Beranda / Romansa / Kesempatan Kedua untuk Cinta / Bangku di Sudut Ruangan

Share

Bangku di Sudut Ruangan

Penulis: Takhingga19
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-25 18:04:48

"Kemarin restoran Ray tertimpa musibah kebakaran Al..."

"Astaga? Tapi gak ada korban jiwa 'kan?" Alea tampak terkejut karena Sepia memang belum memberitahunya sama sekali.

Sepia menggeleng kecil, ia terlihat menarik napas panjang. 

"Ray bilang dia mau pergi ke restoran. Terus aku ikutin diam-diam, tapi ternyata dia gak pergi ke sana. Dia malah ke apartemen perempuan itu," sorot mata Sepia kembali berkaca.

"Alea, Ray bohong lagi. Dia bilang kalo dia ngelakuin semua itu terpaksa, tapi sikap dia lagi-lagi kayak gitu."

Sepia berbicara pelan dan sehati-hati mungkin, mengingat di depan mereka ada dua anak kecil yang belum dan tidak boleh  mengetahui apa-apa.

Alea juga tidak berbicara banyak, semakin mereka membahas Ray, Sepia semakin terjebak dalam kecemasannya.

"Sudah, tenang Pia. Sekarang kamu disini untuk menenangkan diri, semoga kamu cepat menemukan jalan keluar terbaiknya," Alea mengusap bahu Sepia.

"Eh nostalgia bentar sih, pojok bangku itu." ia mengarahkan telunjuknya ke meja paling pojok dekat kaca, berusaha mengalihkan perhatian Sepia.

 "Sweet date," senyum manis di bibir Alea terkembang sempurna menggoda Sepia untuk mengulum senyum. 

Ingatan Sepia kembali terseret ke masa silam. Bernostalgia sebentar. Tujuh tahun lalu, saat usianya masih sembilan belas. Sebelum ia mengenal Ray. 

"Es krim cokelat kan?" tanya laki-laki yang mengenakan kemeja navy. 

Setelah meletakan kamera mirrorlessnya, ia langsung pergi mengantri memesan es krim. Meninggalkan Sepia yang duduk sendirian dengan hati yang pilu. 

Sepia hanya mengangguk dengan mata merah dan sembab. Sore itu ia telah dimarahi habis-habisan oleh seniornya di kampus hanya karena hal sepele. Hanya karena Sepia dekat dan sering pergi bersama dengan lelaki yang saat ini tengah mengantri mengambil pesanan di depan sana. Namanya Panji. Mahasiswa sastra yang masih satu angkatan dengannya. Mereka berdua terkenal sebagai paparazi paling sadis di Universitas Swasta tempat mereka kuliah.

Panji populer tentu karena parasnya yang rupawan, prestasinya yang segudang dan sikapnya yang terlalu humble kepada perempuan yang notabenenya mudah sekali terbawa perasaan. Panji memiliki ciri khas gigi gingsul plus lesung pipi yang manis. 

"Sudah, jangan cengeng. Kalo nangis malah makin jelek."

Panji meletakan dua cup es krim ke atas meja, menarik kursi dan duduk sembari menertawakan perempuan di hadapannya. 

"Deket sama kamu jadi petaka," keluh Sepia. 

"Ya mesti, namanya juga deket sama orang ganteng, ya kan?" Panji semakin merasa tinggi hati, ia memuji dirinya sendiri. 

Sepia menyipitkan pandangannya, antara kesal dan perasaan sedih bercampur menjadi satu. Sebenernya tangannya sudah geram ingin melayangkan satu pukulan kecil pada lelaki bertubuh jangkung itu. Namun ia tahan. 

"Tingkat kesombonganmu itu loh, bisa diturunkan sedikit tidak?" Sepia berdecih, "Ya Tuhan, kenapa aku bisa banyak projek dengan manusia ini,"

Suara tawa Panji menjadi semakin renyah, "Bersyukurlah Pia. Kamu beruntung bisa satu projek bersamaku. Lihat temanmu yang lain yang satu projek dengan laki-laki lain kan kebanyakan cuma numpang nama. Sedangkan aku, aku bertanggung jawab dan adil. Tampan pula," 

Pia merasa isi perutnya bergejolak hari itu, mual sekali mendengar orang memuja dirinya sendiri. 

"Ya, iya. Untuk masalah itu oke-oke aja. Kamu gak tahu berapa kali aku dijambak sama nenek-nenek lampir di sekolah ha? Kamu gak tahu kan? Berapa sering aku dikunci di toilet, dikerjain di kantin. Mereka semua anarkis dan gila. Kamu gak tahu kan?"

Sepia mengerjapkan mata, membenamkan bulir bening yang terus membuat kedua matanya basah. Ia berganti melipat tangannya di dada. Ada perasaan sedikit lebih lega setelah mengeluarkan sumpalan kata yang selama ini mengganjal di hatinya itu. 

Reaksi Panji pun tak pernah ia duga. Sontak ia menghentikan tawanya dan menatap Sepia dengan begitu serius. 

"Serius? Kenapa gak pernah cerita?" Panji menyondongkan badannya lebih dekat dan nyaris meraih tangan Sepia, hanya saja tangan perempuan itu berpindah meraih sendok es krim, "Kamu gak kenapa-napa kan?"

