ログインMalam turun perlahan di kediaman Keluarga Han. Di dalam, cahaya lilin berpendar hangat, menerangi meja makan yang kini hanya tersisa tiga orang yaitu Nyonya Besar Han, Han Feng, dan Bai Xiang.Nyonya Han menatap keduanya dengan tatapan puas. Di depan mereka, mangkuk-mangkuk porselen telah kosong. “Sudah malam,” ujar Nyonya Han sambil meneguk tehnya perlahan. “Kalian berdua harus beristirahat. Kamar kalian sudah disiapkan. Malam ini, aku ingin mendengar kabar baik.”Bai Xiang menunduk cepat, wajahnya memerah. “Ibu, aku —” katanya tergagap, namun tak sempat melanjutkan.“Tidak ada alasan,” sela Nyonya Han cepat sambil menepuk tangan. “Mulai malam ini, kalian tidur di kamar yang sama. Suami istri tidak pantas tidur terpisah." Han Feng berdeham, mencoba memotong. “Ibu, ini terlalu terburu-buru. Kami baru saja—”“Tidak ada yang terburu-buru,” sela ibunya, kali ini dengan nada menggoda. “Keluarga Han menanti cucu. Ibu sudah cukup tua untuk menggendong bayi.”Nyonya Han mendekat dan berbis
Sore itu, angin berembus lembut di halaman kediaman Keluarga Han. Di ruang utama, Han Feng, yang baru tiba dari Markas Longyan, memberi hormat kepada ibunya, Nyonya Besar Han, yang duduk di kursi berukir naga dengan senyum hangat di wajahnya. Sementara itu, Bai Xiang, yang baru saja menyelesaikan pijitan di kaki Nyonya Besar Han, beringsut mundur, memberi ruang bagi ibu dan anak itu berbincang secara pribadi.“Bagus,” ucap Nyonya Han lembut. “Akhirnya kau pulang juga, Feng’er. Bai Xiang sudah pindah ke kediaman kita.”Han Feng duduk berhadapan dengan ibunya. “Jadi, Ibu sudah mendengar semuanya? Tentang status Bai Xiang dan pernikahanku dengan Rou Nan?”Belum sempat ia melanjutkan, Nyonya Han sudah menimpali, nadanya dingin dan tegas. “Bahkan Ibu tahu syarat keterlaluan yang diajukan perempuan licik itu kepada Bai Xiang, tidak boleh hamil sebelum keponakannya menikah denganmu. Dia pikir Ibu akan diam saja?” Suara Nyonya Han terdengar datar namun menyimpan bara. Tangannya mengepal di pa
Pagi itu, langit di atas kediaman Keluarga Han berwarna kelabu. Bai Xiang baru tiba dengan langkah pelan, ditemani Xiao Niao yang berjalan di sampingnya. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena perjalanan panjang, melainkan karena kegelisahan. Ia tidak tahu bagaimana Nyonya Besar Han akan menyambutnya, apalagi setelah titah Kaisar yang menempatkannya sebagai selir.Namun begitu ia melangkah melewati gerbang utama, sosok Nyonya Besar Han muncul dari paviliun depan dengan senyum hangat di wajahnya. Perempuan itu berbusana hanfu sederhana namun berwibawa, auranya memancarkan keanggunan seorang bangsawan yang telah melalui banyak badai kehidupan.“Xiang,” Suara lembut itu terdengar menenangkan. “Akhirnya kau datang juga.” Bai Xiang menunduk dalam, bersiap memberi hormat, tapi sebelum sempat berlutut, Nyonya Besar Han sudah meraih tangannya dan memeluknya erat. Kehangatan itu begitu tulus, membuat dada Bai Xiang bergetar.“Ibu sudah mendengar, Nak. Walau Kaisar memberimu status selir,” uja
Bai Xiang mengerjapkan matanya perlahan, mencoba menyesuaikan pandangan dengan cahaya pagi yang menyelinap lembut dari celah jendela. Cahaya itu menyilaukan, menusuk matanya yang masih berat. Kepalanya berdenyut hebat. Perutnya terasa mual dan panas, meninggalkan sensasi tak nyaman yang menusuk hingga ke dada.Dengan susah payah, ia menegakkan tubuh dan menatap sekeliling. Rasa kaget segera menyergapnya ketika ia sadar berada di kamarnya sendiri, di Paviliun Giok. Seingatnya, malam tadi ia minum arak Feng Hua di bawah pohon willow di Danau Lan Fen. Setelah itu … semuanya gelap.“Dasar bodoh,” gerutunya pelan sambil menepuk pelipisnya. “Mabuk sampai hilang ingatan.”Ia memijit kepalanya yang berat, berharap rasa pusing itu segera reda. Pandangannya kemudian jatuh pada meja kecil di samping dipan. Di atasnya, tampak sebuah mangkuk keramik berisi sisa air rebusan jahe. Uapnya sudah hilang, tapi aroma hangatnya masih samar tercium.“Seseorang menjagaku,” gumamnya, alisnya berkerut. “Tapi
Rembulan menggantung sendu di atas Paviliun Giok. Di dalam kamar, aroma arak Feng Hua masih menyengat di udara. Bai Xiang masih berdiri di depan Han Feng dengan mata merah yang basah dan wajah setengah sadar. Tubuhnya limbung, tapi suaranya keras, melengking di antara isak dan amarah.“Jenderal Han Feng keparat!” serunya, menatap Han Feng dengan mata penuh kebencian. “Kau yang membunuh … ayah dan ibuku!”Tangannya kemudian mencengkeram bagian depan hanfu Han Feng dengan kuat. Tubuh mungilnya gemetar, tapi tatapannya menyala bagai api.“Mengapa?” jeritnya. “Mengapa mereka harus dibunuh? Mereka bukan pemberontak! Mereka hanya … hanya orang biasa dari Qing Hua!”Han Feng diam. Ia tidak melawan. Dada lapangnya menerima tarikan penuh emosi itu tanpa sekalipun menyingkir. Ia tahu, ini bukan amarah semata, tapi adalah luka bertahun-tahun yang akhirnya pecah malam ini.Dengan suara serendah ombak di tengah malam, ia berkata, “Xiang … apakah kau punya bukti atas tuduhan itu?”“Bukti?” Bai
“Menjadi selir .…” Bai Xiang tertawa keras sambil menenggak arak langsung dari guci besar di tangannya. Suaranya pecah di antara desir angin malam. Di bawah cahaya rembulan, tawa itu lebih terdengar seperti tangisan yang disamarkan.Ini sudah guci kelima dari arak Feng Hua, minuman keras legendaris dari Hua Nian yang terkenal mampu menjatuhkan prajurit paling tangguh hanya dengan tegukan dari dua buah guci. Tapi Bai Xiang? Ia terus meneguknya tanpa berhenti, seolah ingin menenggelamkan dirinya di dalam arus pahitnya.Matanya basah. Hatinya perih. Setelah siang tadi menghadapi keputusan Kaisar yang membuatnya menjadi selir, Bai Xiang kehilangan arah. Ia membeli arak dari kedai arak , lalu menaiki Hei Yun, kudanya, dan membiarkan binatang itu berjalan tanpa tujuan. Hingga akhirnya, mereka tiba di Danau Lan Fen, danau yang tenang dengan pepohonan willow tumbuh di sekitarnya.Di bawah pohon willow itu, Bai Xiang menangis dalam diam. Air matanya bercampur dengan arak yang menetes dari bibi






