Melviano
“Selamat datang, Pak Melviano,” sambut Operation Manager bagian contact center service.
Hanya anggukan kepala yang diberikan kepada pria berkepala botak tersebut. Pandangan mata mengitari ruangan yang luas, karena ada ratusan karyawan bekerja di sini. Mereka semua tampak duduk di kubikel dengan serius.
Divisi ini yang memiliki peranan penting bagi perusahaan start up yang baru kubangun. Karyawan di bagian CCS menjadi tameng perusahaan dalam menghadapi pelanggan. Mereka juga yang menjadi pelampiasan kekesalan para pengguna jasa aplikasi, jika mendapatkan kendala.
Jika ditanya divisi mana yang masuk daftar seleksi paling ketat, CCS-lah jawabannya. Tidak hanya kemampuan dalam menyerap materi tentang produk dan penanganan kendala, karyawan di bagian ini juga harus bisa mengontrol emosi. Selain itu mereka juga wajib memiliki analisa yang kuat, agar dapat menangani kendala pelanggan dengan cepat dan akurat.
Operation Manager mengajak berkeliling ruangan ini sembari memantau para agent yang sedang menangani pelanggan. Seperti biasa, Vidya berjalan dengan tenang di sisi kanan.
Suasana di ruangan ini bisa dikatakan kondusif, hanya percakapan searah yang terdengar. Langkahku berhenti ketika mendengar suara yang tidak asing di telinga. Sebagai seorang pengusaha, aku dituntut agar bisa mengenali suara, wajah dan gesture tubuh orang karena harus berjumpa dengan banyak pengusaha lainnya.
“Baik Ibu, terima kasih telah menunggu. Setelah melakukan pengecekan, pemesanan Ibu sudah terbayar namun mengalami kendala verifikasi otomatis dari sistem. Kendala ini akan saya bantu teruskan kepada tim terkait. Mohon kesediaan Ibu menunggu maksimal 30 menit ke depan untuk email balasannya.”
Semakin lama mendengar suara ini, aku semakin yakin pernah mendengar baru-baru ini. Tilikan mata berpindah mengamati layar monitor yang menampilkan detail reservasi pelanggan.
“Kenapa tidak minta menunggu sepuluh menit lagi? Nambah kerja tim Payment kamu,” komentarku kemudian.
Perempuan berambut keriting tersebut menoleh ke arahku. Tak lama kemudian mata besarnya semakin melebar di balik kacamata tebal yang dikenakan. Sebelah alisku kini naik ke atas melihat ekspresinya. Mungkin khawatir akan dipecat.
“Om aneh?!” Kalimat yang terdengar sebagai gumaman mampu membuatku terpana.
“Om?”
Hah! Apa aku terlihat tua sehingga dua orang yang memanggilku dengan sebutan Om hari ini? Ck!
Sebentar … tidak hanya suara, tapi raut wajahnya juga seperti tidak asing bagiku. Apa kami pernah bertemu sebelumnya?
Gadis itu langsung mengalihkan pandangan ke layar monitor. Gelagatnya membuatku curiga. Aku kembali melihat postur tubuhnya yang mirip dengan … wanita sinting tadi pagi.
“Pak?” Suara Vidya menyentakkan lamunan.
Aku langsung memalingkan paras kepadanya. “Kenapa?”
“Pak Michael menanyakan apakah Bapak ingin berkeliling lagi atau langsung ke ruang meeting?”
Aku langsung memperbaiki posisi jas yang sebenarnya baik-baik saja. Setelahnya berdeham pelan sambil melangkah meninggalkan gadis aneh tadi.
“Langsung ke ruang meeting sekarang,” ujarku setelah menjauh dari perempuan itu.
“Suruh anak itu bertemu dengan saya lima belas menit lagi,” bisikku pada Vidya.
Ayunan kaki Vidya berhenti sebentar. “Untuk apa, Pak?” tanyanya dengan kening berkerut bingung.
“Apa saya pernah memanggil karyawan tanpa alasan?” Aku balik bertanya membuat Vidya menundukkan kepala.
Berinteraksi kurang dari lima menit dengan dua kali dialog, membuatku merasakan ada sesuatu dengan gadis itu. Apakah karena sejak tadi pagi aku dibuat frustasi oleh seorang wanita sinting, ditambah dengan permintaan konyol Mama? Entahlah.
“Cari gadis itu sekarang dan nikahi dia.” Perkataan Mama tadi pagi kembali terngiang.
Ya Tuhan. Mimpi apa aku malam sebelumnya, sehingga harus menjalani hari yang buruk seperti sekarang? Belum sempat kebingungan akan kejadian tadi pagi terjawab, Mama juga memberikan ultimatum keras. Sekarang, ada gadis aneh yang mengingatkanku dengan si Wanita Sinting.
