Mag-log inDelapan Tahun Kemudian.
Sorot mata tajam dengan wajah datar tanpa ekspresi menatap seorang wanita. Wanita yang umurnya sekitar 55 tahun itu tampak terlihat takut pada sosok pria dengan potongan rambut sedikit gondrong. Pria itu menundukkan kepalanya dan menatap deretan roti yang ada di depannya. Dia berdiri di sana sudah lama, kurang lebih 15 menitan. Entah apa yang dicari pria itu. Padahal di sana banyak pilihan cemilan. Pria tampan itu bernama Alex. Dia tidak memperlihatkan ekspresi ramahnya, hanya sesekali melirik wanita si pemilik toko. "Jika kau tidak ingin membeli daganganku. Silakan kau pergi dari tokoku. Kau membuat pelanggan ku ketakutan dan tidak ada yang berani datang kemari," keluh wanita itu. Alex mengangkat kepalanya dan menatap wanita tersebut, lalu Alex kembali menundukkan kepalanya. "Aku beli dan membayarnya!" Alex mengangkat sebuah roti berbentuk panjang, lalu dia meninggalkan beberapa lembar uang di atas meja. Saat Alex berlalu dari sana, ada dua orang pemuda yang datang ke toko itu lalu mengobrak-abrik dagangan yang ada di sana. Si pemilik toko ketakutan dan menjerit histeris. Alex menghentikan langkahnya dan segera membalikkan badannya. Pria itu memperhatikan dua pemuda yang sedang melancarkan aksinya. "Kau lihat apa, huh!" teriak pemuda itu sambil mengacungkan senjata tajam yang dia genggam pada Alex. "Pergi dari sini sebelum aku congkel kedua matamu!" lanjutnya membentak Alex. Sedikit pun Alex tidak bergeming. Justru dia terlihat santai dan tenang. Melihat Alex tidak takut, pemuda itu menjadi geram. "Hei, kau lihat pria tolol yang berdiri di sana itu?" Rekan si pemuda itu yang masih merampas uang di dalam toko. Dia berhasil merampas sekantung uang dan menghampiri rekannya. Kedua pemuda itu saling pandang, lalu kembali menatap Alex dari ujung rambut sampai ujung kaki. Setelah keduanya saling memberi isyarat, mereka berdua melangkah cepat ke arah Alex untuk menyerang. Tanpa diduga-duga oleh dua pemuda itu, Alex mampu menangkis serangan mereka dan membuat keduanya tergeletak di jalan sambil merintih kesakitan serta memohon-mohon. Alex meraih kantung yang berisi uang dan mengembalikannya pada si wanita pemilik toko. Sebelumya si wanita itu ketakutan, tapi saat Alex menyodorkan sebuah kantung, wanita itu lalu mengucapkan terima kasih. "Tunggu, tuan." Wanita itu memanggil Alex saat melihat barang belanjaannya tercecer di jalan termasuk roti yang tadi dibeli di toko. "Ini sebagai ganti roti tuan yang jatuh berserakan," lanjut wanita itu sambil memasukkan beberapa roti yang masih aman di atas meja. Alex hanya diam sambil terus memperhatikan wanita setengah baya yang sedang sibuk memasukkan beberapa item tambahan. Wanita itu berjalan mendekati Alex tanpa ada rasa takut lagi. "Dan ini sebagai ucapan terima kasih karena tuan telah membantuku." Alex diam menatap kantung yang disodorkan padanya, lalu tatapannya beralih pada wanita tua itu. Kepala wanita itu mengangguk. Alex pun menerimanya, lalu bergegas pergi dari sana karena tidak ingin masalah yang baru terjadi itu berbuntut panjang. Namun, sebelum pergi Alex sempat menyodorkan beberapa lembar uang kertas pada wanita tersebut, akan tetapi wanita itu menolaknya. Selang beberapa menit Alex berlalu dari sana, beberapa polisi datang ke TKP dan membawa dua pemuda itu pastinya. Polisi-polisi itu sempat heran dengan dua pelaku itu. Tangan kiri kedua pelaku itu patah, tetapi tangan itu sudah dililit sebuah boneka untuk menyangga dan terdapat pesan tulisan di sana. Sementara itu Alex sudah sampai di rusun tempat tinggalnya dan ternyata di sana sudah ada dua orang yang menunggu Alex. Mereka ingin menggadaikan barang yang mereka bawa pada Alex. "Tuan, aku ingin menggadaikan barang ini," ujarnya sambil menyodorkan sesuatu. Alex melirik benda itu, lalu dia merogoh sesuatu di dalam sakunya untuk membuka pintu. Alex segera masuk ke dalam toko gadainya