Aku menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan, dada begitu sesak. Harus berbicara dengan bahasa apa, supaya Mami dan Anne paham. "Keputusanku sudah bulat, antara aku dan Angga tidak akan pernah terulang lagi."Semua mata menatapku lekat, termasuk Angga yang kian kalut di sofa yang tengah ia duduki. Sekali lagi maaf, aku sudah kadung kecewa."Aku ... Mohon Ann, beri kesempatan sekali lagi. Aku tahu salah, terlalu menyimpan rasa kasihan terhadap orang lain. Hingga mengabaikan cinta kita," ungkap Angga. Berdiri untuk menghampiri, lantas bersimpuh dengan derai air mata.Kutepis lengan Angga, kasar. Perbuatan manis seperti apapun, sudah tidak akan menggoyahkan keputusanku. Tidak ada tempat, untuk seorang pengkhianat.Mere
"Tunggu Ann ... Percayalah aku dan Anne sudah bercerai. Tinggal menunggu surat resmi, dan setelah itu kita bisa kembali. Kamu mau 'kan?" Demi menanggapi ucapan Angga, aku mendengkus kesal. Dia datang layaknya seorang pengemis cinta, setelah kemarin mencampakkan diriku.Bila kemarin rasaku masih membumbung tinggi untuknya, entah kenapa seiring dengan berjalannya waktu. Cinta itu mulai terkikis, Angga bukan pria idaman seperti yang dulu.Tatapannya yang lekat, jua penuh penyesalan tak lagi mampu membuat hatiku luluh.Mungkin, dia lupa. Bagaimana sifatku, bila sudah kadung tersakiti maka tidak akan mudah untuk bersikap seperti dulu."Pergilah! Aku lagi nggak ada mood, untuk menghadapimu saat ini. Tolong," pintaku, lirih tak mau lagi berhubungan dengan diriny
Pagi yang suram, bahkan untuk pergi bekerjapun rasanya malas. Terlebih di luar rintik hujan mulai menghiasi kota, maklum sebentar lagi orang-orang akan menyambut Natal juga tahun baru.Aku mengenyakkan diri pada sofa ruang tamu, tak ada siapapun karena Papi dan Tante Mita sudah lebih dulu pergi.Tujuan Papi sudah pasti bekerja, sedang Tante Mita apalagi kalau bukan sibuk dengan dunianya yang selalu penuh dengan gemerlap kehidupan.Aku memejamkan mata, perih dada ini kala mengingat bahwa dokter Adi akan menikah dengan Anne.Bodohnya aku, kenapa harus memiliki rasa pada pria yang tak seharusnya?Akhir bulan tinggal beberapa hari lagi, aku ingin tahu prediksi dokter tentang kematian Anne
"Cepat katakan, ada urusan apa hingga kamu minta untuk ketemu?" cecarku, menatap Angga dengan rasa tak suka."Kangen ...," sahutnya, sambil memperlihatkan beberapa poto antara aku dengan dirinya. Sewaktu masih pacaran dulu, "Kamu masih ingat sayang? Lihat, kita begitu bahagia sebelum takdir menjungkir balikkan keadaaan."Aku menggeleng lemah, Angga terlalu melankolis sore ini. Berulang kali ditolak masih saja memaksa, jengah aku jengah!"Kembalilah sayang, demi cinta kita." Angga meraih tanganku dengan erat, seolah tak ingin melepaskan.Kutatap sekeliling danau, sangat sepi dengan matahari yang akan tenggelam. Mendesah resah, ingin segera pergi."Mimpi! Aku nggak mau, dengar!" sahutku, benci sekali dengan paksaanya.
Hari yang sibuk, tentu untuk Papi yang tengah mengurus perihal laporan terkait insiden pelecehan beberapa hari yang lalu.Aku sempat dimintai keterangan, dengan beberapa saksi yang akan semakin menguatkan banyaknya bukti.Aku yang tidak mengerti tentang hukum, manut saja ketika Papi menyarankan ini dan itu. Terpenting, Angga mendapat balasan setimpal dari apa yang dia perbuat.Namun, kejadian tentang di mana aku dan Angga bertemu di rumah Mami. Masih menjadi misteri, apa mungkin mereka memang sudah merencanakan semua ini dari awal?Tidak!Rasanya nggak mungkin Mami sekalut itu, membiarkan anaknya sendiri mengalami pelecehan. Semoga saja kasus berjalan lancar, dengan tidak membawa nama mereka di pe
Papi pulang dengan rasa lelah luar biasa, karena kasihan yang teramat dalam. Kuputuskan untuk memijat pundaknya dengan lembut, sebagai tanda terima kasih atas perjuangannya selama ini.Tante Mita belum jua pulang, memang ia berpesan untuk kembali lebih dari jam biasanya. Tetap saja, itu tak pantas dilakukan seorang istri.Aku masih diam, dengan tangan sibuk memijat Papi. Mood untuk bertanya perihal Angga rasanya menguap, apalagi mendengar penuturan Anne tadi pagi.Mereka pura-pura bercerai untuk apa? Berarti Angga memang bersekongkol dengan Mami dan Anne ... Mungkin, juga termasuk insiden di danau.Aku menggeleng lemah, otakku sudah tak cukup muat untuk dijejali tentang mereka yang terus mencoba menyakiti.
"Ada keperluan apa, hingga dokter datang ke mari? Perihal Anne pasti," tebakku. Yakin tak akan meleset, bukankah semua orang menaruh rasa peduli terhadap dirinya?Aku mengalihkan tatapan ke manapun, asal tidak perlu ke arah sang dokter. Sialnya dia telah berhasil mencuri hatiku, bahkan tanpa permisi!Padahal, kami jarang bertemu. Kenapa rasa itu makin kuat? Mencoba untuk move on, tapi, rasanya teramat sulit."Kamu benar," sahutnya. Sambil menghela napas panjang, terlihat seperti sedang menyimpan beban berat. "Semalam ... Dia jatuh pingsan. Itu karena habis bertengkar di sini, betul?""Memang betul ... Lantas, apa urusannya dengan dokter? Mau ceramah? Sana gih di mesjid," selorohku. Menatapnya sengit, tak habis pikir bisa mencintainya setengah mati.
"Sungguh ... Hatimu baik, bagai Malaikat tak bersayap sayang," puja Papi. Mengelus punggung tanganku lembut, sore yang cerah seolah melukiskan keadaan hati.Seminggu berlalu, dan kasus pelecehan tempo hari sudah usai. Tentu dengan kemenangan berada di pihak kami, Papi memang juara.Namun, aku tak dapat menyeret Mami untuk ikut ke dalam penjara. Mereka sudah terbang ke luar Negeri, melakukan pengobatan Anne.Dan selama itu pula, aku menahan diri untuk tidak datang menemui mereka. Satu hukuman yang harus diterima!Berbagai pesan juga telpon dari Mami, sengaja kuabaikan. Maaf, hatiku sudah lelah. Tak ingin lagi berhubungan dengan kalian!Hari ini, Papi memuji. Karena dengan mudah bisa melepaskan Mami begitu saja, tanpa haru