Demamku memang sudah turun, tetapi saat membaca status Dini yang tengah magang di kantorku sekaligus kantor Mas Rian membuatku jengah juga. Dini memang adikku, walau tidak kandung. Dini bayi saudara di kampung mama yang diadobsi karena kedua orang tuanya tidak mampu. Dini yang sakit-sakitan akhirnya membuat mama iba dan membawanya ke Bandung saat usia Dini masih empat bulan. Sejak saat itu Dini menjadi adikku. Tidak ada perbedaan antara perlakuan mama denganku ataupun dengan Dini. Mama pandai menutup rapat rahasia ini karena ia pun amat menyayangi adik angkatku itu. Sampai sekarang, Dini hanya tahu, bahwa kamilah keluarganya dan mama adalah ibu yang melahirkannya. Ketika muncul permasalahan seperti ini membuatku mau tidak mau memikirkan Dini juga. Sebagai kakak yang sayang adiknya, aku tidak ingin bertengkar apalagi sampai bermusuhan dengan Dini hanya karena seorang pria. "Bunda, mau makan disuapin, Bunda," ujar Robi sambil menyentuh kepalaku. Garis bibir ini melengkung tinggi. Pu
Pukul empat sore Rian sudah sampai di rumahku. Ia membawakan empat bungkus baso malang terenak di daerah kami. Tidak lupa juga ia membawakan kue untuk Robi. Rian memang sangat baik dan tidak punya celah untuk aku menolaknya.Cemburu seperti kemarin itu masih wajar, hal itu pun ia lakukan karena ia mencintaiku dan takut kembali pada Ramon."Selera tidak?" tanyanya saat aku ikut menyantap baso malang bawaannya. Di depan kami duduk ada mama yang tengah menyuapi Robi dengan baso yang sama."Selera dan enak seperti biasa, terima kasih ya, Mas," kataku tulus sambil menyunggingkan senyum."Sama-sama." Dia ikut tersenyum sambil menyentuh keningku."Sudah tidak demam. Semoga lekas sehat lagi ya. Aku mau ajak kamu jalan sama Robi." Aku mengangkat wajah untuk menatap lelaki ini, yang tidak pernah sedikit pun menyerah untuk mendapatkanku."Jalan ke mana?" tanyaku masih dengan menatapnya."Ke mana aja? Apa kamu mau kita jalan ke KUA?" aku tertawa mendengar candaannya."Robi, ikut Nenek ke dapur yu
"Oh, jadi Teteh yang minta Mas Rian memberikan pekerjaan banyak untukku agar aku lembur di kantor? Curang sekali, Teteh. Wajah Teteh nampak lugu, tetapi hati Teteh busuk." Aku yang masih fokus di depan televisi, langsung menoleh kaget mendengar perkataan kasar Dini. Ini pertama kalinya ia bersikap kurang ajar padaku, hanya karena seorang Rian. "Aku jelaskan juga percuma, karena hati kamu sudah tertutup. Robi, ayo, masuk kamar. Besok sekolah!" Aku bangun dari duduk, lalu menarik pelan lengan putraku untuk segera ke kamar mandi. "Mau apa, Bunda?" tanya Robi tidak mengerti. "Sikat gigi sebelum tidur. Permennya dimakan besok saja." Aku menggiring Robi masuk ke kamar mandi, meninggalkan Dini yang tengah melipat kedua tangannya di dada karena kesal. Tidak lama kemudian, aku mendengar suara pintu kamar dibanting. Robi kembali menoleh kaget padaku, lalu kepalanya mengintip keluar dari kamar mandi. "Ada apa sih?" tanya Robi dengan polosnya. Aku tertawa pelan, laut mempercepat menggosok gi
POV AuthorDini berusaha membetulkan kembali laporan yang kemarin sudah ia buat dengan air mata yang terus saja mengalir. Hatinya sakit dan juga kecewa karena tetehnya tega merusak laporannya sehingga ia ditegur Mbak Miska. Tidak banyak yang bisa ia lakukan, termasuk melapor pada Rian karena lelaki dewasa yang ingin sukai itu belum kelihatan barang hidungnya. "Kalau cengeng, gak usah magang, Neng!" Seru Miska saat melewati meja Dini. Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap sekilas Miska yang melirik sinis. "Aneh kantor ini, pasti ada jinnya. Jelas-jelas semalam sudah rapi, kenap pagi ini berantakan lagi?" gumam Dini sambil menyeka air matanya dengan kasar. "Sebelum laporan itu masuk ke mejaku, biasanya ada Puspa yang mengecek. Bisa saja kakak kamu itu memang yang iseng mengerjai kamu. Tahu sendiri kan, dia sedang dekat dengan Pak Rian dan kamu; adiknya malah magang di sini. Gak lucu juga selesai kamu wisuda, kamu dan Puspa satu kantor. Kalau aku sih, lebih bagus anak baru lulus yang
