Home / Romansa / Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan! / Bab 2. Bisikan Yang Mengikat

Share

Bab 2. Bisikan Yang Mengikat

Author: nanadvelyns
last update Last Updated: 2025-09-19 14:18:02

William Winston adalah mantan yang memiliki nilai paling buruk di dunia percintaannya. 

Jika ada hal yang paling ingin Fiona hindari di dunia ini, maka jawabannya adalah William Winston. 

Fiona tanpa bicara berbalik, melangkah cepat ke arah James untuk mengambil tas-nya. 

Tetapi siapa yang menyangka bahwa pria itu menahan tas-nya erat sambil tersenyum ramah?!

Melirik tajam ke arah William. "Apa-apaan ini?!"

William tersenyum tipis, lalu beralih duduk tenang di sofa. 

"Aku kecewa, aku pikir kamu akan berlari dan memelukku seperti dulu." 

Fiona menatap William marah, apa pria itu menganggapnya lelucon? Bagaimana bisa dia mengatakan itu setelah apa yang dia lakukan pada dirinya dulu?

"Aku tidak tertarik bergabung dengan permainanmu, William. Aku juga tidak memiliki apa pun. Biarkan aku pergi." Fiona menatap William dingin. 

William masih tersenyum. "Aku hanya menginginkanmu." 

Fiona mengerutkan keningnya tak mengerti. 

"Aku telah membeli perusahaan ini. Jadi hanya ada dua pilihan untukmu, dana sponsormu aku hapus atau menjadi kekasih--"

"Aku sudah memiliki kekasih!" Potong Fiona cepat. 

Apa pria itu selalu semena-mena seperti ini?

William terdiam sejenak, wajahnya seolah menunjukkan kekecewaan yang tersirat. 

Tetapi tak lama, dengan sorot matanya yang sempat mendingin, ia menatap Fiona lagi dengan hangat. 

"Kekasihmu hanya satu kan?" tanya William. 

Fiona semakin dibuat tak mengerti. "Apa? Jangan--!"

"Aku ulangi lagi. Kamu hanya punya dua pilihan, sponsormu dibatalkan atau jadikan aku selingkuhanmu." Sela William cepat. 

Fiona terdiam, apa yang salah dari William? Mereka sudah tujuh tahun tidak pernah bertemu!

Fiona masih bersikukuh dengan keputusannya. 

Hatinya menolak, pikirannya berontak, dan bibirnya tak pernah lelah menegaskan penolakan itu. 

Ia tidak mau melanggar moralnya, tidak peduli seberapa besar tekanan yang diberikan oleh William.

“Dua hari.” Begitu suara William terdengar datar, namun mengandung kekuatan yang tak bisa ditawar. “Aku memberimu waktu dua hari. Gunakan baik-baik kesempatan itu.”

Sesudah itu, Fiona dibebaskan. 

Tidak ada lagi pengawalan, tidak ada lagi tatapan tajam dan senyum ramah mengerikan dari anak buah William yang membuatnya merasa seperti tawanan. 

Namun kebebasan itu terasa semu, sebab di kepalanya, suara ancaman halus dari lelaki itu terus menggema.

Ia melangkah pulang dengan tubuh letih. Sepatu hak rendah yang dipakainya terasa semakin berat, seakan menarik kakinya ke tanah. 

Pintu apartemen yang reyot menyambutnya dengan decitan serupa keluhan. 

Begitu masuk, aroma pengap langsung menusuk hidung.

“Ya ampun…” Fiona mengembuskan napas panjang.

Apartemen itu berantakan. Kardus mie instan kosong berserakan di lantai ruang tamu, botol minuman energi digeletakkan di meja yang permukaannya penuh bercak saus, sementara abu rokok menumpuk di asbak seolah tak pernah tersentuh. 

Fiona memijit keningnya yang berdenyut.

Badannya lelah, namun melihat keadaan rumah kontrakan itu, ia tidak tega membiarkannya begitu saja.

Perlahan ia melangkah ke kamar. Pintu kamar dibiarkan terbuka, dan di dalam, Leon masih tertidur pulas di kasur tipis yang sepreinya kusut. 

Wajahnya tenang, sama sekali tidak terganggu oleh keadaan rumah yang kacau. 

Earphone masih menempel di telinganya, dan layar laptop di sampingnya menampilkan permainan daring yang belum ditutup.