yang memang tidak begitu lebar mengingat itu adalah rumah susun yang berukuran tidak terlalu luas. Lantas Alex duduk di depan sebuah kaca yang tepat di depannya terdapat sebuah lubang untuk komunikasi antara Alex dan pelanggannya. "Aku periksa dulu. Apakah layak untuk digadaikan atau tidak," tukas Alex. Orang itu mengulurkan sebuah handycam yang sudah lumayan jelek. Pria tampan itu memeriksa dengan teliti sebelum mengembalikan benda itu pada sang pemilik. "Maaf, barang ini tidak bisa digadaikan. Aku tidak ingin rugi karena benda itu sudah rusak," tegas Alex. "Tapi tuan———" "Selanjutnya!" potong Alex. Satu orang lagi melangkah maju dan sedikit mengusir si pemilik handycam itu. "Pulanglah. Barangmu itu sudah tidak laku digadaikan, apalagi dijual," ejeknya. "Tuan, ini barangku." Pria itu mengeluarkan sebuah ponsel buntut. Alex tidak menerima uluran ponsel tersebut. Dia hanya menatap orang yang membawa ponsel itu. "Simpan saja. Barangmu itu juga tidak layak digadaikan apalagi dijual." Alex membalikkan omongan pria tersebut. Si pemilik ponsel buntut itu mengumpat habis-habisan. Dia tidak terima dengan perkataan Alex. BRAAKK!! Alex menggebrak mejanya dan berdiri dengan tatapan sengit. Dia menatap dua orang itu dengan tatapan datar, dingin, dan menakutkan. Tanpa sepatah kata apapun, dua orang itu segera mengambil langkah seribu. Alex kembali duduk dan menatap sebuah cermin bulat kecil yang berdiri di antara tanaman hias kaktus mini kecil di atas meja. Alex menarik napas panjang saat menatap wajahnya sendiri. Terlalu aneh baginya, tapi itulah diri Alex yang sekarang. Alex meraih jaket tebalnya, mendadak dia ingat sesuatu. Lantas dia berniat untuk keluar lagi. Namun, saat Alex sudah mencapai bibir pintu. Dia menghentikan langkahnya dan buru-buru balik kanan untuk menghindar. "Hei, tuan. Tunggu!"Yura membaca kertas yang disodorkan oleh Ronald. Pria itu menyuruh Yura untuk membacanya dengan detail. Ronald tidak ingin ada kesalahpahaman atau hal yang buruk terjadi."Aku tidak ada maksud buruk denganmu atau mungkin kau berpikir aku akan mengubah isi surat itu setelah kau tanda tangani." Ronald meyakinkan Yura yang tampak masih ragu.Ada rasa takut saat Yura ingin menatap Ronald. Yura sangat tahu betul siapa Ronald. Ronald dan Benigno memang tidak jauh beda. Mereka berdua sama-sama berkecimpung di dunia hitam."Yura——namamu, bukan?" tanya Ronald dan dijawab anggukan kepala dari Yura. "Aku sudah tahu keadaanmu. Kau punya seorang anak yang masih butuh biaya banyak. Rumah yang masih mengontrak, tidak punya suami, dan terkadang susah untuk makan." Ronald menatap Yura dan Yura membalas tatapan Ronald. Yura mengangguk. Ronald mengembuskan napas dan menyandar ke head board. 'Jadi semua informasi yang dicari Pablo benar, lalu apa hubungan wanita ini dengan Peter? Apa mereka berdua sep
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30 siang. Hanya ada sisa waktu satu jam tiga puluh menit. Padahal jarak tempuh dari apartemen Peter ke rumah Yura kurang lebih sekitar 45 menit. Belum lagi waktu yang ditempuh untuk sampai ke klub malam.Akhirnya Peter meminta pada Yura untuk datang ke apartemennya, jadi pria itu masih punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri.Beruntung Yura wanita penurut. Wanita itupun sanggup untuk datang ke apartemen Peter siang itu juga. Entah kenapa Yura begitu patuh dan nurut pada Peter atau karena Yura terlalu cinta pada Peter sehingga wanita itu rela melakukan apapun yang diperintahkan oleh Peter.Jawabannya ada pada si Author hehe ....Setelah mengiyakan panggilan dari Peter, Yura langsung mempersiapkan diri untuk segera menyusul ke apartemen Peter.Tidak butuh waktu lama Yura sampai di apartemen, karena untungnya siang itu tidak terlalu macet.Sesampainya di apartemen, Peter pun sudah siap dan dia pu
