Tuan Husen lalu beranjak dari meja kerjanya mendekati Radit yang tengah berdiri mematung di depan mejanya."Apakah itu sapaan yang bagus untuk perjumpaan awal kita? Sepertinya kau sangat membenciku," lirih Tuan Husen.Radit menyipitkan matanya. Lalu tersenyum tipis. "Aku hanya tidak bisa berbasa-basi untuk berpura-pura baik. Aku sama sekali merasa asing kepada Anda, Pak Direktur.""Ayolah, di ruangan ini hanya ada kamu dan saya saja. Ya, memang ini terasa canggung. Setelah puluhan tahun kita tidak pernah bertemu. Bukankah ini waktunya kita saling melakukan pendekatan?"Radit tertawa sinis. Ia menggaruk ujung pelipisnya. "Lebih tepatnya dari aku dilahirkan sampai sebesar sekarang, kau tidak pernah mencariku.""Hahaha! Bagaimana aku bisa mencarimu. Tahu engkau ada di muka bumi ini saja, tidak. Semua itu salah ibumu yang merahasiakan semuanya dan melarikan diri dariku," ucap Tuan Husen memojokkan ibunya Radit."Ck. Aku pikir setelah bertemu dan berbicara dengan Anda nantinya aku akan ber
Radit hari ini pulang lebih cepat dari kemarin karena sudah tidak ada lagi yang berani mengerjainya seperti Tuan David. Kali ini Radit mampir ke sebuah kafe andalan Lucy untuk membelikan oleh-oleh cake dan ice cream kepada istrinya. Entah mengapa Radit menjadi kepikiran tentang bagaimana bosannya hidup Lucy yang harus menghabiskan waktunya hanya di rumah saja dan meninggalkan aktifitas yang biasa Lucy lakukan.Dan betul saja, sesampainya ia di rumah sewaannya. Ia menemukan sang istri tengah asyik menggambar sebuah desain baju. "Eh, kamu udah pulang, Dit!" buru-buru Lucy menyembunyikan kertas dan pensil di balik laci saat melihat Radit masuk ke kamar tidur mereka.Radit duduk di tepi ranjang sambil menatap Lucy dengan lekat. "Kamu nggak perlu menyembunyikannya. Aku sudah lihat," ucapnya.Lucy menunduk sebentar. Ia menyembunyikan wajah sendunya. Lalu beberapa detik kemudian mengangkat kembali wajahnya. "Aku nggak apa-apa kok. Lagi pula, sudah selesai juga. Kamu pasti capek. Kamu mau ma
Radit sedikit panik mendengar ibunya bereaksi dengan nada yang cukup tinggi. Ia takut Lucu mendengarnya. "Bu ... Sssssttt!" Radit yang berdiri dari kursinya mencoba menutupi mulut ibunya."Lepaskan! Apa-apaan kamu, Dit!" "Bu, tolong pelankan suara ibu. Lucy bisa mendengarnya," pinta Radit.Nyonya Yessi mengangguk setuju. Radit pun melepaskan tangannya dari mulut ibunya."Aku yang menantangnya tes DNA sebab dia meragukanku," lanjut Radit menjelaskan.Nyonya Yessi memanglingkan wajahnya. "Jangan bicara lagi! Hati ibu terlalu sakit untuk pria itu. Ibu sudah mengatakan kepadamu untuk tidak kembali ke keluarga busuk itu, tapi kamu justru tak mendengarnya. Ini hanya akan menyakitimu, Dit!""Aku melakukan ini semua justru untuk membalaskan rasa sakit yang selama ini kita rasakan, Bu. Aku akan merebut semua yang menjadi hakku. Aku akan membuat ayah bertekuk lutut meminta maaf di hadapanku nanti!" sumpah Radit.Nyonya Yessi tak berkomentar lagi. Ia tidak mau berdebat dengan putranya yang sed
Posisi Nona Keyla tak nyaman. Ia berada di tengah keluarga konglomerat yang sedang menegang. "Bu Keyla, bagaimana dengan kinerja Pak Radit? Dia juga mahasiswa magang di perusahaan ini kan?""Benar, Pak. Selama beberapa hari ini Pak Radit cukup bekerja keras dan banyak belajar," lapor Nona Keyla."Bagus. Semoga kamu juga bisa mengikuti jejak Pak Radit yang lebih dulu magang di sini. Dengar-dengar kalian juga satu universitas. Dia termasuk mahasiswa berprestasi," ucap Tuan Mandala.Harris merasa panas mendengar kakeknya memuji musuh bebuyutannya di kampus. "Ya, aku pernah mendengar namanya. Tapi, mungkin dia tidak seterkenal itu. Aku bahkan lupa," sahut Harris dengan wajah angkuhnya."Oh ya, Kek. Aku dengar perusahaan kita akan melakukan penggalangan dana sekaligus meluncurkan nama brand baru di dunia fashion. Apakah sudah ada calon model yang akan mengisi?" tanya Harris mengalihkan obrolan."Entahlah, mungkin kita akan menggunakan model yang biasa menjalin kontrak kerjasama dengan kit