Fiona menarik selimut yang setengah menutupi tubuh Leon, lalu berdiri sejenak. Rasa getir merayap ke dadanya. 

Leon tidak bekerja, tidak membantu mengurus rumah, bahkan untuk membereskan tempat tidur pun tidak.

Ia menghela napas panjang, lalu menyingkirkan sampah-sampah kecil, menata meja, menyapu lantai, dan merapikan ruang tamu. 

Sementara peluh mulai menetes dari pelipisnya, ia baru menyadari betapa besar perannya sebagai penopang hidup konyol mereka. 

Meski status mereka belum resmi menikah, Fiona merasa dirinya lebih seperti seorang istri yang menanggung beban sendirian.

Setelah semuanya agak rapi, ia berjalan kembali ke kamar. Fiona menepuk bahu Leon.

“Leon, bangun. Sudah malam. Ayo makan.”

Leon menggeliat sebentar, membuka mata separuh, lalu menggerutu pelan. “Hmm… masih ngantuk, Fi. Ntar aja.”

“Tidak bisa, kamu harus makan. Aku sudah siapkan.”

Dengan malas Leon duduk, mengusap wajahnya, lalu mengikuti Fiona menuju meja makan. 

Makan malam kali ini sederhana, hanya nasi dengan lauk tumis sayur dan telur dadar. 

Namun Fiona menyajikannya dengan penuh kesungguhan, berharap sedikit suasana hangat bisa tercipta.

Saat keduanya duduk berhadapan, Fiona memberanikan diri membuka topik yang sudah ia pikirkan sejak lama.

“Leon, aku sudah siapkan CV baru untukmu. Bahkan aku buatkan beberapa versi. Kamu tinggal pilih saja, lalu melamar pekerjaan. Aku yakin kamu bisa dapat kerja dengan cepat. Aku tahu kamu pintar.”

Leon menatap Fiona dengan wajah malas. Sendoknya berhenti di udara. “Aku sudah bilang, Fi. Sekarang bukan waktunya. Aku masih punya strategi sendiri. Lagian, kerja kantoran itu cuma buang-buang waktu.”

“Tidak, Leon.” Suara Fiona terdengar memohon. “Aku serius. Kantorku sudah di ambang kebangkrutan. Ada banyak gosip yang beredar. Kalau aku benar-benar harus resign, kita butuh penghasilan lain. Aku tidak bisa sendirian terus. Kamu harus mulai melamar kerja, supaya keuangan kita aman.”

Namun alih-alih memahami, Leon malah tersenyum sinis. “Fi, dengar aku. CV itu lebih baik kamu pakai untuk dirimu sendiri. Kamu yang pintar, kamu yang punya kemampuan. Kamu bisa dapat kerja lebih bagus. Jadi kenapa repot-repot menyiapkan itu untukku?”

Fiona terdiam, hatinya tercekat.

Leon melanjutkan, suaranya berubah lebih manipulatif, penuh tekanan halus. “Lagipula, kamu tidak ingin kan foto-fotomu yang… pribadi itu tersebar? Aku masih menyimpannya, Fi. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum kamu memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku mau. Fokus saja pada dirimu, jangan banyak menuntut aku.”

Kalimat itu menusuk seperti belati. Fiona tidak sanggup menjawab. 

Tangannya gemetar, sendok di genggamannya bergetar hingga hampir jatuh. 

Napasnya berat, matanya memanas, namun ia menahan tangis. 

Malam itu hening, hanya bunyi detik jam dinding yang mengisi kekosongan.

Keesokan harinya Fiona bangun lebih awal. 

Setelah mandi, ia mengikat rambutnya dengan rapi, lalu mengenakan pakaian kerja sederhana. 

Tubuhnya masih letih, tapi ia berusaha tegar.

Sesampainya di lobby gedung Wins Group, Fiona berniat langsung menuju meja resepsionis untuk melapor. 

Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang sangat ingin ia hindari. James. Tangan kanan William!

Pria itu berdiri di sisi lobi dengan jas rapi, wajahnya tersenyum seolah tidak pernah ada yang salah. 

Tatapan matanya langsung tertuju pada Fiona, membuat bulu kuduknya berdiri. Panik, Fiona segera mengubah arah langkahnya, berusaha menghindar.