***
Selesai meeting dengan tim operasional, aku memutuskan duduk di ruangan yang cukup menampung sepuluh orang ini. Beberapa menit lagi, gadis aneh itu akan masuk ke ruangan. Sesuai dengan perintah yang diberikan, aku hanya akan menunggu tidak lebih dari lima menit.
Selang tiga menit kemudian, terdengar suara pintu diketuk. Seorang perempuan berkerudung muncul di sela pintu. Tak lama kemudian, si Rambut Keriting berjalan pelan di belakang. Dia menundukkan kepala seperti ketakutan.
“Maaf ta—”
Aku mengangkat tangan dengan mengembangkan kelima jari. Artinya meminta perempuan tersebut diam. Setelah itu ku kibaskan lagi tangan melakukan gerakan mengusir, agar dia pergi.
Aku mengerling kepada Vidya yang sejak tadi masih berada di sisi kanan. “Kamu keluar sekarang.”
Bibir tipis Vidya sedikit terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu. Raut wajahnya tampak keberatan meninggalkan ruangan. Sesaat kemudian, dia menutup bibir lalu menundukkan sedikit tubuh ke depan. Dalam hitungan detik, sekretaris itu meninggalkan kami berdua di ruang meeting.
“Duduk di sana,” perintahku menunjuk kursi deret ketiga dari depan dengan ujung dagu.
Gadis itu melangkah ragu sambil meremas daun tangan yang saling bertautan di depan tubuh. Semakin diperhatikan, aku bisa melihat banyak kemiripan antara dirinya dengan wanita sinting tadi pagi. Tidak ada percakapan selama beberapa menit saat aku mengamati gadis tersebut.
“Siapa nama kamu?” tanyaku memecah keheningan.
“Sa-sasikirana, Om eh Pak,” jawabnya gugup dengan kepala masih tertunduk, “bapak bisa panggil saya Sasi.”
Sampai di sini, aku bisa menangkap perbedaan di antara kedua wanita itu. Yang satu berani dan satu lagi penakut. Meski begitu, masih banyak persamaan mereka, salah satunya memanggilku dengan sebutan Om. Sial!
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
Pandangan perempuan bernama Sasi itu naik, sehingga aku bisa melihat dengan jelas wajah yang dihiasi flek berwarna cokelat tua. Kedua tangannya bergoyang ke kiri dan kanan dengan cepat, diiringi gelengan kepala.
“Belum pernah, Pak. Tadi itu pertemuan kita yang pertama.” Aku bisa melihat ketidak jujuran dari sorot matanya.
“Kamu yakin?”
“Yakin banget seribu persen, Pak.”
Kalimat itu adalah kalimat yang sering dilontarkan orang ketika berbohong, agar lawan bicara percaya dengan ucapannya.
Aku hanya menganggukkan kepala singkat, masih mengamatinya. Dia mengusap tengkuk dengan pandangan tidak tenang. Sesekali ia melihat ke samping kiriku. Ada yang aneh dari caranya melirik ke sisi bagian kiri tempatku duduk.
“Saya minta maaf ya, Pak. Tadi itu ada alasan kenapa saya bantu eskalasi kendalanya ke bagian payment. Penerbangan Ibu itu same day, jika sa—”
Aku kembali mengembangkan semua jari tangan kanan, agar ia berhenti bicara. Dia kembali menundukkan kepala.
“Saya jangan dipecat, Pak. Saya orang susah, hanya pekerjaan ini yang saya harapkan.” Kali ini dia berbicara dengan sungguh-sungguh.
“Benar kita tidak pernah bertemu sebelumnya?” selidikku lagi.
Dia menganggukkan kepala dengan cepat. “Beneran, Pak.”
Tubuh ini bersandar di punggung kursi sebentar. Di saat sebuah ide tercetus, ponselku berdering.
“Ya, gimana, Frank? Udah dapet rekaman CCTV?” tanyaku setelah menggeser tombol berwarna hijau di layar.
“Udah, Mel. Bisa ke sini sekarang nggak?”
Aku melihat jam tangan sebentar. “Nggak bisa. Habis lunch ada meeting sama pihak maskapai.”
“Sibuk banget sih lo.” Franky tergelak. “Kapan bisa datang?”
“Malaman deh. Atau lo kirim aja ke email rekamannya,” balasku memberi pilihan.
“Sorry, Mel. Pihak klub nggak bisa kasih rekaman sama orang lain, karena alasan privasi pengunjung.”
