Share

Bangku di Sudut Ruangan

"Kemarin restoran Ray tertimpa musibah kebakaran Al..."

"Astaga? Tapi gak ada korban jiwa 'kan?" Alea tampak terkejut karena Sepia memang belum memberitahunya sama sekali.

Sepia menggeleng kecil, ia terlihat menarik napas panjang. 

"Ray bilang dia mau pergi ke restoran. Terus aku ikutin diam-diam, tapi ternyata dia gak pergi ke sana. Dia malah ke apartemen perempuan itu," sorot mata Sepia kembali berkaca.

"Alea, Ray bohong lagi. Dia bilang kalo dia ngelakuin semua itu terpaksa, tapi sikap dia lagi-lagi kayak gitu."

Sepia berbicara pelan dan sehati-hati mungkin, mengingat di depan mereka ada dua anak kecil yang belum dan tidak boleh  mengetahui apa-apa.

Alea juga tidak berbicara banyak, semakin mereka membahas Ray, Sepia semakin terjebak dalam kecemasannya.

"Sudah, tenang Pia. Sekarang kamu disini untuk menenangkan diri, semoga kamu cepat menemukan jalan keluar terbaiknya," Alea mengusap bahu Sepia.

"Eh nostalgia bentar sih, pojok bangku itu." ia mengarahkan telunjuknya ke meja paling pojok dekat kaca, berusaha mengalihkan perhatian Sepia.

 "Sweet date," senyum manis di bibir Alea terkembang sempurna menggoda Sepia untuk mengulum senyum. 

Ingatan Sepia kembali terseret ke masa silam. Bernostalgia sebentar. Tujuh tahun lalu, saat usianya masih sembilan belas. Sebelum ia mengenal Ray. 

"Es krim cokelat kan?" tanya laki-laki yang mengenakan kemeja navy. 

Setelah meletakan kamera mirrorlessnya, ia langsung pergi mengantri memesan es krim. Meninggalkan Sepia yang duduk sendirian dengan hati yang pilu. 

Sepia hanya mengangguk dengan mata merah dan sembab. Sore itu ia telah dimarahi habis-habisan oleh seniornya di kampus hanya karena hal sepele. Hanya karena Sepia dekat dan sering pergi bersama dengan lelaki yang saat ini tengah mengantri mengambil pesanan di depan sana. Namanya Panji. Mahasiswa sastra yang masih satu angkatan dengannya. Mereka berdua terkenal sebagai paparazi paling sadis di Universitas Swasta tempat mereka kuliah.

Panji populer tentu karena parasnya yang rupawan, prestasinya yang segudang dan sikapnya yang terlalu humble kepada perempuan yang notabenenya mudah sekali terbawa perasaan. Panji memiliki ciri khas gigi gingsul plus lesung pipi yang manis. 

"Sudah, jangan cengeng. Kalo nangis malah makin jelek."

Panji meletakan dua cup es krim ke atas meja, menarik kursi dan duduk sembari menertawakan perempuan di hadapannya. 

"Deket sama kamu jadi petaka," keluh Sepia. 

"Ya mesti, namanya juga deket sama orang ganteng, ya kan?" Panji semakin merasa tinggi hati, ia memuji dirinya sendiri. 

Sepia menyipitkan pandangannya, antara kesal dan perasaan sedih bercampur menjadi satu. Sebenernya tangannya sudah geram ingin melayangkan satu pukulan kecil pada lelaki bertubuh jangkung itu. Namun ia tahan. 

"Tingkat kesombonganmu itu loh, bisa diturunkan sedikit tidak?" Sepia berdecih, "Ya Tuhan, kenapa aku bisa banyak projek dengan manusia ini,"

Suara tawa Panji menjadi semakin renyah, "Bersyukurlah Pia. Kamu beruntung bisa satu projek bersamaku. Lihat temanmu yang lain yang satu projek dengan laki-laki lain kan kebanyakan cuma numpang nama. Sedangkan aku, aku bertanggung jawab dan adil. Tampan pula," 

Pia merasa isi perutnya bergejolak hari itu, mual sekali mendengar orang memuja dirinya sendiri. 

"Ya, iya. Untuk masalah itu oke-oke aja. Kamu gak tahu berapa kali aku dijambak sama nenek-nenek lampir di sekolah ha? Kamu gak tahu kan? Berapa sering aku dikunci di toilet, dikerjain di kantin. Mereka semua anarkis dan gila. Kamu gak tahu kan?"

Sepia mengerjapkan mata, membenamkan bulir bening yang terus membuat kedua matanya basah. Ia berganti melipat tangannya di dada. Ada perasaan sedikit lebih lega setelah mengeluarkan sumpalan kata yang selama ini mengganjal di hatinya itu. 

Reaksi Panji pun tak pernah ia duga. Sontak ia menghentikan tawanya dan menatap Sepia dengan begitu serius. 

"Serius? Kenapa gak pernah cerita?" Panji menyondongkan badannya lebih dekat dan nyaris meraih tangan Sepia, hanya saja tangan perempuan itu berpindah meraih sendok es krim, "Kamu gak kenapa-napa kan?"

