LOGIN
“Pak… Tolong pelankan… Ini pertama kalinya bagiku.”
“Pelankan? Bukankah kamu yang membawa kita sampai ke sini?!” Suara desahan itu bercampur dengan derit ranjang dan nafas berat seorang pria dewasa. Katya membeku, tangannya berusaha mencari sandaran di tembok. Suara itu—suara dirinya sendiri—bergema dari layar ponsel di tangannya. Tubuhnya merinding. Tangannya menutup mulut, air mata menetes tanpa suara. “I—ini tak mungkin…” Ponsel di tangannya terlepas, jatuh ke lantai. “Ke—kenapa video itu bisa tersebar?!” Ting! Ting! Ting! Notifikasi bertubi-tubi masuk, memecah sunyi kamarnya. “Katya, video itu… jangan bilang…” “Gila! Kenapa kamu bisa ada di video dengan Pak Erland?!” “Dasar najis! Selama ini nilai kamu bagus karena kamu tidur dengan dosen, ya?!” Dunia yang dulu ia perjuangkan kini menelannya hidup-hidup. Seolah bisa mendengar satu per satu impian yang telah susah payah dia bangun kini berderak ambruk. Tubuhnya luruh di lantai. Ini pasti mimpi. Bagaimana–mungkin?! Sekali lagi dia menatap layar ponsel yang menampilkan adegan itu. Tangannya yang lunglai berusaha keras memukuli tubuhnya yang telah kotor, bahkan Katya jijik pada dirinya sendiri. Dia seperti perempuan murahan yang melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Dan itu... Prof. Erland orang yang sangat dia hormati. Dia telah menghancurkan dosen yang dia kagumi. Yang selama ini begitu baik padanya. Penyesalan itu menerjangnya tanpa ampun. “Andai aku tak menerima tawaran itu lima minggu lalu, mungkin semua ini takkan terjadi....,” ratapnya pilu. Dengan sisa-sisa keteguhan hati yang dia miliki Katya menyeka air matanya. Dia harus menghubungi seseorang... seseorang yang pasti bisa membebaskannya dari masalah ini. Dengan tangan gemetar dia mencari sebuah nama di ponselnya tapi tiba-tiba ponsel itu berbunyi nyaring, kali ini dia tidak bisa mengabaikan panggilan itu. “Sa–saya akan kesana,” katanya terbata saat menjawab. Tangannya terkulai lemas begitu saja dengan masih memegang ponsel. Tamat sudah.. semuanya sia-sia. Dia tak punya lagi jalan untuk lari. Setelah satu bulan lebih memilih mendekam dalam kamar kosnya setelah kejadian malam itu. Ini kali pertama Katya datang lagi ke kampusnya. Kedatangannya disambut tatapan sinis penuh penghakiman dari semua orang, tapi dia harus menguatkan langkah. Entah apapun hasilnya semua akan diputuskan hari ini. “Hei Katya!” Katya menoleh, beberapa mahasiswa menatapnya dengan pandangan kurang ajar. “Kalau sudah selesai semua ini hubungi aku, aku bisa membayarmu mahal untuk memuaskanku.” “Wah tidak bisa bro! Aku bisa membayarnya dua kali lipat darimu.” “Hoi Katya! Perlu bantuanku untuk membuat nomer antrian.” “Buang saja baju buluk itu, tubuhmu lebih indah kalau telanjang.” Katya memejamkan mata, tak sanggup lagi mendengar ucapan-ucapan itu. Kalau dulu dia tidak akan segan untuk menampar mulut lancang mereka, tapi sekarang dia tak akan sanggup melakukannya. Karena ucapan itu memang benar dia berubah menjadi wanita murahan dalam semalam. Dengan tangan gemetar Katya mengetuk pintu ruang rektorat dan dekannya sendiri yang membuka pintu ruangan. “Katya, masuklah kamu sudah ditunggu di dalam.” Gadis itu berjalan dengan langkah goyah, tapi dia masih bisa mendengar ucapan lirih sang dekan. “Kamu kan asisten Erland, bagaimana bisa kamu lakukan itu padanya?” Katya tak menjawab tepatnya dia tak sanggup untuk menjawab, mereka sudah ada di sebuah ruangan bundar yang penuh dengan orang-orang yang menatapnya penuh rasa penasaran, tapi pandangannya kembali jatuh pada sosok yang menatapnya tajam. Prof. Erland. Orang yang sudah dia hancurkan karir dan harga dirinya. “Silahkan duduk di sana,” kata salah satu dosen yang hadir di ruangan itu. Setahunya pihak kampus memang telah membentuk sebuah komite penegakan moral untuk mengadilinya. Seperti robot. Katya hanya melakukan apa yang mereka suruh. Dia duduk di kursi kayu yang telah disediakan menghadap para dosen yang menatapnya penuh penghakiman. Dia tahu bahkan sebelum sidang vonisnya