, dan hal itu membuat Alex semakin perhatian. Setiap malam, Alex dengan sabar mengoleskan minyak khusus ke perut Diandra untuk mencegah stretch mark.“Alex, kau tidak harus melakukannya setiap malam,” ujar Diandra sambil terkikik.“Tapi aku mau,” balas Alex dengan senyum lebar. “Ini seperti ritual bonding dengan bayi kita. Dan tentu saja, aku ingin kau tetap merasa cantik.”Diandra hanya bisa menggeleng pelan sambil tersenyum, hatinya penuh rasa syukur.“Aku merasa sangat beruntung,” kata Alex sambil menatap Diandra.“Kenapa?” tanya Diandra, bersandar di bahunya.“Karena aku punya istri yang luar biasa, keluarga yang mendukung, dan sekarang, kita akan punya bayi. Hidupku terasa sempurna.”Diandra meremas tangan Alex dengan lembut. “Aku juga merasa begitu, Alex. Aku tidak sabar melihat bayi kita tumbuh, menciptakan lebih banyak kenangan indah bersama.”Malam itu, mereka menikmati kebersamaan dalam diam, hanya ditemani
Melihat kondisi itu, Alex menghela napas panjang. Hatinya hancur melihat Diandra seperti ini, tetapi ia tidak ingin menyerah. Ia bangkit, berjalan ke dapur, dan memutuskan untuk mencoba memasak sendiri. Sup hangat yang ringan, pikirnya.Ketika Alex kembali ke kamar dengan semangkuk sup, Diandra masih terbaring di posisi yang sama. "Aku tidak ahli memasak, tapi aku sudah berusaha. Tolong coba satu sendok, ya, Dee?"Diandra membuka matanya perlahan, menatap Alex yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi penuh harapan. Dengan enggan, ia mengangguk. Alex membantu menyendokkan sup ke bibirnya.Rasa hangat sup itu sedikit mengurangi mual Diandra, dan ia berhasil menelan beberapa suap. "Rasanya… lumayan," gumamnya dengan lemah, mencoba tersenyum.Alex tertawa kecil, merasa lega. "Lumayan sudah cukup baik untukku. Besok aku akan coba membuat hal lain yang lebih enak."Hari-hari berlalu dengan Alex yang terus merawat Diandra sepenuh hati. Ia memastikan Diandra mendapatkan asupan nutrisi yang
Diandra memanggil salah satu pelayan untuk membuatkan salad siang itu. Setelah memastikan pesanannya disampaikan, ia berjalan perlahan menuju kamar di lantai atas. Namun, saat mulai menaiki tangga, rasa pusing yang mengganggu sejak pagi semakin menjadi-jadi.Tangannya bergetar saat meraih sisi pegangan tangga, tubuhnya terasa semakin lemah. Pandangannya kabur, dan suara detak jantungnya berdentam keras di telinganya."Aku harus sampai ke kamar," gumamnya pelan, mencoba melangkah lagi. Namun tubuhnya terasa seperti kehilangan kendali. Mata Diandra mulai terpejam, tubuhnya lunglai, dan gravitasi perlahan menariknya ke bawah.Di saat kritis itu, suara langkah cepat terdengar di belakangnya. Alex, yang kebetulan baru pulang lebih awal dari kantor, menyadari sesuatu yang tidak beres."Diandra!" seru Alex panik. Dia berlari ke arah istrinya dan berhasil menangkap tubuhnya tepat sebelum Diandra jatuh ke lantai."Dee! Buka matamu!" Alex mengguncang tubuhnya pelan, suaranya bergetar dengan kek
Kata-kata Diandra menghangatkan hati Alex. Dia meremas tangan istrinya, berterima kasih atas kehadirannya. "Terima kasih, Dee. Aku hanya… ada banyak hal yang harus kuurus. Tapi aku janji, semuanya akan baik-baik saja."Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, pintu suite mereka diketuk. Alex berjalan ke pintu, membuka dengan hati-hati."Pak Evanders, ini paket untuk Anda," ucap seorang pelayan hotel sambil menyerahkan sebuah kotak kecil berwarna hitam.Alex mengucapkan terima kasih, lalu menutup pintu. Dia membawa kotak itu ke meja, membuka perlahan. Di dalamnya terdapat sebuah amplop putih dan flash drive kecil."Apa itu?" tanya Diandra penasaran.Alex membuka amplop tersebut. Di dalamnya hanya ada satu kalimat, ditulis dengan huruf cetak tebal:"Kebenaran selalu memiliki cara untuk muncul ke permukaan."Alex memandang flash drive itu dengan cemas. Diandra memperhatikan ekspresinya yang tegang. "Alex, apa kau ingin memeriksanya?"Alex mengangguk. "Aku harus tahu apa ini."Mereka m