Namun James tidak tinggal diam. Ia mengikuti dengan langkah tenang, masih dengan senyuman yang justru membuat Fiona semakin takut.

“Nona Fiona!” Suara James terdengar ringan, seakan sedang memanggil teman lama.

Fiona mempercepat langkahnya. Dalam hati ia bergumam, Mereka ini apa-apaan sih? Selalu tersenyum… apa semua orang Wins Group membunuh sambil tersenyum?!

Jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke belakang, James semakin dekat. 

Fiona pun berlari kecil, berbelok ke pintu masuk lain, berharap bisa lepas dari pengejaran.

Dengan napas terengah, ia akhirnya berhasil masuk ke lift yang pintunya hampir tertutup. 

Fiona buru-buru menekan tombol lantai, matanya masih sibuk mengawasi jarak dengan James. 

Namun karena terlalu panik, ia tidak memperhatikan langkahnya.

“Ah!” Fiona menabrak seseorang di dalam lift.

Saat ia menegakkan kepala, wajah yang muncul di hadapannya membuat darahnya serasa berhenti mengalir. William.

Tubuhnya kaku, langkahnya otomatis mundur. Mulutnya bergumam lirih, “Mati aku…”

William mengerutkan alis, lalu menatapnya lembut. “Mati? Siapa yang berani mau membunuhmu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 8. Manis Bercampur Darah

    Fiona duduk dengan canggung di hadapan William, tubuhnya terasa kaku seakan kursi empuk itu berubah menjadi duri yang menusuk kulitnya. Di antara mereka, meja besar dari kayu mahoni tampak penuh dengan hidangan mewah yang disusun rapi. Aroma tajam dan gurih dari berbagai jenis makanan mahal menyeruak, menusuk hidungnya, membuat perut Fiona bergejolak meskipun ia berusaha menahannya.William melepaskan dasinya perlahan, lalu menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku. Gerakannya tenang, terukur, seolah setiap detail sengaja diperlihatkan. Tangannya kemudian meraih salah satu kaki lobster berukuran besar. Dengan senyum tipis yang lebih mirip seringai, ia berkata ringan, “Bukankah ini semua makanan kesukaanmu? Ada seafood, carbonara, steak, dan masih banyak lagi. Kau mau yang mana dulu?”Fiona terbatuk pelan, mencoba menutupi gugup yang merambati tubuhnya. Ia hendak meraih kaki lobster lainnya, berusaha bersikap biasa, tetapi tiba-tiba William sudah lebih dulu meletakkan potonga

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 7. Kalah Kau Tidak Mau, Maka Aku Yang Mau

    Fiona buru-buru meraih kotak ponsel yang baru saja diberikan William. Ia menoleh kanan dan kiri, memastikan tidak ada seorang pun yang memperhatikan gerak-geriknya. Untung saja, ruangan kerja tempat ia duduk masih cukup sepi. Entah kemana rekan-rekan magangnya, mungkin masih sibuk dengan laporan di lantai atas atau sekadar menghirup kopi di pantry. Tanpa pikir panjang, Fiona segera menyelipkan kotak itu ke dalam tas kerjanya. Rasanya jantungnya berdetak tidak karuan, takut ada mata yang tiba-tiba menangkap adegan kecil itu.Baru saja ia hendak menenangkan diri, ponselnya sendiri bergetar. Fiona membuka layar, dan matanya membelalak begitu membaca notifikasi transfer masuk. Angka yang tertera di sana membuat tenggorokannya tercekat—seratus juta rupiah. William benar-benar mentransferkannya. Uang sesuai kesepakatan mereka kemarin, ketika Fiona dengan terpaksa menyebut nominal itu demi menyelamatkan dirinya dari ancaman Leon.Tangannya bergetar halus saat menggenggam ponsel. Rasa

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 6. Rona Merah Dari Dosa Yang Manis

