Share

Prank

Ansel sedang bersantai di sebuah warung yang sering dijadikan tempat tongkrongannya bersama teman-temannya sekolahnya. 

Ditemani dengan sebuah rokok dan teh hangat, ia menikmati waktu sambil menunggu sahabatnya datang.

Sebenarnya ia tidak sendirian kali ini. Karena ada beberapa teman-temannya yang sedang bersembunyi di dalam warung. 

Sekarang ia dan teman-temannya sedang merencakan sesuatu yang sangat berbahaya. Yaitu bilang secara langsung kepada Dalfon Zephyrine, bahwa dirinya telah berpacaran dengan Jingga Auretta Eira, adik perempuan Dalfon.

Kenapa berbahaya? Karena Dalfon sama sekali tidak pernah membiarkan seorang laki-laki pun masuk ke dalam kehidupan adik perempuannya. 

Beberapa hari lalu, ada suatu kejadian yang sangat tragis. Kejadian itu bermula saat ada seorang laki-laki yang berani-beraninya mendekati Jingga di hadapan Dalfon. Dan tidak lama, laki-laki itu dikabarkan masuk rumah sakit akibat amukan Dalfon. Itu bukan pertama kalinya Dalfon mengamuk pada laki-laki yang berani-beraninya mendekati Jingga. Tetapi itu adalah kejadian yang paling parah. Karena kejadian itu hampir membuat laki-laki itu kehilangan nyawanya.

Dan sore ini dengan bodohnya Ansel ingin melakukan hal tersebut. Sebenarnya Ansel sangat percaya diri bahwa ia tidak akan menerima amukan Dalfon, karena memang mereka sudah bersahabat sejak lama dan Dalfon adalah orang yang tidak tega menyakiti sahabatnya sendiri. Tetapi di satu sisi lain, Ansel juga takut, pasalnya Dalfon sangat tidak suka jika adiknya didekati oleh seorang laki-laki, termasuk sahabatnya sendiri.

Sebenarnya Ansel melakukan ini bukan karena keinginannya. Tetapi karena sebuah permintaan seorang perempuan yang sekarang sedang bersembunyi dengan teman-temannya di dalam warung. 

Saat Ansel melihat kedatangan Dalfon, ia langsung mematikan rokoknya, lalu menggunakan parfum sebanyak mungkin. 

Ia melakukan itu karena Dalfon sangat tidak suka bau rokok. Dan sebenarnya Dalfon tidak pernah melarangnya merokok. Tetapi laki-laki itu selalu memperingatinya bahwa saat ia datang untuk nongkrong, pastikan tidak ada batang rokok atau pun bau rokok di tempat. 

"Oi, Nyet. Bagaimana kabarmu?" sapa Dalfon sambil melemparkan jaketnya ke atas meja yang ada di sebelah.

"Biasa, Nyet," jawab Ansel sambil membenarkan posisi duduknya.

Nyet. Diambil dari kata monyet. Kalimat itu sudah biasa dijadikan kalimat sapaan bagi semua orang yang sering berkumpul bersama di warung tersebut. Dan orang yang pertama kali mengusulkan kalimat itu adalah Ansel sendiri. Dengan persetujuan Dalfon dan anggota yang lainnya, akhirnya kalimat itu secara resmi menjadi kalimat sapaan mereka semua.

"Ini bau parfumnya tajam banget. Mau ke acara pernikahan atau bagaimana?" sindir Dalfon sambil menutup hidungnya.

"Acara pernikahan apaan?! Tadi kata anak-anak ada perempuan baru di sini, makanya aku pakai parfum," balas Ansel sambil mencium bajunya sendiri.

"Lah, iya. Mana anak-anak yang lain?"

"Lah? Bukannya kamu tadi pagi suruh mereka mancing ikan buat pesta nanti malam? Kamu lupa atau bagaimana?" 

"Oh, iya. Astaga kok aku jadi pelupa kayak begini."

Ansel tersenyum kecil. Sebenarnya semua teman-temannya sekarang sedang berada di dalam warung sambil menguping pembicaraannya dengan Dalfon. Dan menunggu waktu yang tepat untuk keluar membawa kue ulang tahun untuk Dalfon.

"Eh, Nyet. Aku mau bicara serius, nih. Tapi kamu jangan marah," ucap Ansel lalu menghabiskan minumannya.

"Serius-serius apaan?! Aku masih sekolah, Nyet. Belum waktunya ke jenjang yang lebih serius," ucap Dalfon sambil menatap aneh Ansel.

"Matamu! Yang aku maksud bukan itu Monyet Alaska! Aku mau bicara serius, nih!"

"Iya-iya, Ansel Nazriel Raffan. Mau bicara tentang apa? Apa ada yang ganggumu?"

"Astaga, kamu bicara terus kayak ibu-ibu arisan. Diam dulu kenapa?! Aku yang tadinya mau bicara jadi lupa mau bicara apaan!"

"Mau bicara apa sih, Nyet? Mau curhat? Curhat apa? Baru dekat sama perempuan mana? Sudah jadian emang?"

