Aula utama Keluarga Winaya.Suasana terasa seperti sebuah padang sebuah makam kuno dalam gua.Langit-langit yang tinggi menelan semua suara, pilar-pilar marmer hitam menjulang seperti tulang belulang raksasa, dan obor di dinding berkedip-kedip, membuat bayangan menari gelisah. Udara terasa dingin dan pengap, sarat dengan keheningan yang menekan.Di tengah-tengah kebekuan itu, dua sosok bersujud—bukan sekadar berlutut—di lantai pualam yang dingin. Pakaian mereka yang dulu megah kini compang-camping dan kotor. Di hadapan mereka, di atas singgasana kayu yang diukir rumit, duduklah Lucas Winaya. Wajahnya bak topeng granit, tetapi matanya yang tajam tampak kosong, menatap kejauhan."Ulangi lagi," perintah Lucas. Suaranya tenang, namun ketenangan itu justru yang membuat putranya yang berdiri di sebelahnya, merinding. "Kalian yakin... yang kalian lihat adalah Nathan?""Kami bersumpah atas nyawa kami, Kepala Keluarga," sahut salah satu pria itu, suaranya serak karena dehidrasi dan ketakutan.
"Kalian tuli?" Aura pembunuh yang selama ini ia tahan akhirnya meledak. "Aku bilang..."Seluruh suara di lorong itu lenyap. Lampu jalan yang berkedip akhirnya padam, menelan mereka dalam kegelapan sesaat."Lepaskan!"Bagaikan gemuruh petir yang mengguncang jiwa. Gelombang tekanan tak kasat mata menghantam kedua pria itu, merampas udara dari paru-paru mereka dan membuat tulang-tulang mereka bergetar. Mata mereka kabur. Dunia mereka terbalik.Bruk!Mereka jatuh berlutut, cengkeraman mereka terlepas sepenuhnya. Para gadis, yang terbebas, terhuyung-huyung sejenak sebelum berlari tunggang-langgang ke belakang Nathan, mencari perlindungan di balik punggung yang terasa seperti dinding pertahanan paling kokoh di alam semesta."Ampun... Ampunkan kami!" salah satu pria itu merintih, wajahnya pucat pasi, menempel di aspal yang kotor. "Kami... kami hanya menjalankan perintah dari Tuan Besar!"Harga diri? Kehormatan seorang penguasa? Semua itu hancur lebur di hadapan entitas yang berdiri di depan
“Berhenti disitu.”Saat itulah, di ujung jalan yang remang-remang, langkah mereka terhenti.Sesosok pria berdiri di sana. Diam. Membelakangi mereka. Dia tidak melakukan apa-apa, tetapi kehadirannya mengubah atmosfer di sekitarnya. Udara terasa berat, seolah malam itu sendiri menahan napas."Menyingkir!" bentak salah satu prajurit Winaya. "Ini urusan Keluarga Winaya!"Sosok itu tidak bergerak. Lalu, sebuah suara terdengar, tenang namun membawa gema kekuatan yang membuat bulu kuduk meremang."Lepaskan mereka."Perlahan, pria itu berbalik. Cahaya lampu gas yang berkelip-kelip menyinari wajahnya. Garis rahang yang kokoh, tatapan mata yang seolah bisa melihat menembus jiwa, dan bekas luka tipis yang familier di pipinya.Napas Sienna tercekat. Mata Rebecca membelalak, air mata mulai menggenang. Beverly, yang selalu tenang dan dingin, ternganga untuk pertama kalinya. Sebuah nama terucap dari bibir Rebecca, bukan sebagai kata, tetapi sebagai doa yang telah lama hilang."N-Nathan?"Harapan, ya
"Setelah dua wanita itu tertangkap... ingat sisakan satu untukku, bocah. Sudah lama sekali aku tidak... bermain."Suara itu tua, serak, dan kering seperti pasir yang digerus. Jantung Kaidar serasa berhenti berdetak. Ia tersentak, matanya tanpa sadar melirik ke arah ayahnya. Lucas masih terlarut dalam amarahnya, tidak menyadari apa pun.Kaidar menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan getaran di tangannya. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Nathan yang bangkit dari kematian terasa seperti ancaman yang jauh. Tetapi suara di dalam kepalanya ini... ini adalah monster yang tidur di dalam rumahnya sendiri. Dan Kaidar tahu, ia jauh lebih takut pada monster ini.***Malam di Kota Moniyan merayap turun bukan sebagai selimut, melainkan sebagai kain kafan. Kabut tipis dan dingin bergulung-gulung dari selokan, menelan suara dan mengaburkan pandangan. Di Lorong Besi Karat, sebuah celah sempit yang berbau karat dan genangan air, keheningan terasa begitu pekat hingga nyaris memiliki bobot.T
Milan masih membuka mulutnya, ingin memohon agar Nathan berpikir ulang, agar menggunakan strategi lain. Namun, sebuah tangan yang berat mendarat di bahunya. Itu adalah tangan Ryujin. Milan menoleh dan melihat tatapan tuannya yang menyiratkan satu hal, ini sudah di luar nalar dan logika. Ini adalah takdir yang sedang bergerak."Biarkan dia, Milan," kata Ryujin, suaranya tenang namun final. "Karena Nathan ingin menantang mereka, maka kita akan memberinya panggung." Ia menoleh ke arah Milan, perintahnya jelas. "Siapkan surat tantangan resmi dengan stempel Kepolisian. Umumkan di Papan Martial Shrine."Lalu, Ryujin menambahkan dengan penekanan yang tajam. "Dan tambahkan titah dariku. Selama duel antara Nathan dan Keluarga Winaya berlangsung, seluruh keluarga dan organisasi bela diri lain di Moniyan dilarang ikut campur. Siapa pun yang berani mengambil keuntungan saat harimau sedang bertarung, jangan salahkan aku jika cakarku merobek tenggorokan mereka!"Ryujin sedang membangun sangkar peli
Di sana, bersandar santai di kusen pintu, berdiri sesosok pria. Hujan menempel di mantel panjangnya yang gelap, dan rambutnya sedikit basah. Wajahnya adalah wajah yang mereka kenal, namun sekaligus berbeda. Ada ketajaman baru di garis rahang dan matanya. Matanya tidak lagi membawa bara semangat yang berapi-api, melainkan kilau dingin dari jurang yang dalam.Milan terlonjak dari kursinya, wajahnya pucat pasi penuh ketidakpercayaan. Kata-kata tersangkut di tenggorokannya. "T-Tuan Nathan? K-kau... bagaimana bisa?" Ia tergagap, pikirannya kacau balau antara foto mayat yang hancur dan sosok tegap yang berdiri di hadapannya.Nathan tersenyum tipis, sebuah senyuman yang tidak sepenuhnya mencapai matanya. "Seperti yang dikatakan Tuan Ryujin. Aku tidak mati semudah itu." Ia melangkah masuk ke dalam ruangan, gerakannya santai namun penuh kuasa. Ia menangkupkan tangannya ke arah Ryujin sebagai tanda hormat. "Tuan Ryujin."Tawa keras dan lega meledak dari Ryujin. Ia bangkit, senyum lebar terukir