Share

Pagi yang Berdarah

Penulis: Faelelfa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-18 13:12:23

Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi.

Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar.

“Ma!!!” teriaknya panik.

Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya.

“MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!”

Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla.

“Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh.

“Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah.

Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!”

Nayla hanya bisa menangis histeris, tubuhnya limbung hingga akhirnya ambruk pingsan dalam pelukan Arsen.

***

Saat kesadarannya kembali, Nayla mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan dengan aroma obat yang menusuk. Matanya menatap sekeliling. Rumah sakit.

“Akhirnya kau bangun.”

Suara itu membuatnya menoleh. Arsen duduk di kursi di samping ranjang, wajahnya lelah, rambutnya berantakan.

“Arsen…” Nayla berbisik serak. “Mama… di mana Mama?”

Arsen menghela napas, menatapnya dalam. “Beliau sedang di ruang operasi. Dokter bilang ada pendarahan di kepala, tapi mereka sedang berusaha sekuat mungkin.”

Tubuh Nayla langsung bergetar. “Tidak… tidak… ini semua salahku!” Air matanya mengalir deras. “Kalau saja aku nggak bawa Mama ke dalam masalah ini… kalau saja aku berani jujur dari awal!”

Arsen mengerutkan dahi, tangannya refleks menggenggam tangan Nayla yang dingin. “Berhenti menyalahkan diri sendiri, Nay.”

Nayla menatapnya dengan mata merah. “Bagaimana aku bisa berhenti? Mama nggak mungkin jatuh sendiri dari lantai dua! Itu pasti ulah orang itu! Orang yang mengirim pesan padaku! Kalau aku bicara dari awal, kalau aku nggak sembunyikan semua ini, Mama nggak akan seperti ini!!”

Arsen menatapnya dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. “Dengar aku… siapa pun yang melakukannya, ini bukan salahmu. Kau hanya ingin melindungi ibumu. Jangan salahkan dirimu sendiri.”

“Aku nggak bisa, Arsen!” Nayla berteriak serak. “Aku nggak bisa berhenti berpikir bahwa semua ini terjadi karena aku!”

Arsen mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih lembut. “Nay, kalau kau hancur, siapa yang akan jaga ibumu saat dia sadar nanti? Kau harus kuat. Untuk dia.”

Nayla terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku takut, Arsen… aku takut orang itu masih di luar sana, menunggu aku lengah dan Mama bisa jadi korban lagi.”

Arsen menggenggam tangannya lebih erat, kali ini tak melepaskan. “Kalau begitu, biarkan aku yang menjagamu. Aku janji, Nay. Aku tidak akan biarkan orang itu menyentuhmu lagi.”

Hening. Nayla menurunkan tangannya perlahan, menatap Arsen dengan air mata yang masih mengalir. Untuk pertama kalinya, ia melihat kesungguhan di mata pria itu.

Namun hatinya ragu. “Kenapa… kenapa kau peduli padaku? Bukankah aku hanya membuatmu repot? Bukankah aku hanya membawa masalah?”

Arsen terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu kenapa. Tapi melihatmu menangis seperti ini… rasanya sakit dan aku tidak suka perasaan itu.”

Nayla tertegun. Dadanya berdegup keras, antara marah, bingung, dan takut. Ia tidak tahu harus membalas apa.

Pintu kamar rumah sakit terbuka. Om Pratama masuk dengan wajah tegang. “Operasinya selesai. Dokter bilang kondisi Mama kamu masih kritis. Kita harus berdoa semoga dia melewati malam ini.”

Nayla langsung bangkit dari ranjang, tubuhnya gemetar. “Aku mau lihat Mama!”

“Belum bisa,” jawab Pratama pelan. “Dokter masih mengawasi. Kamu harus tunggu.”

Nayla menutup wajahnya, menangis lebih keras. Arsen berdiri di samping, tangannya menepuk lembut bahu Nayla.

Namun sebelum suasana semakin tenggelam dalam kesedihan, suara notifikasi ponsel Nayla berbunyi. Ia buru-buru meraihnya, dan begitu melihat layar, tubuhnya kaku.

Pesan baru masuk dari nomor misterius itu.

“Aku sudah bilang padamu, Nayla. Kalau kau tidak bicara, aku yang akan membuat semuanya hancur. Ini baru permulaan.”

Nayla menjatuhkan ponselnya ke lantai. Wajahnya pucat pasi.

Arsen menunduk, membaca pesan itu sekilas. Rahangnya mengeras. “Sial…”

Nayla memandang Arsen dengan mata penuh teror. “Kalau ini baru permulaan… apa yang akan dia lakukan selanjutnya?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   di Ambang Keputusan

    Dua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi. Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa meni

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Pagi yang Berdarah

    Jeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi. Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histe

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Liburan yang Menipu!