"Jangan ngasal, jadi orang! Asal sudah jadian aja."

"Terus apa dong? Eh, ini minumannya siapa? Aku minum, ya. Nanti tolong kamu bayarin dulu, nanti aku bayar di rumahku."

"Iya, minum aja. Itu minuman yang aku sengaja pesan buat kamu."

"Wih, baik banget kamu. Ada apa gerangan, nih?"

"Aku 'kan sekarang lagi pacaran sama Jingga."

"Iya, aku juga baru aja jadian sama emakmu. Tidak usah ngelucu! Kalau ngelucu, tidak usah bawa adikku!"

"Seriusan, Nyet. Ini aku kasih lihat buktinya. Biar kamu percaya."

"Udah. Tidak usah kayak begitu. Kamu mau curhat apa? Bilang aja langsung, tidak usah pakai banyak pengalihan."

"Aku serius, Nyet. Coba lihat dulu nih pesanku sama adikmu. Biar kamu percaya."

Dalfon menatap tidak percaya Ansel. Tentu saja ia tidak percaya, karena mau bagaimana pun juga Ansel adalah sahabatnya. Dan Ansel sudah sangat mengerti bahwa ia tidak suka ada laki-laki yang mendekati adiknya. Jadi ia rasa tidak mungkin jika Ansel pacaran dengan adiknya.

"Jangan bikin suasana hatiku jadi buruk, deh. Mending kita ikut mancing, biar banyak dapat ikan," ucap Dalfon setelah menelan minuman yang ada di dalam mulutnya.

"Siapa yang bohong?! Lihat dulu pesannya! Biar kamu tau!" bentak Ansel berkali-kali.

"Bentar-bentar. Kamu tau 'kan sekarang kamu lagi bicara sama siapa?"

"Aku tau. Kamu kakaknya Jingga, makanya aku bilang ini ke kamu. Biar kamu tau dan merestui hubungan ku sama Jingga."

"Sudah, lah. Tidak usah bercanda lagi. Ayo ke pemancingan, sebelum malam, nih."

"Aku serius berengsek! Kalau sahabat ngomong tuh dipercaya! Tidak usah banyak bercanda dulu!"

"Kamu yang bercanda! Aku 'kan sudah berkali-kali bilang ke kamu. Kalau kamu sahabatan sama aku yang penting cuma satu, kalau bicara tidak usah bawa-bawa keluargaku."

"Sudah terlanjut, Nyet."

"Kamu bilang terlanjur sekali lagi, aku sikat kamu ... tidak usah bercanda. Kalau bercanda tidak usah bawa-bawa keluargaku."

"Siapa yang bercanda?! Kamu lihat mukaku, wajahku aja sudah serius kayak orang lagi nahan buang air besar, masih aja kamu anggap bercanda. Sudah terlanjur, Nyet."

Dalfon menutup matanya. Ia meminum seruputan terakhir yang ada di dalam gelasnya. Dan saat minumannya yang ada di dalam gelasnya sudah habis, di saat itu juga mata tajamnya muncul. Menatap Ansel dengan tajam, seakan memberi peringatan kepada Ansel bahwa bercandaannya kali ini sudah kelewatan.

"Coba kamu bilang terlanjur sekali lagi, aku sikat kamu sekarang," ucap Dalfon sambil melempar gelasnya ke sembarang arah.

"Tidak, tidak. Tidak terlanjut yang itu. Maksud aku tuh terlanjur suka sama adikmu," tegas Ansel dengan perasaan gugup. 

"Ini kamu beruntung karena kamu yang bicara. Coba kalau orang lain yang bahas adikku, udah aku habisin orang itu saat ini juga. Ini beneran tidak?"

"Beneran, Ya Tuhan. Ini pesan aku sama dia."

"Kalau bercanda yang benar. Tidak usah kayak 'gini."

"Tidak bercanda. Baca aja deh pesannya. Kan maksudku, kalau aku nikah sama Jingga, nanti kamu jadi kakak iparku."

"Hush, hush. Diam kamu!"

Dalfon mengambil alih ponsel milik Ansel. Ia menatap layar ponsel milik sahabatnya itu. Membaca pesan yang terlihat jelas di hadapan matanya. Setelah membaca keseluruhan pesannya, ia memastikan bahwa nomor yang dikirimkan pesan oleh Ansel adalah nomor adiknya. Dan Dalfon pun langsung menghembuskan nafas saat menyadari bahwa nomor tersebut adalah nomor adiknya.

"Kamu kok gila sih, Nyet!" tegas Dalfon sambil mengembalikan ponsel Ansel.

"Kan cinta tuh tidak ada yang tau, Nyet. Kamu tidak bisa ngatur hatiku mau sukanya sama siapa. Dan saat hatiku milih Jingga, apa itu salahku?" ucap Ansel diakhiri dengan sebuah pertanyaan.

"Dia adikku, bego!"

"Tapi 'kan tidak aku apa-apain. Aku janji, deh. Aku tidak akan ngapa-ngapain adik lo sebelum aku nikah sama dia."

