Share

Bab 9

Penulis: Ciang #17
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-06 01:40:22

Ternyata yang menjadi masalah utama adalah bukan kepindahanku! tapi uang. Bagaimanpun kondisi itu hampir saja membuatku putus sekolah. Di tambah lagi, aku punya masalah dengan diriku__aku punya ego yang terlalu tinggi.

Dengan sedikit keterpaksaan! Ibuku segera mengurus kepindahan ku ke SMA Negeri 11 Ambon. Demi mengurus semua itu, beliau sampai harus menjual emas pemberian dari kakak ku.

Bagi orang kaya__1 atau 2 juta adalah sesuatu yang mudah di dapatkan. Tapi bagi keluarga miskin__itu sangat sulit! Keluargaku benar – benar miskin__coba bayangkan! Hanya untuk mengrus kepindahan ku__itu membutuhkan biaya hampir 2 juta, dan Beliau tidak punyak uang sebanyak itu.

Penghasilannya setiap hari hanya cukup untuk makan__tak ada simpanan__tak ada rencana ini dan itu__yang ada hanyalah terus mencoba bertahan hidup. Terpaksa beliau harus menjual emas.

Aku merasa sedikit bersalah, tapi aku tidak punya pilihan__aku harus pindah. Seiring berjalannya waktu, semuanya kembali normal, aku resmi menjadi siswa SMA Negeri 11 Ambon.

Di awal – awal kepindahanku, setiap pulang sekolah, aku dan teman – teman yang lain sering nongkrong di terminal! Banyak angkutan umum yang hilir mudik disini, kebetulan juga berdekatan dengan pasar mardika.

Kami sering tawuran__itulah aktivitas baruku selepas pulang__tapi lebih dari itu ada seseorang yang kucari! Aku sangat bernafsu ingin bertemu dengan orang itu.

Tapi sampai memasuki hari kelulusan__bahkan sampai saat ini__aku tidak pernah lagi bertemu dengannya__semenjak peristiwa di gedung tua! Aku selalu mencari Stelon__ah, sudahlah, sepertinya aku harus berdamai dengan diriku.

Dan juga ada kabar yang membuatku cukup terkejut. Aku mengetahui kabar itu saat kami sudah beranjak di kelas 12. Julio dan teman – teman yang lain memintaku bertemu dengan mereka di depan halaman SMA Negeri 1 Ambon. Setibaku disana, tanpa basa basi lagi__Julio menceritakan semuanya.

Ternyata setelah aku pindah, peristiwa yang menimpah Lerry terjadi lagi, kali ini korbannya adalah orang lain tapi masih di kelas yang sama, mereka sudah tau siapa pelakunya, kemungkinan besar, orang yang mencuri ponselnya Lerry adalah orang yang sama.

Aku sedikit lega mendengar ceritanya. Perlahan - lahan waktulah yang bisa menjadi saksi atas semua yang telah aku alami! Waktu jualah yang mengungkap semuanya. Aku legah, setidaknya untuk kedepannya__aku bisa menjalani hidupku dengan baik__tanpa harus merasa terbebani.

Julio sempat bercanda untuk memintaku kembali, aku hanya tersenyum__rasanya sangat tidak mungkin aku bisa pindah lagi ke sekolah lamaku. Hari itu Kami banyak bercerita, bercanda dan tertawa lepas.

Mereka merindukan sosok orang sepertiku, ya, aku juga merindukan mereka. Untuk melepas rasa rindu__aku, Julio, Dedi dan Theo menuju lapangan merdeka untuk bermain basket! Itulah yang biasa kami lakukan__dulu, sebelum ada masalah ponsel__kami berempat adalah salah satu tim basket.

Kami pernah mengikuti lomba 17 Agustus antar kelas 10 dan beberap kali juga mengikuti turnamen basket antar sekolah.

Julio pernah memberiku salah satu jersey basket favoritnya dan aku masih menyimpannya sampai sekarang.

Tanpa terasa kami bermain selama 30 menit! Dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat kami mandi keringat. Setelah itu__kami pulang kerumah masing – masing.

Di lain kesempatan kami pasti akan bertemu lagi. Waktu berlalu begitu cepat, perlahan – lahan aku mulai merubah sikapku, aku berusaha menjadi siswa yang baik meski tidak total, dan itu membuahkan hasil, aku dinyatakan lulus dengan nilai yang yang memuaskan. Usaha yang tidak sia – sia__

Setelah mengisi formulir pendaftarann, aku dan Kakak Rustam berpamitan.

“Semoga kita berdua bisa bertemu lagi Nak. Ah, Tentu saja kita akan bertemu lagi. Kau akan segera menjadi mahasiswa dan itu sudah pasti” Bapak berkumis tebal tersenyum ramah padaku, aku hanya mengangguk, sepertinya Bapak berkumis tebal itu sedikit kagum denganku.

