LOGIN
[Gila! Paha mulusnya bener-bener bikin gagal fokus!]
[Pinggulnya sih… jelas habis kerja rodi semalaman.]
[Lagi baring aja auranya hot, apalagi kalau lagi in action ya.]
Tangan Fiona Grace bergetar saat membaca komentar-komentar tersebut di bawah sebuah foto seorang perempuan tanpa busana dengan latar kasur yang sangat berantakan, serta alat mainan dewasa yang terpampang di sebelahnya terlihat jelas.
Ting!
Sebuah pesan masuk ke ponselnya.
[Bagaimana, Sayang? Masih untung aku menyensor wajahmu. Kalau kamu menolak lagi, aku bisa mengungah foto baru yang menampilkan wajahmu dengan jelas.]
Itu Leon. Pacarnya.
Tadi pria itu minta uang pada Fiona, tapi gadis itu menolak memberikan. Tak lama kemudian, Leon mengirimkan pesan balasan berupa link ke sebuah situs dewasa.
Fiona tidak menyangka kalau Leon akan bertindak sejauh itu.
Gadis itu langsung menghubungi nomor ponsel pacarnya.
“Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Leon?” tanya Fiona. Sepasang matanya sudah berkaca-kaca.
“Salahmu karena tidak mau mengirimiku uang. Aku lapar.” Leon berkata dengan malas. “Apa kau mau aku mati kelaparan?”
Fiona membalas, “Bukankah dua hari yang lalu aku sudah mentransfer satu juta ke rekeningmu?”
“Hanya satu juta, Fi! Memang itu bisa tahan berapa lama?” tukas Leon. “Dan sejak kapan kau jadi sangat perhitungan denganku seperti ini? Kau sudah tidak cinta padaku lagi?”
Fiona tidak langsung menjawab.
“Oh, kau benar-benar sudah tidak mencintaiku lagi?” Nada suara Leon naik. “Mau cari pria lain? Coba lihat apakah kau bisa dapat penggantiku jika aku menyebarkan fotomu–”
“Aku akan transfer,” ucap Fiona kemudian. Nada suaranya datar, tanpa emosi. “Sebentar, kututup dulu.”
Fiona meletakkan ponselnya lebih dulu di atas meja, lalu memijat keningnya frustrasi, berusaha menahan ledakan kebencian yang ada di hatinya.
Beruntung sekarang sedang makan siang. Jadi para rekannya sedang tidak berada di tempat untuk bertanya.
Dengan tatapan penuh kebencian dan rasa jijik, Fiona meraih ponselnya kembali dan mengirimkan uang. Setelahnya, ia mengirimkan foto bukti transfer ke Leon.
[Terima kasih, Sayang. Aku mencintaimu.]
[Jangan khawatir. Foto yang sudah kuunggah akan kuhapus.]
[Lain kali, jangan membuatku melakukan hal jahat ini lagi ya. Semua akan aman asal kau menurut.]
Membacanya, pandangan mata Fiona bertambah dingin. Ia seolah tak tahu bagaimana caranya mengekspresikan rasa sedih dan kecewanya lagi.
Dulu, Leon tidak begini. Pria itu mulai berubah sejak dipecat dari perusahaan lamanyal, membuat pria itu mau tidak mau menumpang di apartemen Fiona dan mengandalkan uang gadis itu setiap hari.
Fiona awalnya tidak keberatan. Berpikir bahwa itu hanya sementara.
Sampai suatu hari ketika Fiona menyuruh Leon yang sedang bermalas-malasan meng-upgrade CV-nya, pria itu justru mengiriminya sederet foto tidak senonoh.
Foto Fiona sendiri.
Rupanya, beberapa waktu yang lalu, Leon menjebaknya dengan obat tidur dan mengambil foto-foto panas dirinya. Fiona sama sekali tidak tahu–ia hanya ingat ia merasa kelelahan setelah makan malam dan berpikir itu karena pekerjaannya.
Kini, sudah beberapa bulan Fiona hidup dalam ancaman Leon. Tidak bisa melepaskan diri.
Tak lama, suasana kantor mendadak ramai dengan kedatangan para rekannya, sedangkan Fiona masih diam di posisinya.