“Ya udah, entar malam deh gue ke sana. Nyokap mau ngomong lagi pulang kerja.”
“Penting banget ya?”
Aku mengerling kepada Sasi sekilas, lalu menutup bagian bawah ponsel sebelum berbisik.
“Hidup mati gue, Frank.”
Franky malah tergelak mendengar perkataanku barusan. “Mampus lo. Pasti bakal dipaksa nikah tuh,” tebaknya tepat sasaran.
“Ntar sambung lagi. Gue sedang meeting.”
Tanpa menunggu respons dari Franky, aku langsung mengakhiri panggilan.
Si Sasi sedang melihat kepadaku dengan mata memelotot. Saat seperti ini, dia memiliki persamaan dengan si Wanita Sinting. Hanya saja secara fisik, si Sinting lebih menarik daripada Sasi yang … ah sudahlah.
Aku menggeser kursi ke belakang, sehingga bisa berdiri dengan benar. “Berikan nomor ponsel kamu kepada sekretaris saya.”
“Bu-buat apa, Pak?”
“Urusan kita belum selesai.”
“Kalau mau pecat, saya ikhlas, Pak.” Nada suaranya terdengar pasrah. “Lebih baik saya dipecat sekarang daripada nggak tenang sampai mendapatkan kepastian.”
Dasar gadis aneh. Tadi memohon agar tidak dipecat, sekarang justru minta kepastian secepatnya. Bagaimana jika aku benar-benar ingin memecatnya?
“Berikan saja nomor ponsel kamu sama sekretaris saya, jika masih mau bekerja di sini,” pungkasku sebelum meninggalkannya sendirian di dalam ruang meeting.
Jangan salah paham dulu denganku. Ada tujuan kenapa meminta nomor ponsel gadis aneh ini. Feeling-ku mengatakan, dia bisa membantu nanti.
Bersambung....
Nah loh, apa tuh rencana Vian?
SasikiranaApa yang terjadi hari ini sungguh di luar dugaan. Pertama, aku terbangun bersama dengan pria asing. Kedua, pria yang bersamaku semalaman ternyata orang yang memiliki perusahaan tempat diri ini bekerja. Ketiga, dia memanggilku ke ruangan meeting. Awalnya berpikir si Om itu mau memecatku, karena dinilai salah handling pelanggan. Ternyata pikiranku salah, dia hanya menanyakan apakah kami pernah bertemu sebelumnya atau nggak.Tunggu! Dia nggak mengenaliku, ‘kan? Mustahil si Om-om itu tahu aku wanita yang bersamanya di kamar hotel tadi pagi. Benar, ‘kan?Sumpah, aku takut banget dipecat. Mau kerja di mana dengan penampilan kayak gini? Ya ampun, hidu
MelvianoSeperti janji tadi siang, malam ini aku dan Franky bertemu di klub malam untuk melihat rekaman CCTV sebelum kesadaranku hilang. Aku yakin sekali ketika meninggalkan gedung klub, kondisiku sudah tidak sadar.Sayang sekali masing-masing private room di klub ini tidak dipasang kamera pengawas. Alhasil kami hanya bisa melihat rekaman yang ada di lorong menuju ruangan yang telah disewa tadi malam.“Tuh lihat, Mel,” cetus Franky saat melihat rekaman saat aku keluar bersama dengan seorang perempuan.Dalam video tersebut, aku berjalan terhuyung ke kanan dan kiri. Sementara perempuan itu yang menopang tubuh ini. Dari pakaian dan postur tubuhnya, dia bukanlah wanita yang bersama denganku tadi pag
SasikiranaDua hari kemudianGagal sudah melihat rekaman CCTV. Pihak klub nggak berikan izin, karena alasan pivasi. Privasi ini hanya berlaku untuk orang miskin sepertiku, bukan orang kaya seperti si Om. Aku yakin banget dia ke sana melihat rekaman waktu itu.Akhirnya kuputuskan untuk melupakan kejadian itu. Toh nggak ada kerugian apa-apa juga. Sampai sekarang nggak seorang pun yang tahu kalau perempuan yang bersama si Om adalah aku. Beritanya sampai heboh tuh di media online. Lega juga wajahku disamarkan, jadinya hanya rambut dan postur badan saja yang terlihat. Itulah yang diketahui dari gosip yang beredar di kantor.“Gila juga ya Pak Melviano. Ngamar sama cewek,” ujar seorang senior saat incoming call