"Masih nanya nggak kenapa-napa segala lagi. Bisa-bisanya," gerutu Sepia geram. 

"Serius aku gak tahu Pi. Kamu juga kenapa gak pernah cerita?"

Sepia menghela nafas, "Karena kamu gak pernah nanya, untuk apa aku ngasih tahu." 

Panji merotasi bola matanya, "Haduh dasar perempuan. Emang harus ditanya dulu ya?"

Perempuan itu mengangguk singkat, pandangannya hanya fokus dengan cup es krim yang sudah mulai tandas tak bersisa. 

"Aku juga baru tahu loh kalau kamu posting fotoku yang kamu ambil diam-diam itu di instagrammu." protes Sepia lagi. 

Meski pun Sepia juga tahu kalau Panji itu memang hobi sekali fotografi dan banyak foto-foto lain hasil jepretannya yang juga ia unggah di sosial media, namun pada foto Sepia terlihat sangat berbeda dari yang lain. 

"Uhuk!" lelaki itu tersedak. 

"Nah kan, pelan-pelan dong." 

Sepia mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya, membukanya dengan cepat lalu Panji segera meraihnya. Rona pipi lelaki itu berubah merah seperti kepiting rebus. 

"Hehe, yah ketahuan deh." ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. 

"Pantas saja aku jadi bulan-bulanan fans anarkismu," protesnya sekali lagi, "Aku tahu kamu puitis, tapi ya untuk caption fotoku itu bisa lah jangan bikin orang salah paham. Masalahnya itu bukan satu, itu banyak banget. Hampir semua fotoku kamu bubuhi kalimat dalam seperti itu," lanjutnya. 

"Membuat orang lain salah paham? Memangnya siapa?" 

Debar jantung Panji mulai berdegup lebih kencang, dalam hatinya ia berprasangka sendiri apakah sebenarnya perempuan di hadapannya ini sudah memiliki kekasih. 

"Ya ada, fans kamu contohnya." timpal Sepia asal. 

"Apa jangan-jangan orang yang deket sama kamu? Pasangan barangkali?" tanya lagi Panji. 

"Enggak ada. Kalo gak percaya lihat aja nih KTP," Sepia menyahutinya dengan bercanda. 

"Aku serius," ucap lagi Panji dengan nada yang lebih serius. 

Sontak Sepia juga langsung menghentikan tawanya, melihat tatapan lelaki di hadapannya yang begitu dalam membuatnya merasakan desir yang tidak begitu ia mengerti. 

Berani taruhan, pipi Sepia juga memerah ia tersenyum kamu seperti menyembunyikan sesuatu. Sekali lagi ia menggeleng. 

"Aku sebenernya mau bilang ini dari lama," Panji kembali menggantungkan kalimatnya. Hal itu membuat Sepia semakin bertanya-tanya sendiri. 

Dikeramaian itu, hati Sepia berubah menjadi sudut paling sunyi. Kebisingan seolah-olah tengah pamit bersembunyi. Menyisakan dirinya dan segala pertanyaan yang selama ini selalu ia takutkan. 

"Sepia, maukah kamu jadi pasanganku?"

Suara Panji sangat pelan, namun kalimat yang ia utarakan membuat suara-suara lain mengalah dan luruh. Hanya suara Panji saja yang Sepia dengar. 

Perempuan itu tak lantas menjawab, arah pandangannya turun lebih rendah lepas dari sejajar lurus dengan mata Panji. 

"Kamu gak harus jawab sekarang kok, gak apa." tambahnya membuat lidah Sepia semakin kelu saja. 

"Maaf Panji untuk sekarang aku gak bisa."

Sepatah kata itu berhasil membuat Panji layu.

"Kenapa hari itu kamu nolak Panji?" Pertanyaan Alea membuatnya mengerejap. Ia hanya menggeleng, lalu tersenyum tipis. 

"Panji itu siapa tante Ale?" timpal Shabiru. 

Alea dan Sepia saling bersitatap, "Teman tante sama Ibun pas sekolah dulu,"

Shabiru hanya mengangguk, dengan bibir mengerucut membentuk huruf O. 

"Astaga Sepia! Dalam suasana hati seperti ini kenapa masih sempat mikirin lelaki itu! Sial!" serapah Sepia dalam hati. 

Hatinya benar-benar limbung, sakit sekali rasanya. Karena alasan yang sama ia kembali merasa terkhianati. 

Sepia mengusap wajahnya, ia harus tetap ingat bahwa saat ini ia tengah berupaya menata kembali hatinya yang porak-poranda karena orang ketiga. Bukan untuk yang lain, bukan untuk berjumpa lagi dengan sesuatu yang sudah berganti nama menjadi masa lalu. 

Cepat atau lambat Sepia harus pulang, entah itu ke rumah Ray atau ke rumah orang tuanya. 

"Ya Tuhan, redamkanlah rasa sakit yang bersemayam dalam hatiku ini,"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status