Share

Kesempurnaan Cinta
Kesempurnaan Cinta
Penulis: anisas

Bab 1 : Pada Saat Seperti ini. Aku selalu Yakin, Jika Semua yang berlandaskan Cinta selau akan Berakhir Bahagia

Wanita yang duduk dibawah cahaya rembulan itu, sesekali menengok kebelakang, sudah sejak hampir 30 menit dirinya menunggu sendirian hanya bersama semilir angin malam.

“Anisa.”

Suara lembut namun memiliki aksen berat itu akhirnya mengudara, membuat Anisa menolehkan kepalanya dan tersenyum cerah saat mendapat suaminya berjalan, dengan satu tangkai bunga mawar putih ditangan kanannya, juga kue berbentuk love ditangan kirinya, lengkap juga lilin berwana merah yang menyala.

Angkanya menunjukan angka 10. Jika diingat bagaimana selama itu dirinya hidup bersama Satria. laki-laki yang lembut dan penyanyang, membuat Anisa rasanya tidak merasakan lamanya pernikahan mereka.

Anisa terkikik pelan, “Kamu ini ngapain sih mas?”

Kini tubuh satria mendekat, meletakan kue itu ke atas meja kayu. Kemudian medeku tepat di depan wanitanya yang sudah 10 tahun menemaninya

“Sudah sepuluh tahun, tapi rasanya aku masih mencitai kamu sama seperti pertama kali bertemu.”

Anisa tersipu, dirinya tahu, jika apa yang laki-laki itu katakan barusan bukan hanya sebuah kata pemanis untuk menghidupkan suasana romantis, tapi memang benar-benar seperti apa yang Satria lakukan selama ini.

“Jadi kamu nyiapin ini sendirian gak ngajak-ngajak aku? Padahal ini,kan aniversary kita berdua lho, harusnya siapin sama-sama.”

Perkataan Anisa sepenuhnya benar, tapi Satria menggeleng yang sedikit berada di bawahnya. Satria tersenyum, melihat bagaimana indahnya pahatan rupa dari sang istri, itu selalu menjadi bagian yang membuat hatinya menggebu, apalagi dilihat dari bawah seperti ini, rasanya pahatan indah itu terlihat sangat menawan bersatu dengan cahaya bulan. Satria jadi curiga, jika bulan memang memiliki dua di bumi ini. Yang satu diciptakan untuk menerangi dunia, dan yang satunya lagi diciptakan untuk menerangi dunianya, Satria benar-benar beruntung memiliki Anisa di hidupnya

“Sengaja dong. Aku mau kejutan buat kamu, kejutan banget gak ini?”

Anisa mengangguk, seraya tertawa “Ya,ya. Kejutan banget!”

Satria kini memilih bangun, menuntun istrinya untuk bangun juga dari kursinya, Anisa menurut saja, sampai lengan hangat suaminya itu merengkuhnya hingga menciptakan jarak yang sangat dekat

“Kamu tau gak sih? Kamu itu adalah hal yang tidak ternilai bagi aku.”

Anisa mengangguk “Sejuta kali kayanya kamu udah bilang ini sama aku, gimana aku bisa gak tau.”

Satria terkekeh, membelai surai sang istri dengan gerakan lambat, namun tidak memudarkan sentuhan halusnya yang penuh akan makna kasih sayang

“Aku cinta kamu,” katanya merdu

“Aku juga.”

Kemudian mereka bercumbu, mengizinkan satu sama lain untuk merasakan hangatnya tubuh. Dibawah bulan, dua orang itu sangat dikaruniai banyak cinta oleh sang dewi.

“Besok mau liburan gak?”

Anisa memilih menggeleng, tidak tau kali ini rasanya malas untuk berlibur, meski menolak Satria tetap tersenyum

“Terus kamu mau apa?”

“Kamu sendiri mau apa?”

“Aku?”

Satria tampak menimang, dalam sekejap waktu Satria bersuara lagi “Cukup berdua sama kamu aja rasanya lebih dari cukup.”

“Aku pun begitu.”

“Terus, gak mau kemana-mana gitu?”

“Ada yang ingin aku lakuin,mas.”

“Apa itu?”

Raut wajah Anisa berubah, membuat Satria terheran bingung

“Program kehamilan.”

“Lagi?”

Anisa mengangguk. Nmun kontras dengan Satria, laki-laki itu terdengar menghela napasnya pasrah. Pasalnya sudah berkali-laki Anisa menjalani program kehamilan diberbagai tempat, tapi hasilnya nihil. Hingga usia pernikahannya menginjak 10 tahun, program itu tidak membuahkan hasil apa-apa

Satria bukan tidak ingin berusaha, tapi sudah berkali-kali berusaha dan menaruh harapan tinggi, akhir-akhirnya malah harus kecewa lagi.