"Masih nanya nggak kenapa-napa segala lagi. Bisa-bisanya," gerutu Sepia geram. 

"Serius aku gak tahu Pi. Kamu juga kenapa gak pernah cerita?"

Sepia menghela nafas, "Karena kamu gak pernah nanya, untuk apa aku ngasih tahu." 

Panji merotasi bola matanya, "Haduh dasar perempuan. Emang harus ditanya dulu ya?"

Perempuan itu mengangguk singkat, pandangannya hanya fokus dengan cup es krim yang sudah mulai tandas tak bersisa. 

"Aku juga baru tahu loh kalau kamu posting fotoku yang kamu ambil diam-diam itu di instagrammu." protes Sepia lagi. 

Meski pun Sepia juga tahu kalau Panji itu memang hobi sekali fotografi dan banyak foto-foto lain hasil jepretannya yang juga ia unggah di sosial media, namun pada foto Sepia terlihat sangat berbeda dari yang lain. 

"Uhuk!" lelaki itu tersedak. 

"Nah kan, pelan-pelan dong." 

Sepia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya, membukanya dengan cepat lalu Panji segera meraihnya. Rona pipi lelaki itu berubah merah seperti kepiting rebus. 

"Hehe, yah ketahuan deh." ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

"Pantas saja aku jadi bulan-bulanan fans anarkismu," protesnya sekali lagi, "Aku tahu kamu puitis, tapi ya untuk caption fotoku itu bisa lah jangan bikin orang salah paham. Masalahnya itu bukan satu, itu banyak banget. Hampir semua fotoku kamu bubuhi kalimat dalam seperti itu," lanjutnya. 

"Membuat orang lain salah paham? Memangnya siapa?" 

Debar jantung Panji mulai berdegup lebih kencang, dalam hatinya ia berprasangka sendiri apakah sebenarnya perempuan di hadapannya ini sudah memiliki kekasih. 

"Ya ada, fans kamu contohnya." timpal Sepia asal. 

"Apa jangan-jangan orang yang deket sama kamu? Pasangan barangkali?" tanya lagi Panji. 

"Enggak ada. Kalo gak percaya lihat aja nih KTP," Sepia menyahutinya dengan bercanda. 

"Aku serius," ucap lagi Panji dengan nada yang lebih serius. 

Sontak Sepia juga langsung menghentikan tawanya, melihat tatapan lelaki di hadapannya yang begitu dalam membuatnya merasakan desir yang tidak begitu ia mengerti. 

Berani taruhan, pipi Sepia juga memerah ia tersenyum kamu seperti menyembunyikan sesuatu. Sekali lagi ia menggeleng. 

"Aku sebenernya mau bilang ini dari lama," Panji kembali menggantungkan kalimatnya. Hal itu membuat Sepia semakin bertanya-tanya sendiri. 

Dikeramaian itu, hati Sepia berubah menjadi sudut paling sunyi. Kebisingan seolah-olah tengah pamit bersembunyi. Menyisakan dirinya dan segala pertanyaan yang selama ini selalu ia takutkan. 

"Sepia, maukah kamu jadi pasanganku?"

Suara Panji sangat pelan, namun kalimat yang ia utarakan membuat suara-suara lain mengalah dan luruh. Hanya suara Panji saja yang Sepia dengar. 

Perempuan itu tak lantas menjawab, arah pandangannya turun lebih rendah lepas dari sejajar lurus dengan mata Panji. 

"Kamu gak harus jawab sekarang kok, gak apa." tambahnya membuat lidah Sepia semakin kelu saja. 

"Maaf Panji untuk sekarang aku gak bisa."

Sepatah kata itu berhasil membuat Panji layu.

"Kenapa hari itu kamu nolak Panji?" Pertanyaan Alea membuatnya mengerejap. Ia hanya menggeleng, lalu tersenyum tipis. 

"Panji itu siapa tante Ale?" timpal Shabiru. 

Alea dan Sepia saling bersitatap, "Teman tante sama Ibun pas sekolah dulu,"

Shabiru hanya mengangguk, dengan bibir mengerucut membentuk huruf O. 

"Astaga Sepia! Dalam suasana hati seperti ini kenapa masih sempat mikirin lelaki itu! Sial!" serapah Sepia dalam hati. 

Hatinya benar-benar limbung, sakit sekali rasanya. Karena alasan yang sama ia kembali merasa terkhianati. 

Sepia mengusap wajahnya, ia harus tetap ingat bahwa saat ini ia tengah berupaya menata kembali hatinya yang porak-poranda karena orang ketiga. Bukan untuk yang lain, bukan untuk berjumpa lagi dengan sesuatu yang sudah berganti nama menjadi masa lalu. 

Cepat atau lambat Sepia harus pulang, entah itu ke rumah Ray atau ke rumah orang tuanya. 

"Ya Tuhan, redamkanlah rasa sakit yang bersemayam dalam hatiku ini,"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Makan Malam

    Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Ajakan

    Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Malaikat Pelindung

    Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Masa Lalu Kembali Menyapa

    Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Menampik Rasa

    “Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa

  • Kesempatan Kedua untuk Cinta   Pergi Lagi

    Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status