Tapi apa kalian tahu? Itu adalah malam pertama dan terakhir aku bertemu dengan Bapak berkumis tebal.

1 jam berlalu, Dosen yang seharusnya mengajar belum datang. Aku menarik nafas panjang – panjang. berusaha tetap sabar menunggu. 2 jam berlalu, batang hidungnya tak juga muncul.

Pikiranku sudah kemana – kemana.

Sabar Ciang, sabar, sabaaaar, hatiku mencoba menenangkan, Seperti tahu pikiranku yang sudah mulai kacau.

Akhirnya Dosen yang di tunggu-tunggu datang juga__pelajaran dimulai. Keesokan harinya, hal yang sama terulang lagi__dan itu berlangsung sampai hari kelima.

Kalau boleh jujur!! Sebenarnya aku benar - benar tidak tahan lagi harus menunggu setiap hari! Aku tahu ilmu itu mahal! Tapi apa harus seperti ini? Aku masuk kampus ini juga bayar_€secara teknis kami para mahasiswalah yang menggaji mereka, dan seperti inikah sikap mereka? Apa menjadi mahasiswa harus sesabar ini? Apa setiap hari aku harus menunggu, menuggu dan menunggu?

Pukul 11:15 siang__aku sudah berada di kampus, dan untuk menunggu mata kuliah pertama saja aku harus menunggu 2-3 jam. Belum lagi untuk mata kuliah berikutnya.

Aku mengumpat sejadi - jadinya dalam hati.

Dulu saat masih SMA! banyak yang bilang menjadi mahasiswa itu menyenangkan, serba asyik, tapi yang aku rasakan justru berbanding terbalik.

Ini benar – benar mengganggu pikiranku. Sampai Memasuki hari kelima, aku muak, aku tidak tahan lagi. Aku memutuskan pulang__aku tidak peduli lagi! Aku sudah terlalu muak dan lelah harus menunggu, menunggu dan menunggu! Persetan dengan kuliah. Masa bodoh dengan impian.

Aku memutuskan drop out.

Jika bukan karena Kakak Rustam, mungkin aku tidak akan mendaftar di Unidar.

Sejujurnya, setelah lulus SMA, aku ingin sekali melanjutkan pendidikan di London School! Tapi karena masalah biaya__aku tidak bisa melanjutkannya.

Ya, mau tidak mau aku mengikuti saran dari Kakak Rustam dan menolak semua tawaran yang datang__hanya mengikuti ego tanpa memikirkan apapun kemungkinan – kemungkinan yang terjadi.

Setelah menjalani status baru sebagai mahasiswa dari kampus yang bukan kampus favoritku! Aku sadar bahwa aku telah membuat kesalahan yang sama__dan lagi – lagi rasa penyesalan datang menghampiri.

Ya, Tuhan, tadinya aku mengira setelah melepas seragam abu abu! Semuanya akan berjalan sesuai dengan yang aku harapakan. Aku lelah, muak, bosan, entahlah.

Aku hanya ingin sendiri__aku ingin pergi. Aku sudah mengubur impianku dalam – dalam. Tak ada lagi cita – cita. Kehidupan seakan tidak pernah berpihak padaku. Rasanya baru kemarin aku menarik – narik lendir di hidungku__dan sekarang harus bertarung dengan diriku sendiri__menghadapi kerasnya kehidupan.

Bersambung #Maafkan Aku Qilla

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 35

    Alhamdulillah setibanya di Ambon, beliau langsung di bantu oleh Ayahnya Ahmad. Rumah pengungsi yang di janjikan pemerintah benar – benar dibangun, dengan ukuran 2×3m per unit. Sebagian orang mungkin akan bertanya – tanya mengapa rumah pengungsi yang dibangun terlalu kecil! Apa jadinya bila satu kepala keluarga berjumlah 4 atau 5 orang atau bahkan lebih. Karena ukurannya yang terbilang kecil, ada sebagian warga yang memilih untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Entah itu dengan mengontrak rumah atau hanya sekedar mencari kerabat dekat. Meskipun terbilang kecil setidaknya ada hunian, bukan! Kebetulan saat itu Ayahnya Ahmad adalah kepala RT di komplek pengungsian. Ibuku diberikan satu unit. Biar bagaimanapun, Ibuku adalah korban dari kerusuhan kota Ambon dan sudah seharusnya beliau mendapatkan bagiannya. *** Setelah Ibu menjelaskan keadaan kami. Alahamdulillah pamanku tidak keberatan, toh juga si Adit hanya mampir. Beliau meminta agar Ibuku tidak perlu repot – repot mengurus si

