LOGINWilliam Winston adalah mantan yang memiliki nilai paling buruk di dunia percintaannya.
Jika ada hal yang paling ingin Fiona hindari di dunia ini, maka jawabannya adalah William Winston.
Fiona tanpa bicara berbalik, melangkah cepat ke arah James untuk mengambil tas-nya.
Tetapi siapa yang menyangka bahwa pria itu menahan tas-nya erat sambil tersenyum ramah?!
Melirik tajam ke arah William. "Apa-apaan ini?!"
William tersenyum tipis, lalu beralih duduk tenang di sofa.
"Aku kecewa, aku pikir kamu akan berlari dan memelukku seperti dulu."
Fiona menatap William marah, apa pria itu menganggapnya lelucon? Bagaimana bisa dia mengatakan itu setelah apa yang dia lakukan pada dirinya dulu?
"Aku tidak tertarik bergabung dengan permainanmu, William. Aku juga tidak memiliki apa pun. Biarkan aku pergi." Fiona menatap William dingin.
William masih tersenyum. "Aku hanya menginginkanmu."
Fiona mengerutkan keningnya tak mengerti.
"Aku telah membeli perusahaan ini. Jadi hanya ada dua pilihan untukmu, dana sponsormu aku hapus atau menjadi kekasih--"
"Aku sudah memiliki kekasih!" Potong Fiona cepat.
Apa pria itu selalu semena-mena seperti ini?
William terdiam sejenak, wajahnya seolah menunjukkan kekecewaan yang tersirat.
Tetapi tak lama, dengan sorot matanya yang sempat mendingin, ia menatap Fiona lagi dengan hangat.
"Kekasihmu hanya satu kan?" tanya William.
Fiona semakin dibuat tak mengerti. "Apa? Jangan--!"
"Aku ulangi lagi. Kamu hanya punya dua pilihan, sponsormu dibatalkan atau jadikan aku selingkuhanmu." Sela William cepat.
Fiona terdiam, apa yang salah dari William? Mereka sudah tujuh tahun tidak pernah bertemu!
Fiona masih bersikukuh dengan keputusannya.
Hatinya menolak, pikirannya berontak, dan bibirnya tak pernah lelah menegaskan penolakan itu.
Ia tidak mau melanggar moralnya, tidak peduli seberapa besar tekanan yang diberikan oleh William.
“Dua hari.” Begitu suara William terdengar datar, namun mengandung kekuatan yang tak bisa ditawar. “Aku memberimu waktu dua hari. Gunakan baik-baik kesempatan itu.”
Sesudah itu, Fiona dibebaskan.
Tidak ada lagi pengawalan, tidak ada lagi tatapan tajam dan senyum ramah mengerikan dari anak buah William yang membuatnya merasa seperti tawanan.
Namun kebebasan itu terasa semu, sebab di kepalanya, suara ancaman halus dari lelaki itu terus menggema.
Ia melangkah pulang dengan tubuh letih. Sepatu hak rendah yang dipakainya terasa semakin berat, seakan menarik kakinya ke tanah.
Pintu apartemen yang reyot menyambutnya dengan decitan serupa keluhan.
Begitu masuk, aroma pengap langsung menusuk hidung.
“Ya ampun…” Fiona mengembuskan napas panjang.
Apartemen itu berantakan. Kardus mie instan kosong berserakan di lantai ruang tamu, botol minuman energi digeletakkan di meja yang permukaannya penuh bercak saus, sementara abu rokok menumpuk di asbak seolah tak pernah tersentuh.
Fiona memijit keningnya yang berdenyut.
Badannya lelah, namun melihat keadaan rumah kontrakan itu, ia tidak tega membiarkannya begitu saja.
Perlahan ia melangkah ke kamar. Pintu kamar dibiarkan terbuka, dan di dalam, Leon masih tertidur pulas di kasur tipis yang sepreinya kusut.
Wajahnya tenang, sama sekali tidak terganggu oleh keadaan rumah yang kacau.
Earphone masih menempel di telinganya, dan layar laptop di sampingnya menampilkan permainan daring yang belum ditutup.
Fiona menarik selimut yang setengah menutupi tubuh Leon, lalu berdiri sejenak. Rasa getir merayap ke dadanya.