sudah diputuskan. Tak ada lagi peluang. Tak ada lagi harapan. Semua cita-cita dan kerja kerasnya akan terkubur oleh satu kebodohan yang fatal. “Saudari Katya, apa kamu mengakui menjebak Prof Erland?” Katya mengangkat kepalanya, dia memang bersalah. Dia memang bodoh tapi dia harus mengatakan yang sebenarnya. “Ya, saya melakukannya. Saya memberi minuman yang dicampur obat perangsang pada Prof Erland.” Dengungan penuh penghakiman langsung terdengar riuh mengisi ruangan itu, tapi pandangan Katya kembali pada Prof. Erland yang hanya bisa menatapnya antara marah dan tidak percaya. Percayalah Prof, saya juga tidak percaya saya mampu melakukan kekejian ini pada anda. Orang yang telah banyak membantu saya, batin Katya nelangsa. “Jelaskan, kenapa anda nekad melakukannya?” tanya salah satu dosen senior setelah kegaduhan tadi reda. “Karena kami adalah sepasang kekasih.” Kata-kata itu seketika menyentak Katya. Matanya menatap Prof. Erland dengan membulat. Se—sepasang kekasih katanya? Laki-laki itu tidak menyalahkannya sama sekali?! “Benarkah?” “Tentu saja, bukankah banyak yang melihat kami sering bersama. Tapi saya tidak tahu siapa orang iseng yang menyebar video itu,” kembali Prof Erland yang menjawab. Rasa bersalah langsung membanjiri hati Katya. Bagaimana mungkin... dia begitu tega menyakiti laki-laki sebaik ini? “Pak!” Setelah keluar dari ruang rektorat, Katya sengaja mengejar Prof. Erland dia harus menjelaskan semua yang terjadi. “Kamu ingin kita dapat masalah lagi... dengan terlihat bersama.” Ucapan dingin Prof. Erland berhasil menghentikan langkahnya, sesaat Katya lupa dengan mata-mata yang akan menatap mereka penuh rasa penasaran. Dengan pandangan matanya dia masih mengikuti langkah Prof. Erland. Rasa penyesalan kali ini lebih hebat menggerusnya, kenapa Prof. Erland membelanya, hingga dia hanya mendapat sanksi skorsing satu semester kedepan dan bukannya DO seperti yang dia dan banyak orang lain pikirkan. Prof. Erland tidak pantas mendapat perlakuan buruk ini... tidak sama sekali. Dia harus menemui orang itu... orang yang harusnya bertanggung jawab untuk kejadian ini. Andai waktu bisa diulang Katya tak akan menerima tawaran itu. Sungguh dia malu dan marah pada Prof. Erland dan dirinya sendiri. Pikirannya kosong. Ini bukan yang dia inginkan. Dia tidak sejahat ini, tapi bagaimana caranya membuktikan kalau ini adalah rencana Prof. Ben? Tidak ada saksi, apalagi bukti yang dia punya. Hanya ucapan dan keyakinan yang kian lama kian kabur. Bahkan tadi Prof. Ben juga salah satu dosen yang mengadilinya, terlihat sangat tenang dan bijak. Semua orang tak akan mungkin percaya ucapannya. Dosen senior yang terhormat menjadi sutradara dari drama murahan yang diperankan mahasiswi dan juga rekan juniornya. Dia hanya mahasiswi miskin yang punya sedikit kepintaran, tapi sayang sekarang semua orang menganggap kepintarannya itu digunakan untuk membawa dosennya sendiri ke atas ranjang. Tapi Katya percaya serapi apapun kejahatan pasti ada celah, dan dia berjanji akan mencarinya. Demi dirinya dan juga... Prof. Erland.Katya menyadari satu hal. Selama dia menjadi asisten Prof. Erland dia bahkan tak tahu rumahnya. Laki-laki itu terlalu misterius jika menyangkut urusan pribadinya. Prof Erland lebih suka bertemu dengan dengannya di kampus atau cafe. Jalan satu-satunya adalah menghubungi ponselnya dan meminta bertemu. "Apa beliau sudah tidur?" Gumam Katya saat panggilannya tak juga diangkat, jam di layar ponselnya masih menunjukkan pukul sepuluh malam, dan biasanya jam segini Prof. Erland masih berbalas pesan dengannya. Atau beliau tak sudi lagi berhubungan apapun dengannya. Pemikiran itu sangat mengerikan untuk Katya. Bukan salah prof. Erland memang kalau memutuskan seperti itu. Ini memang salahnya. Dan dia akan membawanya sampai kapanpun juga. Wanita itu mendongak menatap langit, dia tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan. Hidupnya sudah hancur tak bersisa. Untuk mengakhiri hidup seperti yang dia lakukan tadi pun dia sama sekali tak punya keberanian lagi. "Pak bisakah kita bertemu sebentar