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 34

    Sebelum matahari terbit, aku langsung menuju pasar. Pagi ini aku sendirian, aku tidak mengajak Fahri ataupun Umar. Mereka masih tidur. Terlalu pulas untuk dibangunkan. Lagipula tidak ada lagi taruhan diantara mereka. Juli juga tidak pernah lagi bermalam disini. Dan itu membuat Umar tidak mempunyai partner untuk bertaruh dengan Fahri. Orang – orang mulai memadati pasar. Dari pedagang, pembeli hingga orang – orang yang hanya sekedar mampir untuk memanjakan mata. Semuanya menyatuh dalam satu frame.Ratusan kata terdengar samar – samar ditelingaku. Ada yang sedang menawar harga barang karena ingin membeli, ada juga yang hanya sekedar iseng menawar seakan ingin membeli dan itu sudah menjadi seni layaknya musik pengantar. Seakan ingin memberikan sentuhan terakhir, suara roda dua dan empat tidak luput dari perhatianku. Bukan karena itu mobil sport atau harley davidson, akan sangat lucu jika itu benar - benar terjadi. Itu hanyalah angkutan umum dan ojek yang selalu setia menunggu penumpang.

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 33

    “Apa istrimu memang selalu seperti itu! Atau,, apa karena aku membeli ini?” aku segera melontarkan pertanyaan saat aku turun dari motornya sambil menunjukan ponsel yang baru saja aku beli beberapa waktu yang lalu. Sebenarnya aku sudah ingin bertanya sejak aku masih berada di rumahnya, tapi urung karena aku rasa itu akan terlihat sedikit tidak sopan, aku juga tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dan aku rasa sekarang adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Sejujurnya aku tidak akan terlalu perduli jika saja ini terjadi kepada orang lain. Tapi biar bagaimanapun dia adalah iparku, istri dari kakak kandungku. Aku tidak bisa diam saja sebagaimana biasanya aku bersikap. Kebetulan di halaman rumah ada beberapa kursi, kami segera duduk. Dia merabah sak celananya, meraih bungkusan rokok, mengambil sebatang. Pangkal bibirnya mengapit bagian filter kemudian menyalahkan pematik sebelum satu tarikan itu menyemburkan asap yang cukup menutup sebagian wajahnya. “Aku rasa pertanyaanmu suda

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 32

    Menerutku, pemicunya tidak lain adalah karena hubungan darah. Alih – alih memikirkan hubungan darah, skenario terburuknya bahkan kalian akan di peralat. Berbisnis dengan keluarga lebih cenderung berakhir dengan perselisihan. Rasa was – was tidak akan terhindarkan. Ya, tapi kembali lagi, selama bisa me_manage hubungan darah dalam bisnis, aku rasa semuanya akan baik – baik saja. Lain lagi ceritanya jika membangun sebuah bisnis dan bekerja sama dengan orang luar, kedua bela pihak akan saling terbuka dan berusaha meminimalisir kesalah pahaman. Pritoritasnya adalah kepercayaan. Dari pada hanya sekedar memanfaatkan keuntungan pribadi, mereka akan lebih cenderung meningkatkan progres usaha yang di jalankan. Kalaupun ada yang berani bermain di belakang, itu karena memang dari awal sudah di rencanakan. Tapi kemabli lagi kepada diri sendiri. Selama tidak ada niatan untuk memanfaat kerabat atau pun orang luar! Tidak akan ada keriguan yang berarti. Setidaknya semuanya akan baik – baik saja, buk

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 31

    Aku tidak perduli bagaimana sistem gaji disini khususnya bagi pedagang orang buton yang menyimpan gaji karyawan dengan iming – iming akan di berikan saat mereka pulang kampung atau paling tidak harus bertahan selama 3 tahun dengan imbalan akan di bantu menjajaki usaha dengan bantuan modal. Jadi begini! Pertama, setelah karyawan kios mampu bertahan selama 3 tahun. Mereka akan diberikan tanggung jawab untuk menjalankan sebuah usaha. Dalam hal ini mereka akan di berikan kios untuk di jalankan sendiri tanpa campur tangan orang lain. Mulai dari biaya kontrak kios hingga barang – barang yang di perlukan sesuai dengan kebutuhan pasar. Kedua, mereka akan di minta untuk mengisi barang – barang yang di butuhkan. Karena baru akan memulai sebuah usaha. Mereka tidak di berikan pilihan selain mengambil barang dari sang Bos. Setelah semua keperluan sudah terlaksana, Barulah sang Bos dan karyawan akan menghitung semua biaya yang di keluarkan. Biasanya, seorang karyawan di gaji Rp. 300.000/bulan. K

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 30

    Saat aku menatap salah satu di antara mereka, aku tersenyum sambil sedikit membungkukan badan, berlalu mengikuti Kakak Ku. Selanjutnya aku asyik menonton melihatnya memasak.Fahri sudah pernah memberitahuku soal Kakak ku yang jago memasak. Dia menyalahkan kompor, menyiapkan wajan, tak lupa juga menuangkan minyak goreng.Aku mengamatinya dengan cermat, barangkali saja aku bisa sedkit belajar. Sambil menunggu minyak di panaskan. Dia menuangkan tepung bumbu di baskom mini, sepertinya dia akan membuat filet udang.Pyak,, pyak,, pyak!Suara itu terdengar mendominasi saat udang yang memang sudah di baluri tepung bumbu berenang ke dalam minyak yang sudah panas. Sambil menunggu, Perhatiannya teralihkan, dia mengambil pisau dan talenan.Mengiris beberapa bawang, cabe dan tomat. Tidak akan berlebihan jika aku berkata bahwa aku sedang menyaksikan perlombaan memasak, hanya saja kontestan yang mengikuti lomba hanya dia sendiri. Hehehe!Dia mengambi

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 29

    Ada begitu banyak gadis di pasar baru. Dan diantara mereka belum ada yang membuat jantungku berdebar, atau paling tidak membuatku tertarik. Ya, mungkin karena di hatiku masih ada Qilla. Meskipun aku belum mendengar kabar tantang Qilla, rasanya terlalu naif jika aku mengatakan bahwa aku tidak merindukannya. Aku sangat rindu padanya. Meskipun dia tidak pernah lagi mengabariku, aku pasti akan mencarinya setibaku di Ambon nanti. Entah 1, 2 atau 3 tahun berada disini aku tetap akan mencarinya. Aku butuh penjelasan. Lagi pula tidak akan semudah itu menghilangkan perasaan yang sudah tertanam selama 3 tahun. Namun, Seakan semua perasaanku untuk Qilla tidak berarti apa – apa! Gadis itu mampu menyihirku hanya dengan mendengar suara dan namanya. Aku masih tidak begitu mengerti dengan apa yang aku alami saat ini! Rasanya terlalu rumit. *** Beberepa keluarga berkumpul di bagian belakang. Mereka sedang asyik nonton TV. Pemandangan yang tidak begitu berbeda deng

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 28

    Siapa sebenarnya gadis ini? Mengapa hatiku seolah – olah sedang mencarinya! Apa karena aku kesepian? Ah, tidak! Menurutku itu bukan alasan yang tepat. Di pasar baru, Sentani, aku sering melihat banyak gadis. Selain para anak mudah, ada juga gadis – gadis yang merantau atau paling tidak, mereka mengikuti keluarga mereka untuk datang kesini. Ada yang fokus melanjutkan pendidikan, ada juga yang sekedar menjaga kios untuk mencari pengalaman. Mereka adalah gadis – gadis Buton yang baru menapakan kaki di kota. Bicara soal karakter, mereka masih terlampau jauh dengan gadis – gadis kota. Mereka masih harus banyak belajar. Lupakan soal attitude! Aku pribadi tidak begitu tertarik dengan mereka. Bukan karena aku membenci mereka! Tapi aku pernah berjanji tidak akan menjalin hubungan asmara dengan gadis Buton, dan aku tidak punya alasan yang jelas untuk itu. Ya, meskipun begitu, aku mengakui 4 dari 10 di antaranya masih terlihat sedap di pandang. It

  • Ketika Adat Menentang Cinta   Bab 27

    Selama ini aku tidak pernah berinteraksi langsung dengan mereka. Lebih tepatnya aku belum mengenal Kakak Ipar ku dengan baik. Meskipun aku selalu menyetor hasil penjualan barang kepadanya selama Kakak ku berada di Ambon. Aku hampir tidak pernah berbasa – basi dengannya. Jarak antara rumah Kakak ku dan tempat tinggalku sebenarnya tidak terlala jauh. Masih bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Kebetulan satu arah dengan pasar baru, Sentani. Dia hanyalah seorang pria yang menurutku terlalu malas untuk berjalan. Itu bisa di lihat dari tubuhnya yang gempal dan perutnya yang semakin buncit. Apa jadinya jika aku memiliki tubuh yang sama dengannya. Memikirkannya saja membuatku merasa ngeri. Mereka tinggal di sebuah ruko. Jika aku tidak salah, panjang bangunannya kurang lebih 20 meter dan untuk lebarnya sendiri aku tidak begitu yaikin berapa meter! Karena semakin kebelakang, bangunannya semakin lebar. Yang jelas lebar pintu depannya mungkin sekitar 5 atau 6

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status