Maya tetap belum yakin. Bayangan Pak Karyo sudah mulai muncul di benaknya, tapi dia menolaknya, karena takut menyakiti Irwan. "Say... aku cinta kamu, bukan dia."
"Aku tau," Irwan mempercepat sedikit gerakannya, tangannya meremas lembut payudara Maya. "Ini bukan soal cinta. Ini soal tubuhmu. Tubuhmu udah merasakan sensasi yang berbeda dengan dia, dan itu normal kalau kamu ingin merasakannya lagi."
Penjelasan Irwan yang terus terang itu memicu campuran perasaan di dada Maya—malu karena Irwan memahami begitu jelas apa yang terjadi pada tubuhnya, tapi juga lega karena dia tidak perlu lagi berpura-pura.
"Say... bagaimana kalau aku jadi ketagihan?" bisik Maya, suaranya bergetar. "Bagaimana kalau... ahh... kalau aku jadi nggak bisa klimaks tanpa bayangkan dia?"
Jantung Irwan berdebar lebih kencang, tapi dia berusaha agar suaranya tetap tenang. "Itu masalah nanti," bisiknya. "Yang penting sekarang kamu nikmatin.
Maya tetap belum yakin. Bayangan Pak Karyo sudah mulai muncul di benaknya, tapi dia menolaknya, karena takut menyakiti Irwan. "Say... aku cinta kamu, bukan dia.""Aku tau," Irwan mempercepat sedikit gerakannya, tangannya meremas lembut payudara Maya. "Ini bukan soal cinta. Ini soal tubuhmu. Tubuhmu udah merasakan sensasi yang berbeda dengan dia, dan itu normal kalau kamu ingin merasakannya lagi."Penjelasan Irwan yang terus terang itu memicu campuran perasaan di dada Maya—malu karena Irwan memahami begitu jelas apa yang terjadi pada tubuhnya, tapi juga lega karena dia tidak perlu lagi berpura-pura."Say... bagaimana kalau aku jadi ketagihan?" bisik Maya, suaranya bergetar. "Bagaimana kalau... ahh... kalau aku jadi nggak bisa klimaks tanpa bayangkan dia?"Jantung Irwan berdebar lebih kencang, tapi dia berusaha agar suaranya tetap tenang. "Itu masalah nanti," bisiknya. "Yang penting sekarang kamu nikmatin.
Jantung Maya berdebar kencang. Bagaimana mungkin dia bisa menerima permintaan itu? Membayangkan Pak Karyo saat bersama Irwan? Tubuhnya menegang, bukan karena gairah tapi karena kecemasan yang mendadak menyerangnya.Malu. Maya merasa malu luar biasa membayangkan Irwan tahu seperti apa dirinya saat bersama Pak Karyo—bagaimana dia mendesah tanpa kendali, memanggil nama Pak Karyo dengan nada memohon, atau bahkan kata-kata vulgar yang tak pernah dia ucapkan sebelumnya. Dia bahkan memanggil Pak Karyo dengan sebutan "Mas"—sesuatu yang tak pernah dia gunakan untuk Irwan. Bagaimana mungkin dia bisa menunjukkan sisi dirinya yang seperti itu pada suaminya?"Say, kamu nggak ngerti..." bisik Maya lirih. "Itu... itu terlalu..."Maya menelan ludah. Dia tak mungkin mengakui kalau tubuhnya mungkin akan bereaksi jauh lebih responsif jika dia membayangkan Pak Karyo—dan itu akan menyakiti Irwan lebih dalam. Cukup sudah rasa sa
