Sah!
Sah!Sah!"Alhamdulillah." Jantungku berdebar tak karuan, air mata menetes. Usai ijab qobul dilaksanakan, harapku tak banyak hanya ingin langgeng hingga akhir hayat memisahkan.Kucium punggung tangan boss Putra, yang telah resmi menjadi suami. Ada getaran cinta, yang membumbung tinggi. Rasanya, masih tak menyangka akan menikah dengan dirinya.Semua yang hadir. Tampak bahagia, terkecuali Mami dan Anne. Keduanya merenggut, seakan dunia hendak kiamat!Banyak karyawan boss, yang berdatangan.Memberi selamat, jua untaian doa tiada henti. Termasuk Nindy, teman sekaligus sahabat selama masih bekerja di sana.
"Enak banget jadi kamu, Ann. Selalu dikelilingi pria tampan dan kaya, bagi tipsnya dong." Aku menggeleng lemah, ia masih saja seperti dulu. Ketika kami masih bersama, dalam bidang pekerjaan yang sama.Karena banyaknya tamu, tak sempat kuhiraukan celotehan ceria dari mulut NinAku meringis, merasakan perih di sekitar wajah. Dengan bringas, Tante Mita membuat deretan luka di sana.Sedang tubuh, seakan dibuat tak berdaya dengan dua cengkeraman manusia yang tak lain adalah saudara satu darah. Miris!Mami ... aku adalah anakmu juga, terlahir dari rahim yang sama. Kenapa bisa hanya karena penyakit, dirimu berlaku seperti hewan. Ingin menghabisi, darah daging sendiri tanpa memikirkan banyak hal lainnya.Tuhan, izinkan diri untuk tetap hidup. Jelas tak mau, meninggalkan sang kekasih hati yang baru dinikahi hari kemarin.Dalam resah, aku terus melafalkan doa. Ada banyak harapan yang terselip, semoga akan ada bantuan untuk mencegah kejahatan mereka."Luka yang kamu rasakan, tak sebanding dengan apa yang kami alami selama ini!" teriak Tante Mita, penuh penekanan. Sambil mencengkeram, daguku keras.Kukunya yang panjang, lagi-lagi membuat kesakitan di sana. Perih bercampur sedih, seakan bercampur m
Aku merenggut, sebisa mungkin memalingkan wajah ke arah manapun. Asal, tak perlu bertatapan dengan Papi. Pria yang telah membuat hati remuk redam, menghilang disaat diri begitu membutuhkan.Berkali-kali suami meyakinkan. Bahwa beliau tengah sibuk, mengurus laporan terkait tiga manusia yang mendadak menjadi seorang pembunuh!Beruntung, aku masih bisa hidup. Menikmati udara, walau sesaknya belum jua pergi. Lukanya masih menganga, pasti dalam kurun waktu yang panjang.Tepat, di hari kedua setelah kepulangan diriku. Papi, datang. Wajahnya tampak kusut, lelah yang bukan hanya menggerogoti tubuh. Namun, jua hati serta pikiran. Semua seakan terlibat!"Anna, maafkan Papi." Beliau berucap, setelah sekian lama kami terjebak dalam keheningan. Maaf, tidak akan cukup untuk mengobati segala rasa kecewa!"Mereka ... Belum jua ditemukan. Ketiganya kabur, hilang entah ke mana."Bibirku mengatup rapat. Pintar sekali kalian, usai menusuk. Sekaran
Pagi yang mendung, terpaksa menahan aktivitas gerakku bersama suami. Lebih betah di dalam kamar, dalam keadaan tubuh sama-sama polos.Honeymoon kali ini, sangat berkesan. Usai menjebloskan mereka ke dalam penjara, hati sedikit lebih tenang jua damai.Tubuhku terasa lemas, kami bercinta persis seperti orang kesurupan. Tak mengenal waktu, dan terpuaskan hingga semalaman suntuk.Tepat pukul 09.00, perutku terasa lapar. Kami sibuk memuaskan hasrat, lupa dengan perut yang harusnya terisi.Ibu dan Bapak mertua, jua Papi. Memaksa kami untuk honeymoon, berharap akan ada bayi usai perjalanan ini.Aku mengulum senyum, sembari mengguncang tubuh sang suami. Merasa malu, dengan kejadian tadi malam."Hm, jadi berapa say?" tanyanya, sambil sesekali mengucek mata yang enggan untuk terbuka."Sembilan, aku lapar." Dengan manja, aku berucap pelan. Merenggut malas, sebab tak ingin ke mana-mana.Sang pujaan berusaha untuk membuka mata