Nyonya Winey mendengar teriakan sang suami. Ia lantas menarik selimut dan berpaling memunggungi Lucy yang masuk menemuinya di kamar. "Bu, lihat! Ini Lucy menengok. Dia bahkan membawa oleh-oleh untukmu. Kau membawa rantang, apakah kamu yang memasaknya, Nak?" ujar Tuan Rudy.Lucy menggeleng pelan. "Saat tahu ibu sakit, ibu mertuaku langsung memasakkan bubur dan sop untuk aku berikan ke ayah dan ibu. Beliau tidak bisa datang karena ada pekerjaan.""Pekerjaan?" Kening Tuan Rudy berkerut."Ya, ibunya Radit membuka jasa menerima jahitan baju di rumah sewaan kami. Beliau sangat hebat. Di usia senja, beliau memilih untuk mencari aktifitas yang bisa menghasilkan uang," jawab Lucy tanpa sengaja memuji sang ibu mertua.Tak senang hati, putrinya memuji ibu dari orang lain. Nyonya Winey memaksakan tubuhnya yang lemah itu untuk bangun. Semula ia tidak ingin bertemu putrinya, mendadak langsung menatap sinis saat berhadapan dengan Lucy.Nyonya Winey dengan kasar menepis rantang yang ditaruh Tuan Rud
Tuan Rudy dan Radit kembali bersama-sama. Meski begitu keduanya masih terlihat tidak akur. "Ah, kalian kembali bersama. Apakah kalian habis mengobrol di luar?" tebak Lucy."Ooo ... tidak. Ayah habis mengurus biaya rumah sakit ibu kamu di bagian administrasi. Kami bertemu di luar dan masuk bersama," sahut Tuan Rudy gugup."Ya, aku tadi hanya berkeliling mencari udara segar kemudian bertemu dengan ayah mertua di depan lalu kami masuk bersama," timpal Radit ikut-ikutan berbohong."Sayang, bagaimana dengan tagihan rumah sakit tadi? Semua aman?" tanya Nyonya Winey.Tuan Rudy tak langsung menjawabnya. Ia melirik ke arah Radit seperkian detik lalu kembali menatap istrinya lagi. "Tentu saja semua aman. Kamu sudah boleh pulang."Nyonya Winey menganggukkan kepalanya. Wajahnya mendadak sendu. Lucy yang melihat langsung mendekati ibunya."Ada apa, Bu?"Nyonya Winey menghela napas beratnya. "Tidak apa-apa. Ibu hanya memikirkan kalau ibu harus kembali ke rumah gubuk."Lucy memegang punggung tangan
Baru saja Tuan Rudy keluar dari kamarnya. Nyonya Winey membuka matanya perlahan. Rupanya ia dari tadi hanya berpura-pura tidur. Ia sengaja menunggu keadaan aman, lalu segera bangun dan menuju keranjang sampah lalu memungut kertas yang sudah lecek akibat tindakan sang suami."Untung saja tidak dirobek atau dibakar. Aku penasaran apa ini?" Mata Nyonya Winey bergerak-gerak, mulutnya berkomat-kamit membaca setiap huruf yang ada di sana. Matanya langsung terbelalak kaget."Astaga! Apakah ini surat wasiat yang asli? Sialan! Bella dan Shopia sudah memanipulasi semuanya. Mereka sungguh licik. Tapi, kenapa Rudy justru membuangnya? Ku rasa suamiku sudah hilang akal. Dia terlalu sayang kepada kedua adik-adiknya yang serakah itu. Aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi!" ucap Nyonya Winey. Wanita itu buru-buru menyimpan kertas lecek itu kembali ke dalam tumpukan bajunya di lemari pakaian. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. Nyonya Winey langsung pergi
Radit diam seribu bahasa tak lagi menentang ucapan sang ibu untuk membela dirinya. Ia tahu dirinya tidak salah, tapi jika dirinya menuruti ego dan melawan sang ibu, itu tentu lebih tidak baik baginya."Ibu melahirkanmu ke dunia bukan untuk melihat kamu berlaku kasar dan menyakiti perempuan lain selain ibu. Sekalipun Nyonya Winey salah, dia tetap ibu mertuamu. Hormati dia!" kecam Nyonya Yessi lalu bergegas meninggalkan Radit seorang diri di ruang makan. Rahang Radit mengeras. Hatinya mendidih sehingga dadanya terasa panas. Niat hati ingin membela ibunya sendiri, justru sang ibu murka kepadanya. Radit harus mengalah.Radit akhirnya berdiri meninggalkan meja makan untuk pergi menyusul orang-orang yang panik dengan keadaan Nyonya Winey.Baru ingin pergi beranjak, Lucy muncul."Lucy ....""Aku tahu ibuku selalu berbicara omong kosong. Tapi, mengusirnya dari sini sama saja kamu juga mengusirku," ucap Lucy dingin. Matanya merah, berkaca-kaca."Aku tidak bermaksud begitu. Aku minta maaf." R