Beberapa menit berlalu dalam usaha Irwan meniru gerakan yang Maya deskripsikan, tapi tetap saja ada sesuatu yang tidak tercapai. Irama yang salah, tekanan yang kurang tepat, atau mungkin... ukuran yang berbeda. Maya mencoba memejamkan mata, berusaha menikmati sentuhan suaminya. Bibirnya mengeluarkan desahan kecil, sebagian demi Irwan, sebagian karena memang ada kenikmatan di sana.Namun tubuhnya terasa kaku dan tidak sepenuhnya responsif. Pikirannya terbagi antara keinginan untuk menikmati momen ini bersama suami yang dicintainya, dan ingatan-ingatan tentang Pak Karyo yang tak bisa dia tepis—sentuhan kasar namun tepat sasaran, aroma maskulin yang berbeda, ukuran yang membuatnya merasa penuh.Irwan mengusap peluh di dahinya. Udara kamar terasa panas meski AC menyala. Kipas di langit-langit berputar pelan, mengirimkan semilir angin yang hampir tak terasa di kulit mereka yang lembab. Di luar terdengar deru mobil sesekali melintas di
Maya melirik jam digital di nakas tempat tidur—lewat tengah malam. Tubuhnya masih menggeliat perlahan di atas Irwan, berusaha menemukan kenikmatan yang terasa sulit diraih.Keringat tipis mulai terbentuk di pelipis Maya. Mengalir perlahan ke leher dan punggungnya yang mulai lembab. Hampir lima belas menit dia berada di atas Irwan dalam posisi cowgirl ini, tapi tubuhnya belum juga mencapai pelepasan yang dia inginkan."Mmhh..."Maya menggerakkan pinggulnya lebih cepat, mencoba mencari sudut yang tepat. Ke depan, ke belakang. Memutar dalam lingkaran kecil. Naik, turun. Berbagai ritme. Apapun. Kenikmatan ada di sana—berdenyut samar di bawah permukaan—namun selalu menjauh seperti fatamorgana di padang pasir saat dia hampir menggapainya.Dia menggeretakkan gigi. Ini berbeda dari beberapa hari lalu, ketika dia masih bisa mencapai klimaks bersama Irwan meski tidak seintens bersama Pak Karyo.
Pengakuan tulus Ratih membuat Karyo berhenti bergerak sejenak. Dia menatap wajah istrinya yang basah oleh air mata, merasakan ketulusan dan ketakutan yang begitu nyata dalam kata-katanya. Di tengah gairah yang membakar, Karyo merasakan hatinya tersentuh oleh kerentanan dan kejujuran Ratih."Dik..." Karyo berbisik, tangannya kini membelai wajah Ratih dengan kelembutan yang kontras dengan dominasinya sebelumnya. "Ora bakal. Aku ora bakal ninggal sliramu." (Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu.)Karyo kembali bergerak, kali ini dengan ritme yang lebih lembut namun tetap dalam. "Aku mung butuh sliramu, Dik. Ora ono wedok liyo sing iso nggantimu. Ora Bu Maya, ora sopo wae." (Aku hanya butuh kamu, Dik. Tidak ada perempuan lain yang bisa menggantimu. Bukan Bu Maya, bukan siapa pun.)"Tenan, Mas?" (Beneran, Mas?) tanya Ratih, matanya menatap Karyo penuh harap sementara tubuhnya terus
Karyo tersenyum puas melihat istrinya mulai kehilangan kendali. Dengan satu gerakan cepat, dia menarik tubuh Ratih, membalikkan posisi mereka tanpa melepaskan penyatuan tubuh mereka. Kini Ratih berada di atas, tapi Karyo tetap yang mengendalikan dengan tangannya yang kuat memegang pinggang ramping istrinya."Ndelok aku, Dik. Aku pengen weruh wajahe bojomu sing kepenak," (Lihat aku, Dik. Aku ingin melihat wajah istrimu yang nikmat) perintah Karyo, satu tangannya memegang dagu Ratih, memaksanya untuk bertatapan.Ratih membuka mata, napasnya terengah-engah. Pandangan mereka bertemu—mata Karyo penuh dengan dominasi dan kepemilikan, sementara mata Ratih berkabut oleh kenikmatan yang semakin memuncak. Karyo memperkuat genggamannya di pinggang Ratih, mengangkat dan menurunkan tubuh istrinya dengan kekuatan yang mengejutkan, memperdalam penetrasi hingga menyentuh titik terdalam Ratih."Mas... Mas Karyo... aahhh...