Leon tidak bekerja, tidak membantu mengurus rumah, bahkan untuk membereskan tempat tidur pun tidak.
Ia menghela napas panjang, lalu menyingkirkan sampah-sampah kecil, menata meja, menyapu lantai, dan merapikan ruang tamu.
Sementara peluh mulai menetes dari pelipisnya, ia baru menyadari betapa besar perannya sebagai penopang hidup konyol mereka.
Meski status mereka belum resmi menikah, Fiona merasa dirinya lebih seperti seorang istri yang menanggung beban sendirian.
Setelah semuanya agak rapi, ia berjalan kembali ke kamar. Fiona menepuk bahu Leon.
“Leon, bangun. Sudah malam. Ayo makan.”
Leon menggeliat sebentar, membuka mata separuh, lalu menggerutu pelan. “Hmm… masih ngantuk, Fi. Ntar aja.”
“Tidak bisa, kamu harus makan. Aku sudah siapkan.”
Dengan malas Leon duduk, mengusap wajahnya, lalu mengikuti Fiona menuju meja makan.
Makan malam kali ini sederhana, hanya nasi dengan lauk tumis sayur dan telur dadar.
Namun Fiona menyajikannya dengan penuh kesungguhan, berharap sedikit suasana hangat bisa tercipta.
Saat keduanya duduk berhadapan, Fiona memberanikan diri membuka topik yang sudah ia pikirkan sejak lama.
“Leon, aku sudah siapkan CV baru untukmu. Bahkan aku buatkan beberapa versi. Kamu tinggal pilih saja, lalu melamar pekerjaan. Aku yakin kamu bisa dapat kerja dengan cepat. Aku tahu kamu pintar.”
Leon menatap Fiona dengan wajah malas. Sendoknya berhenti di udara. “Aku sudah bilang, Fi. Sekarang bukan waktunya. Aku masih punya strategi sendiri. Lagian, kerja kantoran itu cuma buang-buang waktu.”
“Tidak, Leon.” Suara Fiona terdengar memohon. “Aku serius. Kantorku sudah di ambang kebangkrutan. Ada banyak gosip yang beredar. Kalau aku benar-benar harus resign, kita butuh penghasilan lain. Aku tidak bisa sendirian terus. Kamu harus mulai melamar kerja, supaya keuangan kita aman.”
Namun alih-alih memahami, Leon malah tersenyum sinis. “Fi, dengar aku. CV itu lebih baik kamu pakai untuk dirimu sendiri. Kamu yang pintar, kamu yang punya kemampuan. Kamu bisa dapat kerja lebih bagus. Jadi kenapa repot-repot menyiapkan itu untukku?”
Fiona terdiam, hatinya tercekat.
Leon melanjutkan, suaranya berubah lebih manipulatif, penuh tekanan halus. “Lagipula, kamu tidak ingin kan foto-fotomu yang… pribadi itu tersebar? Aku masih menyimpannya, Fi. Jadi, pikirkan baik-baik sebelum kamu memaksaku melakukan sesuatu yang tidak aku mau. Fokus saja pada dirimu, jangan banyak menuntut aku.”
Kalimat itu menusuk seperti belati. Fiona tidak sanggup menjawab.
Tangannya gemetar, sendok di genggamannya bergetar hingga hampir jatuh.
Napasnya berat, matanya memanas, namun ia menahan tangis.
Malam itu hening, hanya bunyi detik jam dinding yang mengisi kekosongan.
Keesokan harinya Fiona bangun lebih awal.
Setelah mandi, ia mengikat rambutnya dengan rapi, lalu mengenakan pakaian kerja sederhana.
Tubuhnya masih letih, tapi ia berusaha tegar.
Sesampainya di lobby gedung Wins Group, Fiona berniat langsung menuju meja resepsionis untuk melapor.
Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang yang sangat ingin ia hindari. James. Tangan kanan William!
Pria itu berdiri di sisi lobi dengan jas rapi, wajahnya tersenyum seolah tidak pernah ada yang salah.
Tatapan matanya langsung tertuju pada Fiona, membuat bulu kuduknya berdiri. Panik, Fiona segera mengubah arah langkahnya, berusaha menghindar.
Namun James tidak tinggal diam. Ia mengikuti dengan langkah tenang, masih dengan senyuman yang justru membuat Fiona semakin takut.