"Bukan begitu. Kamu gila, Nyet. Kamu lupa. Aku ingatin lagi. Karena kamu sahabatku. Aku coba tidak emosi. Kamu sahabatan sama aku sudah delapan tahun. Dan selama itu juga, aku sudah kasih peringatan ke kamu untuk tidak dekat-dekat sama Jingga. Tapi kenapa sekarang kamu malah pacaran sama dia?!"

"Tidak, begini saja. Kamu boleh pacaran sama perempuan lain dibolehkan sama adikmu. Tapi kenapa aku pacaran sama adikmu, malah tidak kamu bolehkan?"

"Iya. Aku akuin aku egois, karena aku tidak memperbolehkan adikku pacaran. Tapi masalahnya begini, Nyet. Aku paling tidak bisa lihat Jingga nangis. Tidak peduli itu masalah kecil atau pun besar, di mataku tetap aja itu buat aku benci sama hal itu."

"Tidak akan aku bikin nangis."

"Bentar! Diam dulu! Aku kasih tau kamu. Di setiap hubungan itu pasti ada permasalahan. Ingat itu baik-baik. Aku takutnya kalau kamu pacaran sama Jingga dan kamu tidak sengaja bikin dia nangis, terus persahabatan kita bagaimana, Nyet?! Dan aku ungkit lagi nih, aku sudah bilang berkali-kali bilang ke kamu untuk tidak usah dekat-dekat sama adikku. Lah kok sekarang malah kamu pacaran sama dia, sialan kamu. Aku juga akuin aku tidak bisa marah sama kamu, Nyet. Karena memang kamu sahabatku sejak lama. Tapi maaf, masalah ini beda. Aku kali ini marah beneran. Untung aja aku masih sadar kalau kamu sahabatku, kalau tidak, pasti sudah aku bikin mukamu babak belur."

"Tapi, 'kan aku sudah jujur, Nyet. Aku pacaran sama Jingga. Aku sayang sama Jingga. Dan Jingga juga cinta sama aku. Nah karena Jingga tidak berani bilang ke kamu, makanya aku yang sampaikan ke kamu."

"Dia tidak akan berani bilang, lah. Bayangin semisalnya kamu beneran sama adikku. Tapi enggak usah sombong dulu. Nih ya, walau ibu aku ngizinin, aku tidak akan merestui kalian, Nyet. Bukan masalah kamu jelek atau apa. Tapi masalahnya kalau kamu punya masalah sama adikku."

"Kan nanti aku selesaikan sendiri sama adikmu."

"Itu keegoisan aku, Nyet. Aku tidak akan pernah membiarkan adikku menyelesaikan masalahnya sendiri. Aku sayang banget sama adikku. Dan rasa sayangku itu yang buatku selalu ikut campur dalam masalah dia. Yang berarti kalau kamu punya masalah sama Jingga, bukan cuma Jingga yang kamu hadapi, Nyet. Aku juga bakalan berhadapan sama kamu. Dan saat itu terjadi, aku akan bikin kamu menyesal karena pernah menyakiti Jingga, tanpa peduli kamu sahabatku atau bukan."

"Ya terus bagaimana? Masa aku tiba-tiba aku pergi terus pacaran sama perempuan lain. Nanti adikmu sakit hati."

"Tidak. Biar aku yang mengurusnya. Yang penting sekarang kamu putus sama adikku."

"Tapi, Nyet."

"Ansel! Aku bilang tidak ya tidak. Kamu tuh sahabatku bukan, sih! Harusnya kamu tuh ngertiin aku! Aku sudah bilang berkali-kali, jangan libatkan Jingga dalam persahabatan kita. Aku tidak mau cuma gara-gara masalahmu sama Jingga, persahabatan kita hancur. Kamu tuh kemarin lihat sendiri, aku mukulin orang yang bicarain tentang adikku. Dan sekarang dengan bodohnya, kamu ngomong kamu pacaran sama adikku di depan mata kepalaku sendiri."

Di satu sisi lain, semua teman-teman Dalfon sedang bersiap-siap menyalakan lilin yang sudah tertancap di tengah-tengah kue ulang tahun. Di antara kerumunan itu, ada dua orang yang sedang duduk bersandar di tembok warung. Kedua orang itu adalah Aditya dan Jingga. Sahabat Dalfon dan adik Dalfon.

"Kamu dengar, 'kan? Dalfon itu sangat sayang sama kamu. Jadi jangan pernah percaya kalau ada yang bilang Dalfon tidak sayang sama kamu," ucap Adit sambil menatap Jingga.

Jingga hanya diam. Dengan sebuah air mata yang sudah mulai menetes di pipinya, ia berusaha untuk tetap tersenyum. Tentu saja ia percaya bahwa Dalfon sangat menyayangi. Tetapi karena tadi ada orang yang mengatakan bahwa Dalfon membenci, ia meminta Ansel untuk melakukan kebohongan itu, untuk menguji apakah Dalfon benar-benar menyayangi atau tidak. Dan hasilnya di luar ekspektasinya. Dalfon sangat menyayangi Jingga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status