Bukan Dini namanya kalau mudah putus asa. Tipikal Dini dan Puspa yang memang sejak kecil sudah hidup bersama, sangatlah jauh berbeda.. Puspa lebih sabar dan nrimo dibandingkan Dini. Puspa juga lebih dewasa bukan karena usianya, tetapi memang modelnya sejak dulu sudah seperti itu. Beda dengan Dini yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Dini pun termasuk anak yang nekat dan berani. Di sekolah, tidak ada yang berani meledek apalagi mem-bully gadis itu karena dianggap tidak punya ayah dan tidak mirip dengan mamanya. Dini membaca pesan dari Puspa, hanya dibaca saja, tanpa niat ingin membalas. Rasanya lucu sekaligus seru karena berhasil mengerjai sang Kakak. Semangt bekerjanya pun naik berkali-kali lipat karena perutnya yang kenyang dan kepuasan emosi yang tersalurkan. Lalu bagaimana sikap Puspa? Wanita itu mendengkus kesal menyaksikan pesannya hanya dibaca saja tanpa dibalas. Ia melanjutkan pekerjaannya, mencoba melupakan kesialan hari ini. Pukul lima sore, Puspa sudah siap-siap ingin pulan
"Dih, terserah saya mau beli baju apa, gak pakai uang Teteh juga. Lagian kalau saya mau minjem punya Teteh, saya gak mungkin bisa pakai karena kebesaran. Jadi saya beli baru, memangnya gak boleh?" Dini membela diri. Wajahnya sama sekali biasa aja, tidak seperti orang yang sedang dituduh melakukan kesalahan. "Udah, ah, orang baru pulang udah diributin aja! Capek!" Belum sempat Puspa membuka mulut, Dini sudah melepaskan cengkeraman pada lengannya dan berlalu dari hadapan Puspa. Pintu kamar dibanting oleh gadis itu. Puspa hanya bisa menghela napas sambil mengurut dadanya. Memang benar apa yang dikatakan Dini, mungkin hanya dia saja yang terlalu berlebihan. Siapapun berhak membeli baju yang ia suka, meskipun baju itu mirip dengan baju orang lain. "Dini sudah pulang?" Bu Suci keluar dari kamar setelah salat Isya. "Sudah, Ma." Puspa mengunci pintu kembali. "Sudah kamu tanyakan soal baju itu?" tanya Bu Suci lagi penasaran. "Sudah, Ma, gak papa deh, memang mungkin Dini senang baju yang
Puspa sudah berada di kantin kantor bersama dengan Rian. Pria itu meminta penjelasan dari Puspa ada apa sebenarnya dengan Dini. Kejadian pagi ini membuatnya kaget, syok, sekaligus malu karena sudah salah merangkul wanita yang ia kira adalah Puspa. Untung saja tidak ada orang lain selain mereka bertiga, tetapi tetap saja ia merasa tidak enak hati dengan Puspa dan Dini. "Sayang, aku bener gak tahu," kata Rian setelah pelayan membawakan dua gelas teh manis ke meja mereka. "Aku gak nyalahin kamu, Mas. Mungkin bukan hanya kamu, tapi teman-teman yang lain pun di atas sana bisa jadi salah panggil juga. Dini memang sengaja melakukannya. Dia menyukai kamu dan berharap kamu menoleh padanya dengan dia memakai baju yang sama dengan punyaku. Bukan hanya satu, tapi ada beberapa baju dan rok yang sama." Rian melotot tidak percaya. "Ya ampun, untuk apa? Memang kalian tidak satu ukuran badan. Adik kakak saling pinjam baju kurasa itu juga biasa, t-tapi .... ""Tapi kalau lebih dari banyak baju yang
Gadis itu duduk dengan tubuh gemetar setelah dibentak oleh Rian. Ia sama sekali tidak menyangka Rian bisa sekasar itu, padahal di depan tetehnya dan mamanya, Rian begitu manis dan sopan. Apakah ini tabiat asli lelaki itu? Atau semua ini ia lakukan atas permintaan Teh Puspa? Gila! jika sampai Teh Puspa membalasku hanya karena fried chicken, benar-benar wanita ular. Pantaslah Banget Ramon punya istri lebih dari satu, ternyata Teh Puspa tidak lebih baik dari Ayu. Dini terus saja bermonolog sambil menatap monitor komputer yang berkabut karena terhalang air matanya. Tangannya dengan kuat menggenggam gelas berisi air putih. Kesal, marah, kecewa, terkejut, dan paling utama malu dengan Bu Susan. "Ya ampun, gue kira kakaknya yang licik, ternyata adeknya juga. Kalian ini benar-benar sodara yang kompak," sindir Miska saat ia melewati meja Dini. Gadis itu tidak mau menyahut. Kalimat pedas yang dilontarkan Miska ia anggap angin lalu karena banyak juga di kantor yang tidak begitu suka dengan Mis