    Liburan keluarga itu dimulai pada pagi yang cerah. Mobil mewah milik Om Pratama melaju mulus di jalanan menuju villa tepi pantai. Di dalam mobil, suasana tampak hangat, setidaknya di mata orang luar. Deeva duduk di kursi depan, terlihat riang saat berbincang dengan Pratama tentang jadwal kegiatan mereka nanti. Sementara di kursi belakang, Nayla duduk menempel pada jendela, sesekali memandang laut yang mulai terlihat di kejauhan. Arsen duduk di sampingnya, tenang, tanpa ekspresi berlebih. Namun sesekali, saat Nayla tidak menyadari, mata Arsen mencuri pandang. Ada gurat lelah di wajah gadis itu, tapi juga cahaya samar ketika ia melihat ke luar jendela. Dan entah kenapa, melihat Nayla begitu diam membuat dada Arsen terasa sesak. "Nikmati liburan ini Nay. Om sengaja liburkan kantor, biar kita bisa liburan bersama." Nayla hanya menganggukan kepalanya, sedangkan Mama Deeva terus menatap dari kaca depan. "Arsen juga. Kalian berdua harus terlihat akur, harus saling mengenal." Nayla men

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Tuduhan yang Mengguncang!

    Mobil yang dikendarai Nayla melaju begitu xepat, sesekali tatapannya menatap ke arah ponsel yang berada di hadapannya. Dengan tangan gemetar, Nayla akhirnya memberanikan diri mengirim pesan pada Arsen dan menunggu balasannya. “Kita harus ketemu? Sekarang?” Balasan datang cepat, singkat. “Di taman belakang hotel. 10 menit lagi.” Jawabannya seakan tidak ingin ada bantahan, ia hanya ingin bertemu dan menyelesaikan semua masalah yang sedang terjadi. Nayla tiba lebih dulu. Angin pagi membuat rambutnya berantakan, sementara jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menggenggam ponselnya erat-erat, bersiap melampiaskan semua yang menyesakkan di dadanya. Tak lama, Arsen muncul dengan langkah santai, tangan dimasukkan ke saku celana. Wajahnya tenang, terlalu tenang, seakan tidak ada badai yang sedang berkecamuk. “Ada apa, Nay?” suaranya datar. Nayla langsung melotot, menahan diri agar tidak berteriak. “Jangan pura-pura bodoh, Arsen! Pesan itu… semua pesan yang kuterima, itu dari kamu, ka

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Bayangan yang Tak Bisa dihapus

    Pagi itu, matahari baru saja menembus tirai tipis kamar Nayla. Ia duduk di tepi ranjang dengan mata sembab, semalaman tak bisa tidur memikirkan ucapan Arsen di balkon semalam. Ancaman itu masih terngiang jelas, membuat dadanya sesak. Namun bukan hanya Arsen yang mengganggu pikirannya, melainkan ibunya. Senyum Deeva saat bersama Om Pratama terasa begitu tulus, seakan wanita itu baru menemukan kembali arti bahagia dan Nayla terlalu takut ibunya kembali jatuh ke lubang luka yang sama. Nayla menghela napas panjang, lalu memberanikan diri turun ke ruang makan. Di sana, ia mendapati ibunya sudah rapi dengan gaun santai, sedang menyeduh teh sambil bersenandung kecil. “Pagi, Sayang. Tidur nyenyak?” sapa Deeva cerah, seolah dunia baik-baik saja. Nayla memaksakan senyum. “Lumayan, Ma.” Ia duduk, menatap ibunya yang tampak begitu bahagia. Sejenak, rasa bersalah menghantam hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa menghancurkan senyum itu dengan kenyataan pahit yang ia simpan bersama Arsen? “Ma… .

  • Ketika Gairah Mengalahkan Logika   Dunai yang Begitu Sempit

    Makan malam berakhir dengan senyuman-senyuman hangat yang terasa palsu bagi Nayla. Ibunya terlihat sangat bahagia, tertawa dengan Om Pratama, seakan lupa semua luka masa lalu. Sementara Arsen hanya duduk tenang, menatap piring, seakan-akan dirinya hanyalah tamu biasa di meja itu.Namun tatapan mata mereka berdua. Nayla dan Arsen, tidak bisa berbohong. Sesekali tanpa sengaja beradu, lalu buru-buru teralihkan. Ada sesuatu yang menyesakkan, sesuatu yang hanya mereka berdua tahu dan tidak seorang pun boleh mengetahuinya.Ketika pelayan terakhir kali mengangkat piring dari meja, Deeva menepuk lembut tangan Nayla.“Sayang, Om Pratama dan mama akan bicara sebentar dengan manajer restoran tentang rencana acara keluarga. Kau tak keberatan, kan? Mungkin Arsen bisa menemanimu.”“Tidak perlu, Ma,” Nayla buru-buru menolak, namun ibunya hanya tersenyum dan berdiri.Akhirnya, tinggal mereka berdua di meja panjang itu. Sunyi. Hanya suara dentingan sendok dari meja lain dan musik klasik yang terdengar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status