Dan kali ini, Satria pikir, tidak perlu lagi berharap kepada apapun, jalani dulu saja semuanya. Urusan jadinya gimana tuhan yang mengatur. Satria hanya ingin kehidupannya tenang bersama Anisa, tanpa memikirkan hal yang membuat keduanya terbebani karena pengharapan dari program kehamilan itu sendiri.

“Anisa dengerin aku. Kita jalani saja dulu, biarkan dulu aja kehidupan kita kaya gini, gak perlu mikirin itu lagi.”

“Tapi mas, sudah seharusnya kita berusaha.”

“Iya, tapi untuk apa, kalo ujungnya nanti kamu sedih lagi, kamu pikir aku baik-baik aja lihat kamu putus asa? Aku lebih baik gak punya anak dari pada harus liat kamu sedih.”

“Mas! Kok bilangnya gitu sih!”

“Nis, aku menikah sama kamu itu buat menyempurnakan kehidupan aku. Cuman itu yang ada diharapan aku, untuk yang lainnya gak ada.”

Satria pikir. Anisa baik-baik saja dengan kehidupannya tanpa seorang putra. Tapi nyatanya jauh, Anisa selalu mendapatkan kecaman dari orang-orang. Apalagi ibu mertuanya

“Aku gak bisa baik-baik aja mas, apalagi menghadapi ibu, pasti dia sangat ingin liat kamu momong bayi.”

Satria melenguh, untuk sejenak dia bisa merasakan bagaimana pahitnya diatas kebahagiannya bersama Anisa. Satria tahu, jika sudah sejak dulu ibunya meminta agar cepat mempunyai keturunan.

“Ibu, pasti mengerti Nis. Kamu jangan khawatir soal itu. Aku dan kamu, semuanya akan selalu tentang aku dan kamu. Tidak ada orang lain satu pun, termasuk ibuku sendiri. Jangan terlalu dipikirin ya, nanti malah kamu yang sakit.”

Anisa masih tidak bisa mengguk dengan apa yang dikatakan Satria. Kehidupannya jauh lebih berat dibanding Satria.

“Anisa,” Satria menatap penuh manik milik Anisa, hanya untuk merelakan dirinya tenggelam begitu saja dalam lautan istrinya

“Untuk saat ini, aku mohon sama kamu. Gak usah pikirin apapun, nikmati aja semuanya. Aku disini baik-baik aja kok.”

Karena, kelembutan Satria. Mampu membuat Anisa mengangguk dan merasa hatinya sedikit kembali tenang.

Satria tidak tanggung-tanggung untuk memeluknya lagi, kemudian menciumi pucuk kepala wanitanya. Satria jelas sangat mengerti perasaan Anisa, seperti apa. Sebab dia adalah suaminya.

Sejenak, Satria terpejam, hanya untuk merasakan kehangatan dari rasa cintanya. Meski pernikahannya tidak kunjung diberi keturunan, namun hal itu tidak begitu saja menyurutkan rasa kebahagiaannya. Satria bersyukur sebab dirinya maupun Anisa masih bisa merasakan keindahan dalam pernikahaannya.

***

Sudah bermit-menit berlalu, sepasang kaki Satria maupun Anisa berjalan diatas marmer pusat perbelanjaan. Sudah sejak tadi pula, Satria menawari Anisa ini dan itu.

Bukannya Anisa menolak keras, akan tetapi Anisa tidak terlalu membutuhkan barang-barang yang ditawari Satria itu. Anisa tahu, menjadi istri dari seorang pemimpin perusahaan besar, membawanya ke hidup dalam kubangan emas, yang seharusnya bisa menikmati betapa nikmatnya kehidupannya. Tapi, masalahnya itu ada pada dirinya sendiri. Entah kenapa sudah selama ini, Anisa merasa terlalu risih untuk kehidupan yang terlalu mewah, dia suka yang sederhana saja.

“Nis, kayanya sepatu kamu perlu diganti deh,” Satria melihat ke bawah, tepat kepada sepatu yang dipakai Anisa

“Perlu diganti kaya gimana, ini juga baru sebulan lalu dibeli kok.”

Anisa tersenyum, seolah itu bukan perkara hal yang perlu dipersulit, namun lihat saja Satria, dia keliatan merengut, sebab apapun yang laki-laki itu tawari selalu Anisa tolak

“Hari ini, hari pernikahan kita. Seharusnya kita seneng-seneng dong, kamu kok kaya gak seneng gitu sih.”

Anisa tertawa gamang, “Aku gak seneng kaya gimana. Nih seneng,” katanya, dengan senyum yang dibuat-buatnya

“Manisnyaaa.”