"Apa!? Jadi perusahaan kita sudah dibeli oleh Wins Group? Perusahaan konglomerat terkenal itu!?"
"Jangan bercanda. Yang benar saja! Kenapa Wins Group harus melirik kita yang hampir bangkrut ini?"
“Tapi mungkin saja ini hal baik, kan? Bisa jadi dengan Wins Group, dana pengembangan yang akan masuk jadi lebih besar. Jadi kita lebih berkembang!”
Fiona menoleh pada rekan-rekannya yang sedang heboh, lalu kembali fokus ke pekerjaannya.
Ia bekerja sebagai karyawan di departemen riset dan pengembangan produk sebuah perusahaan makanan swasta. Fiona tidak terlalu memusingkan perubahan kepemilikan itu, selama proyek yang ia kerjakan sekarang masih mendapatkan dana dan ia tidak dipecat.
Tiba-tiba suasana menjadi hening.
Tak berapa lama, seorang pria dengan jas cokelat berhenti di sisi mejanya.
"Dengan nona Fiona, benar?"
Fiona mengalihkan pandangannya terkejut, lalu mengangguk. "Iya?"
Pria itu tersenyum formal. Fiona dapat membaca rasa lega di matanya, seolah dia baru saja menemukan barang yang telah lama dicari-cari.
"Saya adalah asisten CEO Wins Group."
Fiona menaikkan alis kirinya sekilas, untuk apa tangan kanan CEO Wins Group berbicara dengannya?
"Nona, apa saya boleh menyita waktu Anda sebentar? Tuan menginginkan kehadiran Anda segera."
Kening Fiona kali ini terlipat. Apa lagi sekarang? CEO Wins Group mencarinya?
Fiona tidak tahu banyak tentang Wins Group, namun setidaknya dia tahu bahwa mereka adalah salah satu perusahaan raksasa.
Tetapi tidak berpikir aneh, Fiona mengangguk untuk menyetujuinya.
"Ya, tentu."
Anggap saja ini merupakan jalan baru untuk menemukan keberuntungan? Toh, karyawan kecil sepertinya juga tidak memiliki kuasa apa pun untuk menolak.
Pria bernama James itu membawanya ke lantai teratas gedung kantor. Sepertinya rumor yang diserukan rekannya itu benar.
Fakta yang gila, namun bagus.
Sebelum pintu dibuka, James menawarkan bantuan untuk menjaga tas-nya.
Fiona mengangguk canggung dan berterima kasih, meskipun dia tidak begitu yakin.
Setelah pintu dibuka, Fiona melangkah masuk. Di dalam, ia melihat pria berjas hitam, berdiri memunggunginya ke arah jendela raksasa yang menampilkan langsung pemandangan gedung-gedung tinggi kota Jakarta.
Dia lah, CEO Wins Group. Pemilik salah satu tangan yang mengatur dunia.
Fiona tersenyum. "Selamat sore, Pak. Saya Fiona Grace, apa ada yang bisa saya bantu?"
"Mengenalku pun kamu tidak mampu, ya?" jawab CEO Wins Group yang masih memunggunginya.
Fiona mengerutkan keningnya tipis, balasan macam apa itu? Mengenalinya?
"Kamu melupakanku, Fiona?" ucap pria itu lagi, kali ini sambil berbalik.
Fiona tertegun, tubuhnya mendadak seakan membatu di tempat. Kedua tangannya mengepal, mata mereka bertemu.
Pria itu memiliki postur tubuh yang proposional, rahang tegas, bahu lebar, alis tebal, hidungnya mancung dan bibirnya yang tersenyum tampak merah muda alami.
Bulu mata panjang dan bola matanya yang berwarna biru, hanya ada satu manusia di ingatan Fiona yang memiliki ciri-ciri sempurna seperti ini.
"Kau--!"
"Apa kabar, kesayangan?"
Itu mantan kekasihnya, William Winston!
Sejak kapan dia menjadi CEO Wins Group? Dan … untuk apa pria itu menemuinya sekarang?
Malam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?
Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer
Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta
Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar
Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau







