Irwan duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan angka-angka yang seharusnya dia analisis untuk presentasi besok.
Kacamata bacanya diletakkan di samping mouse yang belum tersentuh selama sepuluh menit terakhir. Di luar, hujan rintik-rintik membasahi jendela, menciptakan irama monoton yang biasanya menenangkan. Tidak malam ini.Pikirannya melayang ke lantai atas. Ke kamar tamu tepat di atas kepalanya. Dia melirik jam dinding.Pukul 18:57. Tujuh belas menit yang lalu, Maya naik ke sana. Tidak mengatakan apa-apa selain, "Aku ke atas dulu ya, dengan suara yang terdengar tidak natural. Mengenakan daster sutra merah muda yang Irwan belikan saat ulang tahunnya yang ke-34. Irwan hanya bisa mengangguk, tenggorokannya tercekat.Kata-kata tersangkut di sana, tak mampu keluar. Irwan mengusap wajahnya,lalu menghela napas panjang. Sesaat dia berpikir untuk menyalakan musik, atau memakai headphone. Apa saja untuk tidak mendengar. Tapi sesuatu dalamWajah Maya semakin memerah, bayangan dirinya klimaks di dapur sementara Irwan berada di ruang kerja membuatnya malu sekaligus... anehnya, sedikit terangsang. "Tapi itu beda!" protesnya, suaranya lebih tegas meski tubuhnya masih lemas. 'Tadi pagi kan di dapur... Irwan masih di rumah!""Tapi Bu Maya nikmatin, kan?" tanya Pak Karyo, matanya menatap tajam ke mata Maya. Jari-jarinya yang basah oleh cairan Maya dia angkat ke wajahnya sendiri, menghirup aroma intim Maya dengan nikmat sebelum menjilat jarinya sendiri dengan gerakan lambat yang vulgar.Maya terkesiap melihat gerakan intim itu, pipinya terbakar malu. Jantungnya berdegup liar melihat Pak Karyo begitu menikmati rasanya di jari. Perutnya terasa mulas campuran gairah dan rasa bersalah yang tidak bisa dia jelaskan."I-iya, tapi... Maya tergagap, tangannya mencengkeram tepi meja lebih erat hingga buku-buku jarinya memutih. "Itu beda banget! Di dapur tadi... tanpa jadwal... tanpa kesepakatan... itu bukan p
Rasa malu dan gairah bercampur dalam dadanya, menciptakan koktail emosi yang memabukkan. Saat matanya. bertemu dengan mata Pak Karyo di cermin, Maya melihat kilatan kemenangan di sanasesuatu yang tidak pernah dia lihat dari pria yang selama ini selalu menunduk di hadapannya,"Bu Maya diem aja, dia berbisik, bibirnya menyusuri leher Maya dari belakang, meninggalkan jejak basah yang mengirimkan percikan listrik ke seluruh tubuh wanita itu. "Liat cermin. Liat wajah Bu Maya sendiri."Maya terpaku menatap cermin. Bibirnya yang bengkak dari ciuman kasar barusan. Rambutnya yang mulai berantakan. Pupil matanya yang melebar, tanda gairah yang tidak bisa disembunyikan. Di belakangnya, Pak Karyo menatap dengan mata predator, senyum puas tersungging di wajahnya yang kasar.Tangan Pak Karyo semakin agresif. Jari-jarinya dengan ahli membuka kancing celana Maya, lalu menurunkan zippernya tanpa kesulitan. Maya bisa merasakan jari kasar itu menyusup ke balik kain celana da
Pak Karyo memimpin Maya masuk ke kamar tamu. Tangannya mencengkeram pinggang wanita itu dengan posesif, jari-jarinya menekan kuat hingga meninggalkan jejak panas di kulit Maya. Aroma tubuh Pak Karyo campuran keringat maskulin dan sabun murah memenuhi indra penciuman Maya, membuatnya pusing oleh kontras dengan parfum mahalnya sendiri.Ketika sudah di dalarn, Pak Karyo tidak mengarah ke tempat tidur. Dia mendorong Maya dengan kasar hingga tubuh wanita itu terhentak berhenti tepat di depan cermin besar yang berdiri di sudut kamar. Maya menabrak meja rias dengan pinggulnya, menimbulkan suara berdenting dari botol parfum yang bergetar."Pak..." Maya menggumam bingung, napasnya sedikit tercekat."Sst," Pak Karyo meletakkan jari telunjuknya di bibir Maya, menekannya hingga bibir bawah Maya sedikit terbuka."Bu Maya liat cermin.".Tubuh kekar Pak Karyo menempel erat di punggung Maya, memaksanya menghadap cermin. Panas tubuh pria itu menembus kain
"Besok ya?" tanya Maya, dengan senyum ringan dan nada antusias yang dia harap cukup meyakinkan. "Di rumah. Om Hadi jam berapa?" "lya, jam 1 siang," Irwan mengangguk. "Mama udah nanyain kita beberapa kali." Maya melepaskan pelukannya perlahan, tersenyum meski hatinya berat. "Oke, besok kita dateng. Dia merapikan rambut Irwan yang sedikit berantakan. "Aku akan tampil cantik buat kamu." Irwan tersenyum tipis. 'Thanks, Yang," "Kamu berangkat jam berapa?" tanya Maya, mengalihkan topik. "Setengah jam lagi." Irwan melirik jam tangannya. "Masih harus nyiapin golf set." "Mau aku bantu?" Maya menawarkan, masih dalam mode manja yang tidak biasa. Irwan menggeleng, tapi senyumnya semakin lebar. "Nggak usah. Kamu istirahat aja." Maya mengangguk, lalu tiba-tiba melingkarkan tangannya di leher Irwan dan mencium pipinya berulang kali. "Mmuah, mmuah, mmuah! Hati-hati ya golfingnya.
Pak Karyo duduk di tepi ranjang sempit di kamarnya yang terletak di bagian belakang rumah. Pipinya masih terasa panas bekas tamparan Maya beberapa jam lalu. Dia mengusap bekas merah itu perlahan, mengingat kembali momen di dapur tadi pagi.Pancen wis kebangeten aku iki. (Memang sudah keterlaluan aku ini.) Pak Karyo menggelengkan kepalanya pelan. Mosok ndadak ngerayu neng pawon, pas Pak Irwan isih neng omah. (Masa sampai menggoda di dapur, saat Pak Irwan masih di rumah.)Dia tahu dia pantas mendapatkan tamparan itu. Apa yang dia lakukan jelas melanggar batas. Berani-beraninya dia menyentuh majikannya di dapur rumahnya sendiri, saat suaminya hanya berjarak beberapa meter dari mereka. Tapi setiap kali Maya ada di dekatnya, Pak Karyo seolah kehilangan akal sehat..Jari-jarinya bergerak tanpa sadar, meniru gerakan melingkar yang dia lakukan pada tubuh Maya tadi pagi. Tubuh Maya yang begitu berbeda dari istri-istrinya di desa. Halus, wangi, dan terawat. Kulit ya
"Pak Karyo!" desis Maya marah. Wajahnya mengeras, rahangnya mengejang. 'Sudah saya bilangkita nggak bisa! Program belum dimulai hari ini. Dan Inwan masih di rumah!"Kemarahan di matanya nyata. Ketegasan dalam suaranya tak terbantahkan. Tapi tubuhnyatubuhnya memberikan sinyal yang sepenuhnya bertentangan. Maya tidak mundur dari sentuhan itu. Jarinya mencengkeram tepi meja di belakangnya, tapi pinggulnya tetap di tempat. Napasnya berubah lebih dalam, lebih berat, saat jari-jari kasar itu menemukan pola melingkar yang semakin intim.'Maaf, Bu," Pak Karyo menunduk sedikit, nadanya berubah lebih formal meski tangannya melakukan hal yang sangat tidak formal di belakang tubuh Maya. Jari-jarinya terus bergerak, merasakan kehangatan menyebar dari tubuh majikannya meski dipisahkan kain.Maya menelan ludah, jari-jarinya mencengkeram tepi meja lebih erat saat tangan Pak Karyo bergerak lebih rendah, menelusuri lekuk pantatnya dengan sentuhan yang semakin berani. Napasn