Share

Bab 3 Pertemuan Rahasia

Rani mengangkat tubuhnya. Rasa kaget membuatnya spontan berdiri hingga membuat kursi yang tenang jadi berderak jauh ke belakang. Tubuhnya oleng dan kehilangan keseimbangan hingga akhirnya ia jatuh dan duduk bersimpuh di lantai. Kalender yang tadinya ada di tangan pun ikut tergeletak.

“Rani! Apa kamu tidak apa-apa?” Sebuah tangan terulur ke hadapan Rani. Rekan kerja yang bicara dengan Rani sebelumnya menatap wanita itu dengan mata membulat dan alis mengerut.

Rani menyambut uluran tangan itu dengan satu tangan, sementara satu tangan lagi ia gunakan untuk memegang meja kerjanya sebagai penyanggah, agar ia bisa kembali berdiri.

“Terima kasih. Aku tidak apa-apa,” jawab Rani.

“Apa kamu yakin tidak apa-apa?” tanya rekan kerja Rani, sambil memungut kalender yang tidak bersalah dan meletakkannya kembali di atas meja.

Pertanyaan penuh keraguan itu sangat berdasar karena melihat wajah Rani yang melongo dengan tatapan kosong.

Rekan kerja Rani melanjutkan, “Kamu tidak perlu memaksakan dirimu, Rani. Aku paham kalau kamu memiliki banyak pikiran karena besok adalah hari pernikahanmu. Apakah aku perlu membicarakan ini dengan Pak CEO, agar memberikanmu cuti setengah hari?”

Rani menjawab, “Tidak. Aku tidak apa-apa, sungguh….”

Rekan kerja Rani menghela napas pasrah. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melawan kekeraskepalaan wanita itu. “Baiklah. Jika kamu butuh sesuatu, kamu bisa memanggilku,” balasnya.

Rani mengangguk untuk memberikan persetujuan, dan rekan kerjanya pun pergi.

Setelah ia sendirian, Rani langsung mengambil kalender meja yang mengganggunya. Ia menatap barisan angka yang tampak di sana dengan lebih teliti untuk memastikan bahwa ia tidak melewatkan satu hal pun.

“Di sini benar-benar dituliskan tahun 2023. Bukankah sudah lama sejak perayaan tahun 2024 berlalu?” gumam Rani.

Tidak ada yang bisa menjelaskan keanehan itu. Ketika menatap sekelilingnya, semuanya terlihat normal. Hanya dirinya sendiri yang sedang dilanda kebingungan.

Ketika sedang mengamati, Rani menemukan keberadaan meja di hadapannya. Ya, barisan meja yang dua tempat di antaranya diisi oleh orang yang sangat ia kenal, Ivan dan Lidia.

“Ada satu cara yang bisa membantuku memastikan semua ini!” ucap Rani dalam hati.

Rani beranjak dari tempatnya. Dengan langkah yang tegas dan pasti, ia berjalan di lorong menuju ke sebuah tempat.

“Bu Rani, Ibu masih bekerja hari ini?”

“Kenapa Ibu tidak cuti?”

“Selamat untuk pernikahannya besok, Bu.”

“Apakah Ibu sedang mencari Pak Ivan?”

Sepanjang perjalanan, Rani terus saja mendapatkan ucapan-ucapan selamat yang berkaitan dengan pernikahannya. Topik yang kurang menyenangkan itu terpaksa ia jawab dengan senyuman palsu dan tawa yang kaku.

“Di sini tempatnya,” batin Rani.

Rani menatap sebuah pintu tertutup di depannya. Sebuah tempat yang menjadi lokasi strategis untuk sebuah pertemuan rahasia. Saat matanya memperhatikan, ingatan masa lalu terlintas ketika Rani pernah menemukan Ivan dan Lidia keluar melalui pintu itu dalam jarak waktu yang singkat. Ya, situasi yang aneh untuk disebut sebagai suatu kebetulan.

“Di masa lalu aku tidak memikirkannya, tapi bukankah itu adalah bukti yang sangat jelas kalau Ivan dan Lidia sedang berduaan saja di dalam sini?” pikir Rani.

Rani menarik napas panjang, sebelum ia akhirnya mendorong pintu itu.

“….”

Tidak ada apa-apa di sana. Yang ada hanya keheningan dengan barisan anak tangga yang tersusun rapi menuju lantai atas dan lantai bawah.

“Tidak ada apa-apa di sini. Apakah perkiraanku salah?” batin Rani. Sambil memikirkan bangku kosong milik kedua orang itu, Rani lanjut bergumam, “Kalau begitu kemana Ivan dan Lidia pergi?” 

Hasil kosong yang Rani dapatkan membuatnya ingin memikirkan cara lain. Akan tetapi, tepat sebelum ia keluar, ia mendengar suara.

“Mau bagaimana pun aku tidak rela.” 

Suara bisikan seorang wanita sedikit menggema hingga sampai ke telinga Rani. Tidak perlu menebak-nebak, suara yang khas itu adalah milik satu-satunya sahabat yang ia punya, Lidia.

“Tidak bisakah kamu membatalkan pernikahan itu?” tanya Lidia.

Seorang pria menjawab, “Bukankah kita sudah membicarakan ini, Lidia? Aku tahu ini sulit bagimu, tetapi aku harus melakukannya.”

Rani melangkah maju. Rasa penasaran membawa tubuhnya melangkah lebih dekat ke arah sumber suara. Ketika ia menuruni dua anak tangga, penampakan siluet dua insan yang berada di bawah, membuat Rani spontan menekuk kakinya dan berjongkok.

“Tapi bagaimana jika kamu malah jatuh cinta kepada Rani dan tidak mau bercerai?” rengek Lidia.  

“Jatuh cinta kepada Rani? Apakah kamu bercanda? Bagaimana bisa aku jatuh cinta kepada wanita kaku itu?” sangkal Ivan. “Kamu tahu sendiri kalau aku menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, bukan? Aku tidak ingin menyalahkanmu, namun jika saja kamu bisa hamil maka aku tidak akan perlu menikah dengannya.”

Bukannya membaik, suasana hati Lidia justru semakin runyam ketika mendengar pernyataan Ivan. Karena melihat ekspresi muka Lidia yang semakin gelap, Ivan pun kembali berbicara untuk membela diri. 

Pria itu menggunakan kemampuan bicaranya untuk meyakinkan Lidia. Ia berkata, “Kamu tahu ‘kan, kalau Rani mencintaiku? Selama kami menikah, aku akan membuatnya membeli banyak hal. Itu tidak akan sulit baginya karena ia memiliki gaji besar dengan posisinya itu.” 

Kalimat Ivan ditutup dengan senyuman licik yang membanggakan. “Jadi, ketika kami bercerai, aku akan mendapatkan bagian harta dan hak asuh anak. Setelah itu kita bisa menikah dan hidup lebih nyaman dan kaya.”

“Iya, aku tahu,” balas Lidia. “Kamu sudah pernah menjelaskan hal ini kepadaku. Meskipun begitu, tetap saja sulit rasanya untuk menghadiri pernikahan kalian/”

Ivan melebarkan tangannya dan mendekap erat Lidia di dalam pelukan. “Aku tahu. Itu sebabnya aku berterima kasih karena kamu sudah mau banyak mengalah padaku.”

“Kalau begitu, katakan kalau kamu mencintaiku,” pinta Lidia.

Ivan menjawab, “Itu bukan hal yang sulit. Aku akan mengucapkannya berapa kali pun kamu mau. Aku mencintaimu, Lidia.”

Setelah itu, dua insan itu melanjutkan suasana romantis mereka dengan saling mencumbu.

Rani mengernyit. Rasa sakit yang menusuk hatinya terasa sangat perih. Walau begitu, tidak boleh ada terlalu banyak waktu yang digunakan untuk tenggelam dalam rasa sakit. Rani harus memanfaatkan situasi itu dengan sebaik-baiknya.

“Hp! Aku perlu merekam pembicaraan mereka sebagai bukti!” batin Rani.

Rani merogoh-rogoh sekujur tubuhnya, namun ia tidak menemukan ponselnya di mana pun.

“Sial! Dari sekian banyak waktu, kenapa aku kembali ketika aku memakai pakaian ini?!” kesal Rani dalam hati.

Kemeja polos dengan rok span ketat, setelan pakaian formal yang menjadi ciri khasnya dalam bekerja tidak memiliki kantong sama sekali. Tidak ada tempat bagi Rani untuk meletakkan ponsel dalam setelan itu, dan ia teringat kalau ponsel yang paling ia butuhkan sedang berdiam santai di atas meja kerja.

Kekesalan ingin membuat Rani mengutuk. Dan saat tubuhnya grasak-grusuk untuk melakukan pencarian Hp, tangannya membentur pegangan tangga hingga membuat suara yang nyaring dan menggema.

“Suara apa itu?!” seru Lidia.

Rani terkesiap. Karena baru saja menguping rahasia besar, instingnya menyuruh agar ia segera kabur dari tempat itu agar tidak ketahuan. Rani pun mengikuti instingnya dan keluar dari sana dengan tergesa-gesa.

Mata Rani menatap lurus ke arah pintu yang menjadi tempatnya bisa menyelamatkan diri. Namun ada yang aneh! Pintu yang seharusnya tertutup rapat, kini malah memiliki celah yang cukup lebar. Dan ketika Rani mendorong pintu itu…!

Hap!

Rani ingin berteriak kaget ketika ia disambut oleh tubuh besar. Tapi sebelum itu terjadi, mulutnya sudah ditutup rapat oleh pria pemilik tubuh itu rapat-rapat.

“Jangan berteriak dan ikut saya,” bisik pria itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status