Satria tersipu, membuat Anisa memukul lengannya begitu saja “Biasa aja.”

“Yaudah sekarang kamu maunya apa, masa cuman muter-muter gak jelas.”

Anisa tersenyum lagi, tapi kali ini senyuman itu memiliki arti seolah dia baru saja menemukan hal yang mau ia lakukan.

“Yuk,ikutin aku.”

Anisa berjalan lebih dulu, dalam langkah Anisa yang berdentum itu, ada secuil rasa terpaksa dari dalam diri Satria. Dia tahu, jika istrinya itu akan pergi kemana.

Supermarket.

Tempat ini, selalu menjadi tempat favorite Anisa. Perempuan itu, lebih senang diajak berbelanja kebutuhan rumah dibanding berlanja tas,sepatu, dan lain sebagainya.

Satria tidak mepermasalahkan itu. Demi apapun. Akan tetapi sifat Anisa yang mendadak plinplan saat akan memilih barang. Padahal hanya ingin membeli kecap manis, tapi kenapa Anisa harus membandingkan yang mana yang lebih worth it. Seperti sekarang ini

“Enaknya yang botol apa yang kemasan kaya gini aja ya,mas?”

Tanpa ragu, Satria bergerak menunjuk kecap botol

“Tapi kayanya banyak yang ini deh,” Anisa malah menyimpan kembali ke atas rak kecap botol itu “Harganya juga lebih murah,” katanya lagi, kemudian lengannya menyimpan kecap kemasan plastik itu ke dalam troli yang di dorong Satria

Satria menengok ke bandul harga kecap manis itu, hanya untuk mendapati wajahnya yang melotot, setengah heran “Padahal cuman beda 100 perak,” kepalanya menggeleng, kemudian kakinya melangkah lagi mengikuti kemana pun istrinya pergi

“Mas, tau gak? Anisa bersuara, saat lengannya memilah sayuran

“Tentang mana sayuran yang lebih gede? Padahal kamu tinggal ambil aja semuanya kalo mau lebih banyak.”

Anisa merasa diledeki, “Bukan itu.”

“Ya terus?”

“Aku suka berhayal aja, pas aku pulang dari supermarket, ada anak yang nanyain jajanan yang aku beli.”

Mendengar suara itu, mendadak membuat hati Satria menipis. Merasa tersayat tapi bukan dalam kalimat yang sarkas, tapi dengan kalimat yang menyebutkan, jika memang kehidupannya sepedih itu

Tangan Anisa terulur, memasukan satu plastik wortel ke dalam troli, dengan begitu pandangannya seolah mengunci pada raut wajah suaminya

“Mas,kenapa?”

Satria langsung merubah ekspresi raut wajahnya, dia tersenyum. Hanya untuk membuat Anisa merasa tidak apa-apa

“Gak papa. Semalam kamu bilang pengen program lagi,kan?” tanyanya seraya berjalan mendorong troli, mengikuti pergerakan Anisa yang sedang memilih sayuran lainnya

Anisa mengangguk, meski wajahnya tidak ia tunjukan kepada Satria, laki-laki itu sudah bisa tahu, jika Anisa sedang menampilkan wajah sedihnya disana

“Tapi kalo kamu gak ngizinin gak pa-pa,” Anisa mengerti, jika apa yang dibicarakan Sartia tidak pernah salah, hanya dirinya saja yang terlalu kekeh dengan keingannya, kadang Anisa terlalu fokus meraih apa yang diinginkannya, sampai dia lupa jika keinginan itu baik atau enggak kedepannya. Dan lagi-lagi Satria yang selalu menuntunnya, untuk tidak tersesat dalam kubangan penuh akan kehancuran

Jika diibaratkan Satria itu seperti apa. Satria itu sudah persis seperti seorang ibu dan ayah baginya. Anisa merasa jika dirinya memiliki suami yang bisa menjadi orang yang melindungi, menyayangi dan merawatnya sepenuh hidupnya.

Satria terlalu memiliki segalanya, dibanding dia yang hanya mampu memberikan kelembutannya sebagai seorang wanita. Anisa belum bisa memberikan lebih dari itu. Memberikan keturunan contohnya.

“Aku gak mau kamu kecewa, Nis,” katanya lembut, meski tebilang pelan. Suara Satria mampu menembus hingga ulu hatinya.

“Aku tau, kamu selalu jaga hati aku buat gak hancur, walau sejatinya hati manusia itu mudah hancur.”

Satria tersenyum, senyuman yang iringi rasa terharu dalam dadanya. Sebanyak apapun kalimat yang ia utarakan untuk Anisa, wanita itu selalu mendengarkan dengan baik, juga menerapkannya dengan baik pula. Itu yang membuat Satria selalu merasakan cinta yang utuh seperti pertama kali bertemu.

