"Permainan yang menarik bukan? Semua tersembunyi di balik sebuah topeng kebohongan."
***
Nahla tersenyum tipis menatap gadis kecil di hadapannya saat ini. "Kak Nahla," ujarnya membuat Nahla menggeleng kecil.
Anin, gadis kecil itu hanya diam sambil menunduk tidak mau beranjak dari tempatnya sekarang. "Anin."
"Anin takut," cicit gadis itu sambil menggeleng.
"Ada Kakak," ujar Nahla. Anin mendongkakan kepalanya menatap Nahla.
"Janji," ujar Anin sambil mengacungkan jari kelingkingnya ke hadapan Nahla.
Nahla mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya sebagai janji di jari mungil Anin.
Mereka segera masuk ke dalam rumah, Anin masih takut-takut dan memegang erat tangan Nahla.
"Assalamualaikum," salam Nahla menghampiri wanita paruh baya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga sendirian.
"Waalaikumsalam." Wanita itu menoleh menatap Nahla dan Anin.
Wanita itu cukup lama menatap Anin hingga gadis kecil itu semakin takut dan bersembunyi di belakang tubuh Nahla.
"Ngapain kamu ke sini!" ujarnya mengalihkan pandangan dan memilih menonton televisi kembali.
"Mah, Anin tinggal di sini," pinta Nahla membuat wanita yang dipanggil Mama itu menghela napas gusar.
"Terserah," ujarnya tanpa menoleh.
Nahla tersenyum tipis saraya mengangguk kecil. "Tapi ...." lanjut wanita tersebut membuat senyum di bibir Nahla pudar.
"Tau batasannya," ujarnya. Nahla menghela napas lelah.
"Mah, dia ...."
"Dia sebuah kesalahan," papar wanita tersebut menatap datar Anin yang bersembunyi di balik badan Nahla.
"Kak," cicit Anin semakin takut.
"Kamu tetap Adik, Kakak," ucap Nahla melirik ibunya.
"Nahla ke atas," pamitnya langsung membawa Anin ke kamarnya di lantai dua.
Setelah pintu kamar tertutup rapat, ia smenyuruh Anin segera tidur karena gadis kecil itu nampak kelelahan.
"Anin tidur langsung ya," suruhnya membuat gadis kecil itu menatap Nahla dengan mata yang dikedip-kedipkan.
"Janji," ujarnya mengacungkan kembali jari kelingkingnya kepada Nahla.
"Janji," jawab Nahla mengerti apa yang dikatan Anin.
"Makasi Kak," ujar Anin bersamaan dengan matanya tertutup. Nahla hanya mengangguk singkat, sekarang ia merasa tertekan. Entah karena dirinya sendiri atau bisa jadi karena gadis kecil ini.
"Selamat tidur, kamu bukan kesalahan hadir di sini," gumam Nahla mengusap rambut Anin.
Nahla, Nahla kadang ia merasa jengah sekali berada diposisi seperti ini. Kebahagiannya sekarang hanya semata untuk kebahagian orang lain. Jangan ditanyakan capek, sudah pasti itu yang ia rasakan saat ini.
"Anin nggak salah," lirih Anin mengigau saat tidur. Nahla terdiam menatap Anin yang terlalap dengan keringat di keningnya.
"Anin ...." Isakan kecil lolos dari mulutnya.
"An ...." Suara Nahla tercekek, kasian kepada gadis tersebut.
Tok! Tok! Tok!
Nahla menoleh ke pintu yang perlahan terbuka.
"Nahla," panggil pria paruh baya yang barusan masuk ke dalam kamarnya.
Nahla diam menatap pria tersebut. "Maaf," ujarnya mendekat.
"Maaf?" tanya Nahla tersenyum miring.
"Maaf, karena ...."
"Minta maaflah ke dia," ucap Nahla menyela perkataan pria tersebut.
"Dia bukan kesalahan, tapi andalah yang masalahnya." Nahla melirik Anin yang kembali tidur lelap.
Pria itu hanya diam mematung tak jauh dari ranjang Nahla. Dia menatap putrinya dalam diam, semua memang salahnya, ya memang benar karena kebejatannya keluarganya hancur.
"Maaf," gumamnya sekali lagi.
"Hanya maaf yang dapat Ayah katakan sekarang," lanjutnya menyeka sudut matanya.
"Ayah, mau berangkat ke laur kota. Jaga adikmu," ujarnya sekalian pamit.
"Ya," jawab Nahla tersenyum miring. Lagi dan lagi, sudahlah.
Sebelum pria itu keluar dari kamar, dia menyempatkan diri untuk membelai ramput gadis yang tengah tertidur itu.
"Maafin Ayah," gumamnya.
"Ayah, pamit," lanjutnya sekalian berpamitan dengan Nahla.