“Nona Fiona!” Suara James terdengar ringan, seakan sedang memanggil teman lama.
Fiona mempercepat langkahnya. Dalam hati ia bergumam, Mereka ini apa-apaan sih? Selalu tersenyum… apa semua orang Wins Group membunuh sambil tersenyum?!
Jantungnya berdetak kencang. Ia menoleh ke belakang, James semakin dekat.
Fiona pun berlari kecil, berbelok ke pintu masuk lain, berharap bisa lepas dari pengejaran.
Dengan napas terengah, ia akhirnya berhasil masuk ke lift yang pintunya hampir tertutup.
Fiona buru-buru menekan tombol lantai, matanya masih sibuk mengawasi jarak dengan James.
Namun karena terlalu panik, ia tidak memperhatikan langkahnya.
“Ah!” Fiona menabrak seseorang di dalam lift.
Saat ia menegakkan kepala, wajah yang muncul di hadapannya membuat darahnya serasa berhenti mengalir. William.
Tubuhnya kaku, langkahnya otomatis mundur. Mulutnya bergumam lirih, “Mati aku…”
William mengerutkan alis, lalu menatapnya lembut. “Mati? Siapa yang berani mau membunuhmu?”
Malam itu, gedung Winston Holdings telah sepi. Lampu-lampu di lantai atas padam satu per satu, menyisakan hanya cahaya dari ruang kerja pribadi Elizabeth Ratore.Wanita itu duduk di kursinya, kaki disilangkan rapi, segelas anggur merah di tangan.Di depannya, layar laptop menampilkan berita ekonomi dengan headline besar:“Krisis Pasokan Bahan Baku Mengancam Produksi SnackLine Winston.”Elizabeth tersenyum kecil. “Cepat juga, ya,” gumamnya puas. Ia baru saja menekan satu tombol dua jam lalu — pesan singkat ke kenalannya di perusahaan pemasok besar di Texas, mitra utama Winston Holdings. Sekarang efeknya sudah mulai terasa.“Kalau kau menolak aku, William Winston, aku akan buatmu berlutut di hadapan semua yang pernah kau bangun,” bisiknya pelan, nada suaranya setenang racun yang meresap perlahan.Ketukan pintu terdengar.Elizabeth menoleh sekilas. “Masuk.”Mikhail muncul, mengenakan jas abu-abu yang sedikit kusut, wajahnya tampak ragu.“Elizabeth,” katanya pelan. “Kau ingin menemuiku?
Fiona datang lebih awal dari biasanya, berharap bisa bekerja dengan tenang tanpa menghadapi tatapan aneh dari rekan-rekan. Namun baru sepuluh menit duduk di meja kerjanya, ponselnya bergetar — pesan dari Jessica."Fi, dengar-dengar bakal ada rapat darurat direksi pagi ini. Katanya soal 'isu internal' perusahaan. Hati-hati."Fiona memandangi layar itu lama. “Isu internal.” Ia tahu betul maksud tersembunyi dari kata itu.Suara langkah berat di belakangnya membuatnya menoleh.Mikhail berdiri dengan wajah tegang, map hitam di tangan. “Fiona, kita perlu bicara. Sekarang.”Fiona bangkit perlahan, menatapnya cemas. “Ada apa lagi, Mikhail?”“Aku baru dipanggil ke lantai atas. Elizabeth akan memimpin presentasi kepada dewan. Topiknya, laporan pelanggaran profesional oleh staf magang. Dan mereka menyiapkan rekaman pesan—”“Pesan apa?” Fiona memotong cepat, darahnya terasa berhenti mengalir.“Pesan suara dari ponsel yang katanya milikmu,” Mikhail menjawab lirih. “Tapi aku tahu itu rekayasa. Mer
Suasana kantor Winston berubah drastis.Bisikan halus terdengar di setiap sudut koridor. Tatapan-tatapan cepat muncul setiap kali Fiona lewat. Tak ada lagi sapaan hangat dari rekan-rekan yang dulu memujinya atas kerja keras. Semua digantikan bisikan samar, senyum pura-pura, dan rasa canggung yang menusuk.Fiona berusaha menegakkan kepala, berlagak tidak mendengar.Namun setiap langkahnya terasa berat.Ia tahu gosip itu menyebar cepat. Tentang dirinya dan Mikhail. Tentang hubungan yang katanya “tidak pantas”.Tentang bagaimana ia memanfaatkan kedekatannya dengan William Winston untuk naik jabatan.Semuanya bohong — tapi kebenaran tidak lagi penting ketika kebohongan sudah jadi bahan hiburan.Ketika Fiona membuka pintu ruang rapat kecil, Jessica, sahabatnya, menutup laptop cepat.Wajahnya menegang, seolah takut tertangkap basah.“Jess?” Fiona berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris bergetar.Jessica menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku tidak percaya gosip itu, Fi. Ta