“Makasih ya,Nis.”

Anisa menautkan keningnya, tangannya yang menggengam semangka itu rasanya melayang begitu saja. Padahal hanya kata terima kasih, tapi kenapa sampai pada hatinya seperti kata yang mengapresiasi seluruh hidupnya

“Untuk apa? aku lagi diem aja lho ini, cuman milih semangka yang keliatannya manis.”

“Untuk semuanya. Untuk semua yang udah kamu lakuin buat aku, dari yang aku sadari maupun tidak aku sadari. Kamu memang wanita hebat yang selalu berusaha buat suaminya seneng,Nis.” Satria mengatakan itu, karena dia tidak sepenuhnya tau, apa yang Anisa lakukan untuk dirinya, mungkin dibalik itu ada pengorbanan yang Anisa lakukan yang tidak diketahuinya

Untuk saat ini, Anisa rela meninggalkan semangkanya yang sejak tadi dipilihnya, menatap suaminya dengan binar mata yang penuh akan keharuan. Kemudian menghampirinya hanya untuk mengecup pipi Satria yang terasa kenyal.

Satria tersenyum senang, seperti anak kecil yang mendapati mainan baru. selain menyukai Anisa dari segi sifat, Satria juga menyukai Anisa dari segi mencumbunya seperti ini.

“Satu aja nih?”

Anisa tergelak, “Malu diliatin oranglah,” memilih melanjutkan perjalanan lagi menuju rak berikutnya, meninggalkan Satria dengan wajah merayunya, minta untuk dikecup lagi

“Nis?”

“Apa?” Anisa tidak menoleh, dia terlalu fokus memilih ikan mana yang lebih segar lalu yang terlihat lebih murah

“Kamu mau beli semuanya pun aku sanggup bayarin. Kamu gak perlu milih-milih kaya gitu.”

“Aku tau.”

“Yaudah ambil aja semuanya.”

“Gak bisa gitu dong, ini kalo misalnya ikannya busukkan percuma.”

“Gak papa. Bisa beli lagi, laut indonesia masih luas, kamu tingkahnya udah kaya besok gak ada yang jual ikan lagi aja.”

Anisa tergelak, “Kamu mau yang mana?”

“Terserah kamu aja, aku suka kok.”

“Oke, tapi awas kalo berakhir aku kasih ini ke kucing, gara-gara kamu gak makan.”

Satria tertawa, merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Satria memang tidak pemilih dalam makanan, tapi Satria adalah orang yang mau makan ketika sedang mood saja. Walaupun Anisa sudah masak makanan kesukaannya, kalau moodnya sedang tidak mau makan itu, Satria akan minta makan dengan telur ceplok. Dan berakhir makanan itu harus Anisa berikan kepada satpam komplek

“Kamu kan bisa makan, gak perlu kasih kucing.”

“Aku gak doyan ikan,mas.”

Dengan seenaknya, Satria meletakan ikan itu lagi yang tadi sudah Anisa masukan ke dalam trolinya “Yaudah jangan kamu ambil.”

“Kamu kan suka.”

“Gak papa kok, yang lain aja.” 

Anisa hanya membiarkan suaminya itu meletakan kembali ikan yang akan dibelinya, dengan senyum yang terukir, senyum itu seperti mengisyaratkan jika apa yang dilakukan Satria akan selalu membuat hatinya menghangat. Anisa tahu, maksud Satria meletakan ikan itu kembali,hanya untuk membuat Anisa nyaman, karena sebab itu tadi, jika Satria tidak ingin memakannya Anisa tidak perlu repot-repot menangisi masakan ikannya yang berakhir dimakan oleh kucing.

Ponsel berdering, di dalam saku celana Satria, membuat langkah kakinya terhenti begitu saja, yang otomatis membuat langkah Anisa juga ikut terhenti

“Siapa mas?”

“Ibu.”

Anisa mengangguk, seraya melihat suaminya yang kini sedang mengangkat sambungan telpon itu. Anisa bersedia menunggu suaminya itu selesai bicara. Melihat jika yang dikatakan Satria hanya kata iya saja, cukup mengundang banyak tanya dalam benaknya, lantas saat benda pipih itu kembali masuk ke dalam saku celana suaminya, Anisa buru-buru menanyakan

“Ada apa, katanya?”

“Ibu nyuruh kita ke rumah, katanya ada yang perlu dibicarakan.”

Sejak saat itu, perasaan Anisa mendadak tidak enak. Entah atas dasar apa, yang jelas untuk mengecap kelagaan dalam hatinya rasanya sulit.

NEXT

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status