Jantung Brandon berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Apakah kesempatan dia hidup hanya sampai hari itu? Brandon berpikir jika Ronald akan akan membunuhnya. "Apa maumu?" tanya Brandon. "Mauku ... hmm, soal klub malamku yang kau porak porandakan itu." Diam menatap Brandon. "Ah, sud———" "Jadi kau ingin menuntutku?" potong Brandon. Ronald memalingkan wajahnya untuk menatap Brandon. Alis sebelah kiri terangkat. "Aku tidak akan menuntutmu, tapi aku akan menawarimu sebuah pekerjaan," balas Ronald. Kini giliran Brandon yang alisnya menukik tajam. Menatap tajam dengan tatapan seolah pria itu tengah mempermainkannya. Brandon tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. "Benar-benar aneh!" cicitnya. "Aku akan melepaskanmu jika kau menerima tawaran ku. Tentunya kau juga butuh uang untuk hidup. Sedangkan kau sudah tidak punya pekerjaan lagi," papar Ronald. Brandon kembali diam. Kepalanya menunduk. Dalam hatinya dia berkicau dan memaki. 'Persetan dengan gengsi. Aku
Brandon masih merasa asing dengan suara tersebut. Pria itu masih bertanya-tanya siapa dia? Bahkan tidak bisa dipungkiri jika hati Brandon juga tengah berdebar-debar. Ada rasa takut? Pastinya iya karena dia merasa jika dirinya sudah dikepung. Brandon terus menggerakkan kedua tangannya yang terikat dan sepertinya rasa perih sudah menjalar ke lengan atasnya.'Siap sekali aku ini, huh! Kenapa tali ini susah sekali untuk dibuka?' keluhnya dalam hati.Antara pasrah dan ikhlas jika memang hidupnya harus sampai di hari itu saja. Brandon tidak bisa berteriak dan dalam keadaan terikat. Tenaganya sudah terkuras habis hanya untuk berteriak dan bergerak berusaha melepaskan diri, akan tetapi nihil. Hal itu tidak mungkin terjadi.Brandon masih memasang telinganya dengan tajam. Pria itu masih penasaran di mana dia berada dan siapa mereka. Jika terbukti mereka adalah orang suruhan Alex, maka Brandon akan membuat perhitungan dengan pria itu."Tuan, kami sudah membawanya ke sini," ujar Pablo."Hm, jadi
Peter membawa Yura ke sebuah klub malam guna menawarkan sebuah pekerjaan. Sebenarnya bukan Peter yang menawarkan pekerjaan, tapi bos-nya Peter.Yura sendiri memang sedang membutuhkan pekerjaan karena bagaimana pun juga ketika wanita itu sedang nge-fly, dia butuh serbuk putih yang banyak. Maka dari itu tentunya dia pun butuh uang banyak.Wanita itu mengikuti saja kemauan kekasihnya. Peter pun tidak bisa terus menerus memberi Yura serbuk putih gratis, karena Peter pun mendapatkannya dengan uang juga alias membelinya."Kau yakin menyuruhku kerja di sini?" Yura menatap Peter."Terus kau ingin bagaimana? Tidak mungkin aku terus memberimu secara gratis," ucap Peter ketus.Memang sangat menyakitkan, tapi Yura pun paham akan hal itu. Wanita itu tidak mungkin harus terus bergantung pada Peter. Mengingat Yura punya rasa trauma pada sosok ayah dari Zea. Seorang pria brengsek yang tidak mau bertanggung jawab. Pria bodoh yang begitu saja menghilang bak ditelan bumi."Bagaimana?" Peter menyakinkan.
Zea melangkah naik ke atas sambil tersenyum. Senyum yang begitu bahagia dan lega ketika melihat seseorang yang baru saja sampai. "Paman pulang." Berlari menghampiri Alex. "Paman tahu kalau aku punya keyakinan paman akan pulang hari ini." Alex tidak menjawab Zea. Pria itu terus melangkah naik ke lantai dua diikuti oleh Zea. Alex menghentikan langkahnya saat melihat sesuatu. Ya, sebuah kantung berisi susu dan sandwich. Alis Alex berkerut saat mendapatkan bungkusan yang lainnya tergeletak di sudut dinding. Zea muncul dari belakang Alex dan kepalanya terangkat menatap pria itu. Kini tatapan Zea beralih ke bekas bungkus sampah botol susu dan plastik bungkus sandwich. "Maaf, paman." Zea menatap Alex dengan mimik wajah takut, lalu menundukkan kepalanya. "Aku tidak mencurinya. Aku hanya membantu memakannya agar tidak basi dan aku sudah meminta izin pada paman," lanjutnya menjelaskan. Alex menoleh menatap Zea. Bocah itu mundur satu langkah. Bahkan Zea mendengar embusan napas kasar dari