Perlahan Katya turun dari atas jembatan. Niatnya pupus sudah. Dia tak sanggup menjalani hidup ini tapi untuk mati dia juga tak berani.Keadilan memang sulit dia dapatkan. Pada intinya memang dia yang bodoh mau saja melakukan hal itu. Katya tak pernah punya keinginan untuk membalas dendam. Akan tetapi hatinya begitu sakit saat tahu dia harus menanggung semua akibat kesalahannya seorang diri, sedangkan sutradara dalam drama ini melenggang bebas dan mendapatkan apa yang dia inginkan. Prof. Ben tak berhak mendapatkan proyek itu dan mungkin saja semua proyek yang dia dapatkan dengan cara licik. Dia memang lemah dan tak berdaya tapi semutpun bisa mengalahkan gajah jika dia mau. Dengan semangat itu, Katya kembali menjalankan motornya kali ini dia akan pulang kembali ke rumahnya. Malam belum terlalu tua, jika perkiraannya benar jam delapan malam dia sudah akan sampai ke tempat yang dia tuju. Semoga saja kakaknya sudah pulang kembali ke rumahnya, jadi dia tak perlu ber
"Dari mana saja kamu?! Jangan bawa sifat jalangmu ke rumah ini!!" Katya menghabiskan waktunya dengan berkutat di dapur untuk mempersiapkan semua hidangan dalam do'a bersama. Sang kakak dan para tetangga memperlakukannya seperti virus menular yang mematikan, tak ada dari mereka yang mau dekat-dekat dengannya. Katya sebenarnya tidak keberatan, menyiapkan semua hidangan itu memang kewajibannya sebagai anak. Dia tak mengeluh sedikitpun hanya saja dia ingin sekali mengunjungi makam ibunya... Menuntaskan rasa rindu pada sosok baik hati yang menjadi satu-satunya sandarannya setelah sang ayah berpulang bertahun-tahun yang lalu. Dan tentu saja itu tak bisa dilakukan saat siang hari dengan sang kakak yang masih ada di rumah mengamatinya seperti sipir penjara. "Mbak belum pulang?" "Pulang? Kamu lupa ini rumah ibuku." Katya memejamkan matanya, tubuhnya terlalu lelah untuk berdebat. Rumah ini memang sudah menjadi hak miliknya, bagian dari warisan yang diberikan orang tuanya, tapi
Katya berlari seperti orang gila. Dia bahkan tak peduli berapa orang yang dia tabrak sepanjang lorong ini. Informasi yang dia dapat berhasil membuat tubuh dan jiwanya yang lelah bisa berlari sekuat tenaga untuk mencapai tempat itu, bahkan kalau bisa dia ingin langsung saya menghilang dan muncul di sana, sayang dia hanya manusia biasa bukan jin atau orang sakti yang bisa melakukannya. “Mbak bagaiamana–“ Plakkk!!!Tamparan itu sangat keras. Tubuhnya terhuyung hingga jatuh menabrak tong sampah. Bunyi kontangan menarik lebih banyak orang untuk memperhatikan. Namun tak ada yang tergerak membantunya bangun. Tak ada yang ingin menjelaskan. “Mbak, apa–“Plakkk!!!Lagi-lagi ucapannya tak selesai, sebuah tamparan kembali menyapanya, kali ini dia bisa merasakan cairan asin mulai merembes dari celah bibirnya. Jangan ditanya bagaimana sakitnya, tapi rasa malu lebih mendominasi saat ini, apalagi beberapa orang menyeletuk. “Itukan perempuan yang menggoda dosennya.” “Benar! Aku masih ingat wa
“Pak… Tolong pelankan… Ini pertama kalinya bagiku.”“Pelankan? Bukankah kamu yang membawa kita sampai ke sini?!”Suara desahan itu bercampur dengan derit ranjang dan nafas berat seorang pria dewasa. Katya membeku, tangannya berusaha mencari sandaran di tembok.Suara itu—suara dirinya sendiri—bergema dari layar ponsel di tangannya.Tubuhnya merinding. Tangannya menutup mulut, air mata menetes tanpa suara.“I—ini tak mungkin…” Ponsel di tangannya terlepas, jatuh ke lantai. “Ke—kenapa video itu bisa tersebar?!”Ting! Ting! Ting!Notifikasi bertubi-tubi masuk, memecah sunyi kamarnya.“Katya, video itu… jangan bilang…”“Gila! Kenapa kamu bisa ada di video dengan Pak Erland?!”“Dasar najis! Selama ini nilai kamu bagus karena kamu tidur dengan dosen, ya?!”Dunia yang dulu ia perjuangkan kini menelannya hidup-hidup.Seolah bisa mendengar satu per satu impian yang telah susah payah dia bangun kini berderak ambruk. Tubuhnya luruh di lantai. Ini pasti mimpi. Bagaimana–mungkin?! Sekali lagi dia