Udara di kantor Winston terasa lebih berat dari biasanya.Setiap langkah Fiona di lorong seakan diikuti tatapan-tatapan samar. Sejak kabar kebocoran data itu merebak, segala hal terasa lebih dingin — bahkan cahaya lampu pun seolah memudar.Namun pagi itu berbeda.Ketika Fiona sampai di meja kerjanya, ia menemukan setangkai mawar putih di atas dokumen-dokumen yang belum sempat ia rapikan.Tidak ada kartu nama. Tidak ada catatan kecil. Hanya bunga itu — dan aroma samar parfum yang tidak asing.Hidungnya menangkap aroma khas cologne William.Seketika, senyum kecil muncul di wajahnya.Mungkin ini cara pria itu untuk menebus kesalahpahaman tempo hari.Mungkin William masih peduli.Namun sebelum Fiona sempat menyimpan bunga itu, Mikhail muncul dari balik partisi.“Kau masih percaya padanya?” tanyanya tiba-tiba.Fiona menatapnya, bingung. “Maksudmu?”Mikhail menatap mawar itu tajam. “Pria yang kau pikir selalu melindungimu. Apakah dia juga yang memberimu bunga itu?”Nada suaranya terdengar
Hujan baru saja turun, meninggalkan aroma tanah basah yang menenangkan tapi menyakitkan di dada. Semua orang sudah pulang, hanya tersisa suara mesin pendingin dan langkah sepatunya yang bergema di lorong panjang.Sejak percakapan singkatnya dengan William siang tadi, dadanya terasa sesak.Ia tahu William tidak benar-benar mempercayai tuduhan itu — tapi diamnya pria itu jauh lebih menyakitkan daripada amarah.Seolah-olah... William mulai ragu lagi.Fiona memeluk tasnya erat-erat, berusaha menahan air mata yang nyaris jatuh. Ia sudah terlalu sering menangis karena pria itu, tapi kali ini berbeda.Kali ini, ia menangis bukan karena kehilangan, melainkan karena berjuang terlalu lama sendirian.Di sisi lain gedung, dari balik kaca ruangan lantai atas, William berdiri dengan tangan di saku, memandangi Fiona yang melangkah keluar sendirian dengan payung kecil.Ia tahu gadis itu merasa terluka. Tapi rasa curiga yang tumbuh di antara mereka terlalu sulit dihapus.James, asisten pribadinya, b
Hari itu, langit Jakarta tampak kelabu, dan Winston Group tenggelam dalam kesibukan luar biasa.William duduk di ruang rapat lantai atas, matanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar memperhatikan. Ia tampak seperti patung — rapi, tenang, tapi beku. Di sisi lain meja, Elizabeth dengan senyum profesional memaparkan laporan kinerja cabang Singapura seolah-olah tak terjadi apa pun antara mereka.“...dan karena permintaan meningkat 22% di kuartal terakhir, kami akan memperluas produksi di Cikarang,” ucap Elizabeth mantap, lalu memalingkan pandangannya sekilas ke William, seolah menantikan reaksi.Namun pria itu hanya mengangguk pelan. “Lanjutkan.”Begitu rapat usai, semua keluar, meninggalkan dua orang itu di ruangan luas nan hening. Elizabeth berdiri, melangkah mendekat.“Kau kelihatan lelah, Will,” katanya lembut, suaranya dibuat setenang mungkin. “Aku tahu kehilangan kepercayaan itu berat. Tapi aku hanya ingin mengingatkan... tidak semua orang yang tersenyum padamu pantas kau