"Jangan ulangi kesalahan yang sama, jika tidak ingin hancur untuk kesekian kalinya," pesan Nahla saat orang yang dipanggil Ayah itu mau menutup pintu kamar.
Pria tersebut tergegun mendengar perkataan putrinya, lalu mengangguk singkat sebelum benar-benar menutup rapat pintu kamar.
"Makasi," gumam Nahla merebahkan dirinya di sebelah Anin. Ia melirik gadis lima tahun yang ada di sampingnya saat ini.
"Kenapa harus kamu," gumam Nahla menghela napas.
"Oke, La. Stop pikirkan," lanjutnya tapi hatinya menolak untuk bersikap bodo amat.
"Nahla," gumamnya lagi. Nahla tersenyum manis menatap langit-langit kamarnya.
"Oke-oke, stop!" Ia memilih membukus seluruh badannya dengan selimut dan menyusul Anin ke alam kapuk.
Setengah jam terperangkap panas di dalam selimut kembali membuat Nahla membuka matanya dan sekarang sudah menunjukan pukul 22.45 malam.
"Nahla mikirin apa sih," dengkusnya bengkit. Ia melirik Anin yang masih tertidur pulas.
Karena kebetulan botol minumnya kosong, Nahla memilih beranjak pergi ke dapur mengisi ulang botol tersebut.
Saat menuruni anak tangga ia berpapasan dengan mamanya. "Mama belum tidur?" tanya Nahla mrmbuat wanita tersebut menggeleng. Terlihat wajah merah dan mata sembab karena usai menangis.
Ilen, wanita tersebut benama Ilen. Dia menatap Nahla. "Oh, aku mau ngisi botol minum. Habis," ujar Nahla memperlihatkan botol kosong tersebut.
Ilen mengangguk singkat dan memilih melanjutkan naik ke atas menuju ke kamarnya. "He'um, lagi bad mood kali," gumam Nahla walau itu tidak benar menatap punggung mamanya yang mulai tidak kelihatan.
"Non, belum tidur?" tanya Bi In dari bawah mengangetkan Nahla yang masih berada di anakan tangga.
"Eh, Bibi. Ngagetin aja," dengkus Nahla memuat orang yang panggil Bibi tersebut terkekeh.
"Maaf Non," ujarnya tersenyum canggung.
Nahla mengangguk singkat dan mengahampiri Bi In di bawah. "Nahlah mau ngisi botol air, lampu dapur belum mati kan, Bi?" tanyanya.
Bi In menggeleng sebagai jawabannya. "Oh ya Bi, Ayah udah pergi?" tanya Nahla berbisik membuat Bi In bingung.
"Barusan aja pergi," jawab Bi In. Nahla mengangguk singkat dan pamit meluncur ke dapur.
Bi In menggeleng dengan sikap Nahla walau keluarganya sedang dilanda masalah tapi dia tetap tegar menghadapinya.
***
HAPPY READING!
Haloo, selamat malam semua?
Heum, apa kamu Nahla?Memendam tanpa banyak mengurai bahasaGimana?
Selamat membaca dan menikmati setiap untain kata>•<
•RizkaAfrianita
Jangan lupa tinggalkan jejak ya
Vote and comen°_Anak Ayam_°
______________________________________________________________________Nahla tersenyum rasa lega menyerudup ke hatinya. Ia melihat jam dipergelangan tangan yang sudah menunjukan pukul tujuh malam.Namun, ada satu hal lagi yang menganjal dipikirannya. "Anin," gumamnya.Ia menghela napas gusar kenapa sepulang dari rumah sakit ia tidak langsung ke rumah neneknya. Nahla bangkit dari kursi tak lupa menghambiskan segelas susu yang sebelumnya sudah ia buat.Kepalanya masih pusing karena efek donor darah. Nahla mengambil tas kecilnya dan segera pamit untuk pergi kembali.Namun ..."Nahla." Suara barinto mengagetkan Nahla."Mau kemana?" tanya Ayah menatap Nahla.Nahla menoleh ia tersenyum kecil. "Ke mini market depan." Bohongnya."Boleh Ayah berbicara sebentar," pinta Ayah menatap Nahla.Nahla melirik jam tangannya kemudian melirik ayahnya. "Eum, sebentar," gumam Nahla. Ayah mengangguk senang, lalu mengajak Nahla untuk pergi ke taman depan.Langit yang cerah ditaburi bintang
Nahla menatap teman-temannya dengan cengengesan. Tatapan datar dari Syifa menohok membuat siempu cuman tersenyum. "Ceroboh lagi," dengkus Syifa mendekat. "Untung lo nggak apa-apa," lanjut Syifa mengambil panci yang jatuh ke lantai hingga menimbulkan suara gadung. "Lo nggak apa-apa Karin?" tanya Syifa menatap adik angkatannya itu hanya diam dengan wajah pucat. Dia menggeleng, helaan napasnya membuat Nahla rasa bersalah dan melirik Syifa agar membawanya ke dalam. Nahla kembali mengisi panci dengan air kram. Lalu menghidupkan kompor. Tak lama secangkir teh hangat sudah siap untuk diminum, Nahla membawa ke depan. Ia meletakan di atas meja sambil menatap Karin. "Maaf ya bikin kamu kaget," ujar Nahla. Karin tersenyum tipis lalu menggeleng kecil. "Nggak kok Kak," jawabnya. Syifa menyolek lengan Nahla. "Kamu butuh istirahat, kami temanin ya," ujar Syifa. Karin mengangguk lemah dan bangkit dibantu Nahla. Me