MelvianoPagi ini dibuat pusing dengan omelan dan ancaman Mama. Sekarang beliau tidak main-main. Frustasi sekali dengan pemberitaan tentangku akhir-akhir ini. Jadi merasa bersalah, karena tidak lagi bisa membuatnya bangga dalam kehidupan personal. Aku boleh saja berhasil menjadi seorang pengusaha, namun gagal menjadi seorang anak.Aku menatap lekat wajah yang kini meneteskan air mata. Sungguh, sebenarnya tidak ingin membuat wanita yang telah melahirkanku ini bersedih.“Sampai kapan kamu seperti ini, Vian? Lebih baik Mama mati saja daripada mendengar berita negatif tentangmu,” isaknya sambil menepuk dada sendiri.Aku menggenggam kedua tangannya. “Aku minta maaf, karena nggak bisa jadi anak yang baik buat Mama.”“Aku ja
SasikiranaApa dia ngelamar gue? Ini nggak mimpi, ‘kan? Kenapa tiba-tiba? Apa karena gue masih kelihatan cantik dengan dandanan kayak gini, jadinya dia tertarik?Bibir yang tadi ternganga kini kembali tertutup rapat. Kepala sampai miring ke kiri saking kagetnya. Ini nggak salah dengar, ‘kan? Dia memang mau mengajakku nikah, ‘kan? But why?“Bapak … nggak lagi bercanda, ‘kan?” celetukku masih dalam keadaan bingung.Dia terdiam beberapa saat. Raut wajahnya sekarang tampak kacau. Pasti lagi banyak pikiran. Atau tadi itu cuma mengajak bercanda, karena tahu aku takut dipecat.“Maksudnya, saya mau minta tolong sama kamu,” ujar Pak Melviano sema
MelvianoDi luar dugaan, Sasi ternyata tidak setuju begitu saja dengan tawaran yang diberikan. Sebenarnya dia perempuan seperti apa? Saat banyak wanita ingin mendapatkanku, tapi dia malah menolak. Sungguh aneh dan ajaib gadis itu.Sebentar, apa dia ingin bermain tarik ulur denganku? Jika seperti itu, Sasi salah orang. Dia bermain dengan orang yang salah.Hingga saat ini, dia masih belum menghubungiku. Sebentar lagi waktu sudah menunjukkan pukul 15.00, tapi tidak ada tanda-tanda dari Sasi. Bagaimana jika dia benar-benar tidak mau? Harus dicari ke mana wanita sinting itu?Suara ketukan pintu menyentakkan lamunan. Itu pasti Vidya.“Masuk,” sahutku singkat.“Pak Franky datang, Pak,”
Sasikirana“Bapak kok gitu sih? Perhitungan banget.” Aku mulai kesal karena si Om, malah mengambil kesempatan dengan kejadian ini. “Biaya operasinya 15 juta, Pak. Uang segitu bagi Bapak kecil kok.”Dia mendesah sambil mengusap kening yang ukuran terlihat ideal di parasnya. Aku jadi paham kenapa banyak kaum hawa mengagungkan pria ini, bahkan mau menikah dengannya.“Maaf, Mbak. Bagaimana dengan jaminan biayanya? Pasien sudah harus dioperasi sekarang, karena air ketuban mulai berkurang.” Tiba-tiba bidan datang menghampiri.Aku menoleh dengan tatapan memelas kepada Pak Melviano. Berharap ia mau membantu tanpa pamrih.“Biar saya yang urus administrasinya, Sus,” cetus Pak Melviano membuatku terkejut.Ternyata di balik sikap dinginnya, masih terselip rasa kemanusiaan yang tinggi.“Syukurlah. Mari, Pak. Setelah administrasi selesai, suami pasien bisa menandatangani surat p
MelvianoSetelah menandaskan satu porsi Aburi Oshizushi, aku menyandarkan punggung di kursi. Saat ini kami sedang makan di salah satu restoran masakan Jepang terbaik di Grand Indonesia Mall.Kami? Ya, maksudnya aku dan Sasi.Sekarang dia sedang menyantap Teriyaki Chicken yang dipesannya. Tidak ada percakapan di antara kami semenjak duduk di restoran ini, karena perutku sangat lapar. Energi menjadi habis terkuras ketika berdebat dengannya di rumah sakit.“Udah selesai?” tanyaku ketika melihat piringnya licin.Dia menganggukkan kepala sekali, lalu mengangkat pandangan melihatku.Aku menegakkan tubuh, lalu menumpu siku di atas meja. “Kita bisa diskusikan yang tadi.”“Yang mana ya, Pak?” Aku tahu dia berpura-pura.Jari telunjukku berputar sepuluh centimeter di depan wajahnya. “Kamu jangan pura-pura nggak tahu.”Sasi mengalihkan pandangan ke tempat lain sambil m