Share

Bab 8

 

 

Dengan tubuh bergetar hebat, Papi sedikit memaksaku untuk ikut masuk ke dalam rumahnya. 

 

Apa nanti tanggapan Tante Mita, perihal kedatanganku kali ini? Setelah sekian purnama, yang jelas banyak yang berubah dala diri.

 

Ya benar, Anna Pratama Dewi. Bukan lagi perempuan penakut seperti dulu, akan kutunjukan sedang bersama siapa mereka berhadapan. 

 

Pintu terbuka lebar, saat seseorang membukanya dengan wajah ditekuk. Belum juga apa-apa, tapi, sudah merasa diajak perang. 

 

"Masih ingat kamu sama Papi ... Hebat bener, datang disaat dia sedang berjaya," ucap Tante Mita ketus. 

 

Aku menelan ludah, berpegang tangan dengan kuat. Merasa ketar-ketir, dia lebih buas dari Mami Dewi. 

 

Dan yang paling penting, dia hanya Mami tiri. Ahh, bukankah sama saja? Aku tak pernah merasakan kasih sayang seutuhnya dari sosok bernama Ibu. Miris bukan? Begitulah! 

 

"Hm ... Bukannya disuruh masuk, udah ngegas aja." Yess, Papi membelaku. "Yuk sayang, kita masuk."

 

Kami melangkah bersama, rumah Papi dua kali lipat lebih mewah dibanding Mami. Nggak heran, dia punya Perusahaan di mana-mana.

 

Dan seharusnya aku ikut menikmati, bukan hanya saja istri baru Papi. Sedang diriku mati-matian kerja, di bawah nauangan boss menyebalkan sedunia. 

 

Kerjaan kami tiap hari bertengkar, hingga semua karyawan hafal. Aku mendesah panjang, terkadang kami sereceh itu. 

 

Semoga, ujungnya nggak ada jatuh cinta seperti sinetron yang sering kutonton.

 

"Gimana kamu mau 'kan, tinggal sama Papi?" tanyanya lagi, sedikit mengganggu ketika netra sedang melihat-lihat. 

 

Aku mencebik bibir, nggak tahu harus memutuskan apa! Bukan tak mau hidup dengan Papa, tapi, kehadiran Tante Mita yang juteknya nggak ketulungan itu membuat diri berpikir ulang. 

 

"Udahlah Pi, kalau dia nggak mau jangan dipaksa! Lagian, aku kurang suka kalau ada anakmu." Wah, hemat sekali dia. Teramat jujur, di depan suaminya. Benar-benar Ibu tiri yang kejam! 

 

Papi mendengkus kesal, terlihat sedang menatap Tante Mita dengan tajam. Wanita sosialita, yang tahunya hanya menghabiskan uang.

 

Seharusnya dia sedikit tahu diri, ada yang namanya mantan istri. Tapi, nggak ada tuh mantan anak! 

 

Memilin ujung kaos dengan perasaan tertampar, aku merasa tak diharapkan di. manapun. Nasibku jua berbeda dengan Anne, menerima kenyataan ini cukup banyak menambah rasa sakit yang ada. 

 

"Diam kamu Mita! Aku bisa saja mengusirmu dari rumah, tentu aku lebih memilih Anna. Darah daging sendiri," desis Papi, tak ayal membuat rasaku melayang. 

 

Kini, rasa kecewa berganti kemenangan tak terkira. Apalagi memandang wajahnya yang sok cantik itu, berubah pucat. Kasian!

 

Sekali-kali memang kudu disentil, biar sadar sedang di rumah siapa!

 

 

"Aduh, kenapa Papi mendadak jadi pemarah gini sih? Mami hanya bercanda," ujarnya sambil menghampiri. Mengelus lengan Papi, dan bergelayut manja.

 

Aku mendecih, merasakan apa yang dia buat hanya kepura-puraan semata. Membayangkan tinggal di rumah ini saja, membuatku mual. Gimana beneran? 

 

 

Aku menggeleng, sebisa mungkin harus menolak keinginan Papi. Tak mau tahu, tentang harta yang dia miliki. 

 

Hanya akan fokus dengan kerjaan sendiri, nggak papa punya boss galak. Tapi, soal gaji lumayan besar.

 

"Kalau Anna mau tinggal di sini, nggak apa kok." Drama ikan terbang, mulai terjadi di sini. Kutanggapi ucapan dia dengan malas, bertolak belakang dengan Pagi yang menyambut baik. 

 

Ahh, please Pi. Aku ingin terbebas dulu, nggak mau masuk kandang singa macam dia! 