Ruangan lengang, masih mencerna informasi yang dibawa Papi. Gurat wajah beliau, menunjukan bahwa ia tidak sedang baik-baik saja. Kenapa, sudah menikahpun pria itu masih saja mengganggu?Dulu, mungkin aku pernah mencintainya. Berpikir untuk mati saja, kala ia bersanding dengan Anne. Sekarang, perasaan itu berubah seiring berjalannya waktu. Dan semua terjadi, bukan karena salahku melainkan ada andil dia di dalamnya.Makan sore terasa hambar. Bukan tidak enak, Putra bahkan bilang rasa masakanku mulai membaik. Kedatangan Papi, dengan membawa kabar tersebut."Kita lupakan dulu masalah Angga, kabar kehamilanmu Anna. Itu jauh lebih penting," ucap Papi. Tersenyum getir, meski guratan khawatir belum benar-benar hilang."Itu benar, Ann. Semua akan baik-baik saja, ada aku, Papi, dan semua yang sayang kamu. Pasti akan melindungi sepenuh jiwa dan raga." Putra menepuk dadanya, tampak semangat.Aku terkikik. Menggemaskan sekali suamiku ini, kenapa n
"Lama di penjara, ternyata tidak sama sekali merubah sifatmu Anne." Aku mendengkus sebal, kenapa takdir seakan mempertemukan kembali?Kembaranku itu terkikik. Dia datang seorang diri, "Memang. Apa yang kamu harapkan dariku? Damai? Pelukan hangat? Aww, itu ... Hanya ada dalam mimpimu sayang."Aku mendesah. Menatap seluruh bunga cantik, yang kurawat sepenuh hati. Inilah istanaku sekarang, tidak lagi tinggal bersama mertua ataupun apartemen.Dikaruniai dua anak kembar, perempuan. Empat tahun usia mereka, sedang Anne masih menyendiri. Mungkin, sulit baginya untuk kembali menikah setelah kejadian bersama Angga.Si kembar tengah bermain, mereka tampak akrab dan saling menyayangi. Jauh berbeda denganku dulu bersama Anne, wanita itu kerap merebut semua yang kupunya.Aku meremas kedua tangan, mengingat kejadian dulu. Pemandangan di depan, seakan memutar kenangan dulu bersama Anne. Bedanya mereka akur, kami tidak sama sekali!Didik
"Sayang ...." Panggilan Putra, membuat diri tersadar. Jantung berdebar tak karuan, menatap seseorang yang tengah sibuk memilah buku bacaan.Aku mengucek mata sekali lagi. Benar itu dia, orang kesekian yang kubenci. Pengkhianatannya tak akan pernah kulupa, sial kenapa justru kami harus dipertemukan kembali?"Lihat apa sih, mantan?" Aku meneguk ludah. Buru-buru menggeleng, jangan sampai suami tahu ada siapa di balik punggungnya."Eh ... I-tu, nggak. Terkesima aja sih, lihat buku-buku bagus sampai bingung mau pilih yang mana." Bohong, ya aku salah. Tapi, tak bisa berbuat banyak.Weekend, kami putuskan untuk menghabiskan sebagian waktu di toko buku. Bahkan si kembar yang paling antusias, hal ini sangat baik untuk menumbuhkan minat baca bagi anak-anak."Kamu ini, aku pikir kenapa? Buruan pilih yang mana." Aku melirik sekilas ke arah yang tadi, kosong. Tak ada orang yang pernah hadir di masa lalu, ahh, mungkin sudah pula
"Awwww." Aku menjerit. Netra terasa silau, karena matahari yang menembus melalui jendela. Padahal gorden masih tertutup, sial. Kenapa harus bangun sesiang ini?Menatap jam di dinding. Jam sepuluh lagi, aku kalang kabut. Hendak mandi, hanya saja sudut mata menangkap seseorang yang masih tergeletak."Maaaas." Aku berteriak panik. Bukankah ini senin? Harusnya dia bekerja? Atau, ada meeting. Aku menepuk dahi, buyar sudah keinginan untuk membersihkan diri."Banguuuuun!" Aku mengguncang tubuhnya, sedikit kencang. Putra mengingau, belum sadar dari kenyataan tak baik di awal hari ini."Kenapa sih kamu? Masih pagi, dan udah seheboh itu. Heran!" Putra mendengkus.Kembali memejamkan mata, dasar cowok selalu paling susah untuk urusan kecil seperti saat ini."Sayang, ini tuh udah siang. Bukan pagi lagi, buruan bangun. Kasian si kembar, aku juga harus ngurus mereka." Aku mendesah. Putra perlahan mengucek mata, berusaha duduk dengan menyandarkan punggu
"Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa