Ucapan sang Ibu membuat sepasang mata Serena membeliak, pupilnya bergetar pelan.
“Ma-maksud Ibu–” “Ya. Aku sudah bicara dengan ayahmu, sepakat kalau lebih baik kau dinikahkan saja dengan Tuan Tua Gerk, daripada kau tidak ada gunanya di sini.” Tanpa sadar, Serena gemetar. Dalam ingatannya, Tuan Tua Gerk adalah pria berbahaya, lebih menakutkan dari sang ayah. Taktik dan metodenya yang kejam yang membuatnya mendapatkan posisi penting dalam keluarga. Ia tidak mau hidup terkurung dengan pria seperti Tuan Tua Gerk. Selain itu, kejadian ini tidak ada di kehidupan pertama Serena. Bagaimana bisa? “Ah, jangan khawatir, Putriku. Secepatnya akan aku atur pertemuan antara kau dan Tuan Gerk.” Guina tampak tengah menikmati keterkejutan dan ketakutan Serena, seperti psikopat. “Siapkan dirimu.” Setelah mengatakan itu, Guina keluar meninggalkan kamar sembari tertawa keras. Sementara itu Serena meremas selimut merah mudanya erat. Gadis itu tertunduk. Matanya panas dan air mulai menggenang di sana. Hampir … hampir saja ia merasa senang karena berpikir bahwa sang ibu akan mengakui dirinya. Sekalipun Guina ternyata bukan ibu kandungnya, tapi di waktu ini mereka tidak tahu tentang kenyataan itu. Serena tetaplah anak dari wanita paruh baya tersebut. Ah. Ternyata, sudut hati terdalamnya masih berharap dia bisa diakui. Tanpa bisa ditahan, satu isakan lolos dari bibirnya. Serena mendengar Roderick bergerak lebih dekat ke arahnya dan tiba-tiba, pria itu menepuk puncak kepalanya sekali. “... Jaga sikapmu dan segeralah pulih. Aku akan mengurus Ibu.” Serena tertegun. Ia menggigit bibir bagian bawahnya untuk menahan isakannya dan menarik napas, berusaha menenangkan diri sebelum kemudian mengangguk pelan. Setelahnya, Roderick pergi meninggalkannya sendiri. Kamarnya kembali hening dan Serena jadi bisa berpikir. “Mungkin kejadian kemarin membawa banyak perubahan, jadi muncul peristiwa ini,” pikir Serena saat mencari alasan kenapa tiba-tiba ia akan dinikahkan. “Berarti aku harus pandai-pandai memanfaatkan informasi dari masa depan untuk bertahan.” Gadis itu menatap tangannya di pangkuan, kemudian mengepalkan tangan penuh tekad. Paling tidak, karena memang pertemuan dengan Cecillia tidak akan bisa ia hindari di masa depan sebab itu berhubungan dengan asal usulnya, Serena harus bisa mengumpulkan kekuatan agar dirinya tidak menjadi bodoh dan lemah seperti di kehidupan pertama. Ia masih punya waktu. Ia akan membuang para mata-mata dan pengkhianat, lalu merekrut orang-orang potensial yang akan berjaya di masa depan, lalu mengumpulkan harta agar bisa lepas dari keluarga ini atau siapa pun dan berdiri sendiri. “Aku tidak akan mati,” tekad gadis itu. “Tidak seperti dulu.” *** “Dokter, berapa lama aku harus pakai kursi roda?” Beberapa jam sebelum pesta yang diadakan keluarga Serena dimulai, gadis itu tengah diperiksa oleh dokter. Nada suaranya ramah, tapi hal itu justru membuat sang dokter gemetar dan hampir menjatuhkan suntikan di tangannya seakan-akan ia baru saja melakukan kesalahan fatal. “No-nona akan membaik setelah satu bulan. Pembengkakan akan berlangsung dua sampai tiga minggu.” Sang dokter menjawab tanpa berani menatap Serena. “Tubuh Anda juga baik-baik saja dan sehat. Tampaknya racun yang masuk bukanlah racun berbahaya, hanya racun yang melemahkan saraf untuk sesaat.” Ia menjeda sejenak, tampak ragu. “Boleh dilanjutkan, Dokter,” titah Serena. “Na-namun, ada baiknya Nona tidak memforsir diri di pesta kali ini.” Serena mengangguk. "Baik, terima kasih, Dokter." Setelahnya, sang dokter langsung buru-buru kabur sebelum Serena berubah pikiran. Jika dokter itu menasehatinya di kehidupan pertama, Serena pasti akan langsung tantrum. Semua orang berpendapat bahwa Serena tergila-gila dengan pesta karena ini adalah kesempatannya mencari perhatian. Menyadari itu, Serena hanya bisa membuang napas panjang. "Ah, ternyata sulit memperbaiki citra diri,” gumamnya. Pesta ini memang diadakan untuk Serena–menurut infonya. Tapi sebenarnya ini adalah cara Guina mencari tahu musuh yang menyusup ke mansion Moonstone dan menyuap pelayan Serena. Di masa lalu, mungkin Serena akan salah mengartikan dan mengemis cinta dan perhatian dari semuanya di pesta ini. Namun, ia sudah bukan lagi Serena yang dulu. Kalaupun sekarang dia ingin menarik perhatian orang lain, tujuannya bukan lagi cinta ataupun kasih sayang, melainkan untuk memanfaatkan setiap keberuntungan yang ada. “Kau sudah siap?” Serena menoleh ke arah suara dingin yang familier itu. Roderick tengah berjalan mengampirinya. “Kakak?” Serena terdengar heran. “Kenapa jauh-jauh ke sini?” Tubuh tinggi pria itu tampak menawan dengan sepasang kaki lurus panjang. Tatapan Serena naik ke atas, pada bahu lebar yang dibalut sempurna oleh setelan jas formal. Mau tak mau, Serena harus mengakui bahwa pria itu terlihat gagah dan pastinya akan menyita perhatian para wanita di aula bawah. Roderick berhenti di depan Serena yang tengah duduk di kursi roda. “Aku akan membantumu turun,” ucap pria itu. Pesta memang dilangsungkan di aula di lantai 1, sementara kamar Serena ada di lantai 2. Tadinya, Serena berniat meminta salah seorang penjaga membantunya turun. Ia sama sekali tidak menyangka Roderick akan menghampirinya. Apakah ini juga efek tindakan yang dilakukan Serena setelah ia bangkit dari kematian? “Bukankah Kakak seharusnya mendampingi Ayah saat ini?” tanya Serena. Biasanya mereka mengobrol dengan para mitra bisnis keluarga. “Pesta ini untukmu.” Roderick menyahut. “Aku akan sedikit membantumu agar tidak diremehkan.” Serena tertawa kecil. “Baiklah.” Sebenarnya, sebelum ini Roderick sudah beberapa kali mengobrol dengan Serena setelah gadis itu jatuh dari tangga. Tanpa Serena duga, percakapan mereka cukup menyenangkan, sekalipun Roderick kadang terlihat heran saat Serena mengungkap beberapa ilmu yang ia ketahui tentang racun. Serena menjawab rasa penasaran Roderick mengenai alasan mengapa cangkir beracun Serena disimpan dan tidak dibuang. Jawabannya adalah karena pembuangan sampah keluarga dibedakan berdasar unsur senyawa zat oleh petugas belakang, seandainya dibuang, petugas akan mengetahui. Apalagi racun jenis apapun tetap akan mengganggu unsur api, sehingga api yang membakarnya akan berubah menjadi biru keunguan. Sehingga, opsi terakhir adalah dengan menyimpan barang bukti, lalu membuangnya saat ada kesempatan keluar dari area mansion. Setelah ditelaah lagi, sebenarnya Serena bisa memanfaatkan Roderick untuk bertahan di keluarga ini. Toh, pria itu memang kerap kali berusaha melindunginya. Serena yang sekarang tidak buta akan hal itu. ‘Bagaimana jika aku menggunakan Roderick untuk membatalkan perjodohan juga?’ batin Serena saat Roderick menggendongnya menuruni tangga. “Hei.” Tiba-tiba Roderick bersuara, menyadarkan Serena dari pikirannya. “Apakah tubuhmu memang seringan ini?"Seandainya Serena menerima Zac tadi, maka cinta yang baru bersemi berpotensi layu sekejap mata. Inilah rencana dadakan yang terpikirkan oleh Serena. Permainan ‘tarik dorong’ serta ‘pura-pura bingung dan bimbang’ agar tidak dicurigai. Selama dia bisa menjaga Roderick dan Zachery secara imbang, kedua pria tersebut dapat dipastikan akan selalu ada di sisinya. Persaingan selalu berpotensi menggugah hati lawan jenis untuk semakin bersemangat dalam mengejar. Ini juga tentang ego dan harga diri seorang pria. “Semakin sulit didapat, semakin pula didambakan untuk dimiliki,” gumamnya pelan. Serena bersandar ke bantal empuk, tersenyum sekali lagi. Seperti sebuah novel, cinta tokoh utama pria akan dipatik dan kian mendalam dengan adanya ‘saingan cinta.’ Secara perlahan merubahnya menjadi pria yang lebih seperti budak cinta sejati. Oleh sebab itu, Serena tidak akan gegabah menerima terang-terangan dua pria tersebut. Biarkan mereka bersaing, sedangkan dia dengan senang hati akan meni
“Bisakah kita melewati adegan ciumannya? Kau bisa beralih mencium pipiku saat orang tak melihat.” Ekspresi Zac mengeras lantaran merasa marah atas usul tersebut. Pria tinggi itu hanya diam, mendelik sebentar. Sebelum berbalik pergi mengambil bahan-bahan untuk toping Bruschetta. Serena menggaruk pipinya, berkedip heran. “Kenapa kau diam saja? Aku salah bicara?” Pria yang tengah mencuci tomat di sana lagi-lagi diam membisu. Lalu tiba-tiba menyahut merajuk, “Pikir saja sendiri!” “ .... ” Bukankah pihak lain terlihat marah? Namun karena alasan apa? Serena hanya bilang untuk melewati ciuman— Tunggu ... jangan-jangan ... Sedetik kemudian, Serena Moonstone hampir lunglai jatuh ke lantai. ‘Pria gila ini sudah menyukaiku sejauh itu?’ pikirnya takjub. “Tuan muda, jangan bilang anda ingin berciuman dengan saya?” bertanya ragu-ragu, Serena memandang Zac aneh. Fakta bahwa Zac tertarik padanya saja sudah aneh, apalagi tertarik begitu jauhnya padanya— ini bahkan lebih aneh.
“Mengapa? Spekulasiku kemarin juga benar, ‘kan? Apa salahnya membiarkanmu balas dendam atas namanya?” “Aku juga tidak tahu,” sahut pria di sofa seberang. Sontak, Serena meremas ujung gaun merah mudanya. Berpikir keras, ‘Mungkinkah karena Cecillia tidak dilibatkan?’ pikirnya dalam benak. Ya, sudah pasti. Itu karena Cecillia tidak ikut andil kali ini. Sehingga tak ada yang bisa melunakkan hati keras Tuan Gerk. “Kalau begitu, kita perlu fokus ke penelitian Eve dulu saja,” ujar Serena agak putus asa. “Sekalian mengobati racun pada tubuhmu secara bertahap” Jari Zachery kaku di udara, pria itu melirik Serena. Lalu tersenyum main-main, “Ngomong-ngomong, ternyata kau lebih cerdik dari dugaanku. Sengaja memberi Luca padaku, tapi mengikat Eve di sisimu.” “Kalau aku lebih bodoh darimu, kita akan mati lebih awal di medan perang.” Zachery mendengus pelan. Tidak berdebat sama sekali. Pria tersebut justru mengeluarkan sebuah kotak merah dari saku jas. Ukurannya kecil, tetap
“Lukamu sudah membaik?” Serena berhenti bermain game, mendongak lalu menatap Zac. Ia justru bertanya balik, “Maksudnya?” “Ck,” berdecak kesal sebagai respon. Zachery berkata lebih, “Saat itu wajahmu sangat pucat setiap melihatku. Dokter bilang kelainanmu disebabkan luka psikologis.” Sesaat setelahnya, suasana di dalam mobil berubah hening. Tidak ada suara game lagi, membuat alunan musik terdengar lebih jelas. “Kau!” Zachery menoleh sekilas ke Serena, melotot kesal. Kemudian melengos, “Sia-sia aku khawatir padamu.” “Begitu saja sudah marah?” “Siapa yang marah?” “Anak anjing,” sahut si gadis, mengasal. Sudut bibirnya melengkung ke atas. Tersenyum kecil. Pria itu, yang sedang mengemudi, lantas mendengus. Anehnya tidak berdebat lagi. Sikapnya yang agak jinak hari ini, mengejutkan Serena. Ia memikirian sesuatu, tanpa basa-basi langsung melancarkan serangan. “Apakah anak anjingku yang lucu merajuk saat ini?” bertanya lembut, Serena segera bersandar di bahu kokoh
Dua hari kemudian, Serena menerima berkas dokumen dari Roderick pagi-pagi sekali. “Ini data seseorang yang kamu inginkan tempo hari,” ucap Roderick sambil menyerahkan amplop coklat besar. “Aku harus berangkat ke kantor sekarang, jika ada sesuatu langsung telefon saja.” Sepasang mata boneka masih menahan kantuk, Serena tersenyum seperti orang bodoh dengan kondisi tersebut. “Terima kasih, kakak!” Terlihat konyol, tapi imut. Hati pria berkacamata itu sontak melunak. Senyuman lembut terpatri pada bibir indahnya. Roderick perlahan mencubit pipi gembilnya, “Maaf, penyelidikannya memakan waktu lama. Orang yang kau inginkan ternyata punya banyak identitas palsu.” “Um, tidak apa-apa. Begini saja sudah bagus, yang penting aku dapat alamatnya dan detail kehidupannya.” Serena meringis kala cubitan jari panjang sang kakak makin keras. “Ah, kakak lepaskan! Pipiku sakit!” Linglung oleh kelembutan kulit gadis kecilnya, Roderick tertawa pelan. Dia kemudian membelai pipi bekas cubitannya, “S
“Adikku masih terlalu muda,” celetuk Roderick dari arah belakang Serena. Lengannya melingkari pinggang ramping sang adik posesif. “Lama tak bertemu, tuan muda.” Demian menarik sudut bibirnya, senyumannya tidak mencapai mata. Suaranya beralih acuh tak acuh, “Ya.” Serena dan Daniel terkejut bersamaan. Mengapa rasanya dua pria itu memiliki dendam darah? Roderick melembutkan paras tampannya saat menunduk, “Ayo pulang, orang tua kita sudah menunggu.” “Oh, ah, iya.” Melihat betapa lembutnya sorot mata Roderick. Serena mau tak mau hampir berpikir kakaknya memiliki dua kepribadian. Ia pun berbalik pergi bersama Roderick. Tak lupa melambai sebentar ke Daniel. “Jangan menoleh,” tukas sang kakak. Lengan yang merakul pinggang, berpindah mencekal kepala Serena. Memaksanya menatap ke depan. Serena terkejut, sensifitas kakaknya semakin buruk, kah? Entahlah, dia enggan ambil pusing. Lalu menggosokan keningnya ke bahu Roderick. Bersikap manis dan imut. Seberapa marah kakaknya,