    Pagi itu, suasana kantor masih terasa lengang.Beberapa pegawai baru saja datang, sebagian masih sibuk menyalakan komputer, dan sisanya bergegas menyeduh kopi di pantry.Fiona berjalan memasuki ruangan dengan langkah tenang, membawa tas kerja totebag sederhana.Ia mengenakan kemeja biru cerah yang membuat kulitnya tampak lebih segar, rambutnya dibiarkan tergerai bergelombang alami, memberi kesan sederhana namun memikat.Ia menyalakan komputernya perlahan, berusaha mengatur ritme napas agar lebih tenang.Hari ini sama saja seperti hari-hari sebelumnya, atau setidaknya ia berharap begitu.Jari-jarinya mulai bergerak di atas papan ketik, memeriksa laporan penelitian makanan ringan yang kemarin belum selesai.Namun, baru sebentar ia fokus, suara berat seorang pria tiba-tiba terdengar di belakangnya.“Nona Fiona,” panggil suara itu.Tubuh Fiona refleks menegang, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Ia menoleh cepat, dan benar saja—James berdiri tidak jauh darinya, dengan senyum khas ya

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 5. William Winston, Kekasih Gelap Yang Baik

    Fiona menundukkan kepala ketika tiba di taman kota itu. Taman kecil dengan bangku kayu yang agak tua, dikelilingi pohon flamboyan, tempat ia dulu sering bertemu William secara diam-diam. Malam ini udara terasa lebih dingin, meskipun musim belum benar-benar berganti. Lampu jalan redup menyorot wajahnya yang setengah tersembunyi di balik hoodie kebesaran berwarna abu-abu.Ia sengaja memilih pakaian itu. Hoodie kebesaran yang bisa menutupi tubuh mungilnya, sekaligus menyembunyikan luka di balik kain. Rambutnya sengaja ia uraikan berantakan ke depan wajah, sebagian menutupi pipi kirinya yang membengkak dan dahi yang berwarna biru keunguan. Luka yang jelas bukan karena jatuh biasa. Luka yang ia coba sembunyikan dari dunia.Tangannya menggenggam erat ujung lengan hoodie, sementara pikirannya berputar. “Semoga dia tidak banyak bertanya,” bisiknya pelan, seolah menguatkan diri sendiri.Tak lama kemudian, suara deru mesin mobil sport terdengar mendekat. Cahaya lampu depan menerangi jalur

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 4. Keputusan Panas

    Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona buru-buru menyingkirkan diri dari bayangan William yang masih melekat dalam pikirannya. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya belum sepenuhnya teratur. Adegan tadi, di mana tubuhnya hampir jatuh lalu berakhir dalam pelukan William, masih berputar di kepalanya. Jika seseorang tadi benar-benar mengenalinya, habislah dirinya.Dengan langkah cepat, ia menuju kamar mandi terdekat. Pintu ditutup rapat, Fiona bersandar sejenak pada dinding dingin keramik. Tangannya gemetar saat melepaskan jas kerja abu-abu yang selama ini menjadi seragam wajib karyawan magang. Ia gantungkan jas itu di belakang pintu, menyisakan hanya kemeja putih panjang yang menutupi tubuh mungilnya. Kancing paling atas kemeja ia longgarkan, lalu ia melepas kunciran rambutnya. Rambut hitam panjang terurai bebas, jatuh di bahunya.“Setidaknya… kalau tadi ada yang lihat, sekarang mereka takkan curiga itu aku,” gumamnya lirih, menatap bayangan sendiri di cermin. Wajah pucat dengan

  • Kendalikan Dirimu, Tuan Mantan!   Bab 3. Tertangkap Di Lift

    Sebelum Fiona sempat menjawab, tangan William menariknya masuk lebih dalam ke lift. Sentuhan itu kuat, membuat Fiona tak bisa melawan. Pintu lift tertutup rapat, menyisakan keduanya di dalam ruang sempit.Fiona hanya bisa berdiri terpaku, jantungnya berdegup kencang. Begitu pintu lift menutup rapat, Fiona tersadar bahwa dirinya masih berada terlalu dekat dengan William. Refleks, ia menepis kasar tangan pria itu.“Kenapa lagi kali ini?!” serunya lantang, nadanya penuh protes dan amarah yang ia pendam sejak di lobi. Napasnya memburu, dada naik turun tidak teratur. “Kenapa James mengikuti aku? Bahkan sampai mengejar? Apa kalian memang hobi menakut-nakuti orang?”William hanya menatapnya, alisnya sedikit terangkat, seolah heran dengan reaksi meledak-ledak itu. “James mengejarmu karena ada alasan jelas.”“Alasan apa?!” Fiona menantang.“Kartu akses kantor,” ujarnya datar. “Kau menjatuhkannya kemarin saat terburu-buru meninggalkan ruanganku. James hanya ingin mengembalikannya.”Fiona m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status