 

 

***

 

"Apaaaaa? Nggak mau saya boss, enak aja. Dikira cewek apaan!" tolakku, saat mendengar permintaan sang atasan pagi ini. 

 

Selalu saja, berlaku paling sok. Iya sih ditektur, tapi, aku jelas nggak mau jalan sama dia. Terus disuruh pura-pura jadi pacarnya, iyuh ogah! 

 

"Heleh ... Sok banget sih kamu, pasti senang 'kan diajak jalan. Ganteng gini," selorohnya sambil menarik kerah bajunya dengan gaya selangit. 

 

Sumpah, aku ingin muntah. Segera pergi darinya, iya doi emang tampan. Menawan pula, tapi, rasanya nggak mau meskipun hanya pura-pura.

 

"Ayolah Ann, masa kamu nggak kasian sama aku?" Hah aku? Biasa juga ngomongnya formal banget, ini mesti deh karena ada maunya. 

 

Aku mengulum senyum, baru kali ini boss Putra memohon. Dan bersikap baik, ini harus dijadikan sejarah sepanjang masa kerja. 

 

Seharusnya dia sadar, usia sudah 35 tahun. Masih saja hidup menjomblo, udah bagus ada yang mau. Ini malah nolak, dan berharap bantuan dari orang lain. 

 

Aku kembali terkikik, merasa lucu sekali dengan boss galak yang tiba-tiba memohon. Sebuah pemandangan langka, andai Nindy tahu. Hahahahaa. 

 

"Ada yang lucu hah?" tanyanya, sambil menggebrak meja. Jujur, aku kaget. Sialan, "Mikir apa sih kamu? Pokoknya harus mau, kalau nggak. Aku pecat!"

 

Apaaaa? Kok, dipecat? Arggggh, benar-benar boss nggak ada guna. Masa gitu aja, main ancam. Ckckck. 

 

Aku berhitung dengan kondisi hidupku saat ini, bergulir tentang masalah Anne juga Mami. Dan Tante Mita, ahh nggak. 

 

Aku harus tetap kerja, nggak mau jadi miskin. Dan terus, ditertawakan oleh mereka. Tidaaaaak! 

 

"Malam ini banget, boss?" tanyaku, terpaksa demi sebuah pekerjaan.

 

Boss Putra mengukir senyum di bibir, awas jangan terlalu manis. Bahaya kalau aku naksir. 

 

 

"Iyalah, masa nunggu monyet melahirkan unta sih!" katanya, sama sekali tak lucu buatku. "Nih, pake gaun yang udah aku beli."

 

Boss menyodorkan sebuah kotak besar, aku mendesah resah. Tugasku pasti teramat sulit.

 

"Pastikan, mereka yakin kalau kamu memang pacarku. Calon istri deh sekalian, biar perjodohanku batal!" titahnya, dengan enteng. 

 

Dengan amat terpaksa, aku mengambil sebuah kotak tersebut. Membukanya dengan tercengang, gaun panjang yang memang masih terlihat sopan. Cantik, anggun, ahh aku jatuh cinta.

 

"Udah jangan dilihatin terus, entar rusak. Gaun mahal itu," tandasnya, lagi membuat hati geram.

 

Sesuai permintaan boss, kotak tersebut kusimpan di dalam ruangannya. Takut yang lain menaruh curiga, dan kayaknya Nindy nggak harus tahu dulu. 

 

Keluar dengan perasaan tak menentu, aku melangkah di bawah tatapan para staf yang tengah berbisik.

 

Sudah biasa, mereka tahunya aku dan boss usai bertengkar.

 

Halah, kalau tahu pasti nggak bakal percaya.

 

"Ann ... Ada Mami kamu," bisik Nindy sambil menarik lenganku.

 

Asli, aku kaget setengah mati. Gimana bisa Mami sampa seniat itu untuk menemuiku? 

 

Tubuhku lemas, mendadak tak ada gairah. Memikirkan apa yang akan wanita itu katakan, hingga repot datang menemuiku ke kantor.

 

 

Pasti tentang Anne lagi, nggak cukup apa penjelasan Papi kemarin? Masih aja ganggu, dengan perasaan malas juga tegang. 

 

Aku menghampiri Mami, yang katanya sudah menunggu di kantin. 

 

Dari jauh, kulihat ada tiga manusia. Seketika jantungku berdebar kencang, melihat Anne juga Angga yang ikut serta. 

 

Ada apa ini? Mereka mau menyerangku? Sial, sedang diriku belum mempersiapkan segalanya. 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status