"Nahla!" pekik Syifa lagi-lagi membuat yang lain terkejut."Kenapa sih La," dengkus Nahla yang tepat berdiri di sebelahnya."Jari lo berdarah," gerutunya melihat jari Nahla berdarah karena teriris pisau.Nahla berkelik kesal. "Nggak usah heboh juga kali, luka kecil," gerutunya mengambil tisu di atas meja makan dan menyeka lukanya dengan tisu."Nah, dah siap. Yuk bawa keluar," ujar Nahla membawa nampann berisi rempah-rempah. Mereka akan bikin bakar-bakaran di depan.Setibanya di depan Nahla langsung melatakan nampan di atas meja. "Fa, lo teriak kenapa lagi sih?" tanya salah satu teman mereka."Eh, masak sih. Emang iya?" tanya Syifa balik."Benaran deh Fa," katanya membenarkan. Syifa menggeleng, membantah apa yang mereka ucapan."Salah dengar kalian kali," bantah Syifa mengolesi jagung dengan saus.
Syifa hanya diam berdiri dengan pandangan kosong. Pintu kamar yang terbuka lebar dengan hawa yang mencakam."Fa, ke bawah yuk," ajak Nahla datang dari luar. Namun, karena energi negatif yang menyambutnya membuatnya menatap aneh. "Fa!" tegur Nahla, tapi Syifa hanya diam bergeming.Terpaksa Nahla menyeret tubuh kaku Syifa ke depan. "Astaga lo berat amat sih," gerutu Nahla menuntu jalan.Syifa menatap Nahla tajam. Tangan yang sebelumnya memegang tangannya dicengkram kuat oleh Syifa sampai kukunya memutih."Fa!" Tak apa selain tatapan tajam Syifa. Hingga senyum menyeramkan terbentuk di bibir Syifa.Nahla memutar bola mata malas. "Siapapun kamu tolonglah keluar dari tubuh teman saya," ujar Nahla.Syifa menggeleng. "Nggak mau," cicitnya. Dia melepaskan tangannya dari tangan Nahla kemudian berlalu begitu saja."
Nahla terkejut bukan main. Ia membuka matanya dengan paksa lalu menoleh ke samping. Ilham juga sama dengan dirinya."Ada apa?" cicitnya.Ilham menggeleng, dia menoleh ke belakang di mana Syifa berdiri. Wajah pucat dan keringat membanjiri pipinya.Nahla ikut menoleh ke belakang, menatap bingung ke arah Syifa."Ada apa?" tanyanya lagi bangkit."Lo duduk aja di sana!" sentaknya membuat Nahla terkejut. Ada apa dengan Syifa?"Lo kenapa sih?" Nahla tidak mendengarkan perkataan Syifa ia perlahan melangkah ke arahnya."Stop!" teriakan Syifa mengagetkan seisi bis dan ditambah bis yang mereka tumpangi mengrem mendadak.Syifa membekap kedua telingannya. Dia menggeleng kuat."Ada apa Pak?" tanya Nahla menoleh ke belakang."Ada anjing lewat," ujarnya kembali menjalankan bis.Nahla mengangguk. Dengan cepat ia memengang kedua tangan Syifa. "Tenangin diri lo," bisik Nahla."Kak, pinda
Jam menunjukkan pukul 23.46 akhirnya mereka sampai juga ke tempat tujuan yang memakan waktu yang cukup lama."Yah, ndak jadi challenge," gerutu Syifa turun dari bis sambil menenteng ranselnya."Dah malem," ujar Syafir dengan wajah mengantuk. Dia berjalan lunglai memasuki vila tempat mereka menginap.Ilham masuk terakhir ke dalam vila, takut teman-temannya masih ada berkeliaran di luar."La," panggilnya menatap Nahla masih duduk di teras.Ia memilih menghampiri Nahla yang berselonjoran kaki. Terlihat ranselnya masih ada di sampingnya berarti dia belum masuk sama sekali."Capek ya?" tanyanya. Nahla mengangguk, gimana tidak capek sekitar 10 jam mereka hanya duduk di dalam bis yang berjalan."Ternyata di sini nggak sedingin yang dibayangin," gumam Nahla, masih tetap panas walau di sini puncak.Ilham mengangguk mem