LOGINJeritan pecah di udara, memecah keheningan pagi.
Nayla yang baru saja membuka mata di kamarnya langsung terlonjak. Suara itu… suara ibunya. Tanpa pikir panjang, ia berlari keluar. “Ma!!!” teriaknya panik. Di ruang tengah villa, pemandangan mengerikan menyambutnya. Deeva tergeletak di lantai, tepat di bawah tangga. Tubuhnya kaku, darah merembes dari kepalanya. “MAMAAA!!” Nayla berlari, jatuh berlutut, mengguncang tubuh ibunya yang tak sadarkan diri. “Ma! Bangun, Ma! Tolong!!” Om Pratama muncul dari arah dapur, wajahnya pucat pasi. “Astaga, Deeva!” Ia buru-buru berlari, sementara Arsen yang datang dari belakang langsung menahan Nayla. “Jangan guncang tubuhnya, Nay!” suara Arsen tegas, namun tangannya bergetar saat menarik Nayla menjauh. “Lepasin aku! Itu ibuku! Arsen, lepaskan!!” Nayla meronta, tangisnya pecah. Om Pratama langsung menghubungi ambulans, suaranya panik. “Cepat, ada kecelakaan! Istri saya jatuh dari lantai dua villa! Cepat ke sini!” Nayla hanya bisa menangis histeris, tubuhnya limbung hingga akhirnya ambruk pingsan dalam pelukan Arsen. *** Saat kesadarannya kembali, Nayla mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan dengan aroma obat yang menusuk. Matanya menatap sekeliling. Rumah sakit. “Akhirnya kau bangun.” Suara itu membuatnya menoleh. Arsen duduk di kursi di samping ranjang, wajahnya lelah, rambutnya berantakan. “Arsen…” Nayla berbisik serak. “Mama… di mana Mama?” Arsen menghela napas, menatapnya dalam. “Beliau sedang di ruang operasi. Dokter bilang ada pendarahan di kepala, tapi mereka sedang berusaha sekuat mungkin.” Tubuh Nayla langsung bergetar. “Tidak… tidak… ini semua salahku!” Air matanya mengalir deras. “Kalau saja aku nggak bawa Mama ke dalam masalah ini… kalau saja aku berani jujur dari awal!” Arsen mengerutkan dahi, tangannya refleks menggenggam tangan Nayla yang dingin. “Berhenti menyalahkan diri sendiri, Nay.” Nayla menatapnya dengan mata merah. “Bagaimana aku bisa berhenti? Mama nggak mungkin jatuh sendiri dari lantai dua! Itu pasti ulah orang itu! Orang yang mengirim pesan padaku! Kalau aku bicara dari awal, kalau aku nggak sembunyikan semua ini, Mama nggak akan seperti ini!!” Arsen menatapnya dalam-dalam, berusaha menahan emosinya. “Dengar aku… siapa pun yang melakukannya, ini bukan salahmu. Kau hanya ingin melindungi ibumu. Jangan salahkan dirimu sendiri.” “Aku nggak bisa, Arsen!” Nayla berteriak serak. “Aku nggak bisa berhenti berpikir bahwa semua ini terjadi karena aku!” Arsen mencondongkan tubuhnya, suaranya lebih lembut. “Nay, kalau kau hancur, siapa yang akan jaga ibumu saat dia sadar nanti? Kau harus kuat. Untuk dia.” Nayla terisak, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Aku takut, Arsen… aku takut orang itu masih di luar sana, menunggu aku lengah dan Mama bisa jadi korban lagi.” Arsen menggenggam tangannya lebih erat, kali ini tak melepaskan. “Kalau begitu, biarkan aku yang menjagamu. Aku janji, Nay. Aku tidak akan biarkan orang itu menyentuhmu lagi.” Hening. Nayla menurunkan tangannya perlahan, menatap Arsen dengan air mata yang masih mengalir. Untuk pertama kalinya, ia melihat kesungguhan di mata pria itu. Namun hatinya ragu. “Kenapa… kenapa kau peduli padaku? Bukankah aku hanya membuatmu repot? Bukankah aku hanya membawa masalah?” Arsen terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu kenapa. Tapi melihatmu menangis seperti ini… rasanya sakit dan aku tidak suka perasaan itu.” Nayla tertegun. Dadanya berdegup keras, antara marah, bingung, dan takut. Ia tidak tahu harus membalas apa. Pintu kamar rumah sakit terbuka. Om Pratama masuk dengan wajah tegang. “Operasinya selesai. Dokter bilang kondisi Mama kamu masih kritis. Kita harus berdoa semoga dia melewati malam ini.” Nayla langsung bangkit dari ranjang, tubuhnya gemetar. “Aku mau lihat Mama!” “Belum bisa,” jawab Pratama pelan. “Dokter masih mengawasi. Kamu harus tunggu.” Nayla menutup wajahnya, menangis lebih keras. Arsen berdiri di samping, tangannya menepuk lembut bahu Nayla. Namun sebelum suasana semakin tenggelam dalam kesedihan, suara notifikasi ponsel Nayla berbunyi. Ia buru-buru meraihnya, dan begitu melihat layar, tubuhnya kaku. Pesan baru masuk dari nomor misterius itu. “Aku sudah bilang padamu, Nayla. Kalau kau tidak bicara, aku yang akan membuat semuanya hancur. Ini baru permulaan.” Nayla menjatuhkan ponselnya ke lantai. Wajahnya pucat pasi. Arsen menunduk, membaca pesan itu sekilas. Rahangnya mengeras. “Sial…” Nayla memandang Arsen dengan mata penuh teror. “Kalau ini baru permulaan… apa yang akan dia lakukan selanjutnya?”Malam sudah begitu larut. Lampu-lampu di dalam rumah mulai meredup, meninggalkan suasana tenang yang hanya diiringi bunyi samar dari suara AC.Nayla baru saja pulang dari kampus. Ia sengaja menunggu sampai sepi, agar tidak harus berpapasan dengan Arsen ataupun kedua orang tuanya. Langkahnya terasa berat, pikirannya penuh dengan peristiwa siang tadi.Tatapan tajam Om Pratama, pelukan Arsen yang terlalu dekat, serta pertanyaan yang membuat jantungnya hampir berhenti masih yakin kau tidak akan jatuh cinta padaku?Napasnya terengah saat membuka pintu apartemen. Hening. Syukurlah.Dengan langkah ragu, Nayla berjalan ke balkon belakang, tepat ke arah kolam renang pribadi yang tenang di bawah sinar lampu remang. Udara dingin malam menyapanya. Ia melepas sepatu, menggulung sedikit celana panjangnya, lalu duduk di pinggir kolam, membiarkan ujung kakinya menyentuh air.“Akhirnya… bisa bernapas.” bisiknya lirih.Karena merasa tidak nyaman, Nayla memutuskan untuk duduk di tepi kolam yang lebih ny
Lorong apartemen itu mendadak sunyi. Hanya ada empat pasang mata yang saling menatap dengan penuh tanda tanya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” suara Pratama terdengar dalam dan penuh wibawa, tatapannya menusuk langsung ke arah Arsen.Nayla menahan napas, jemari tangannya bergetar hebat. Ya Tuhan… jangan sampai semua terbongkar. Tolong…Arsen, dengan wajah tenang khasnya, sedikit mengangkat alis. “Aku?” katanya ringan. “Aku... aku juga menyewa apartemen di sini.”“Di sini?” Pratama mengulang dengan nada tak percaya. “Maksudmu… di unit sebelah?”“Iya.” Arsen mengangguk sopan, senyum tipis terbit di bibirnya. “Aku memang sudah menyewa apartemen ini beberapa waktu yang lalu. Lokasinya kebetulan juga tidak jauh dari kampus. Sangat praktis.”Deeva tampak tersenyum, seolah menerima penjelasan itu begitu saja. “Oh begitu rupanya. Wah, kebetulan sekali ya.”Nayla hampir terjatuh karena lega. Untungnya Arsen pandai menutupi semuanya. Tapi di balik itu, keringat dingin terus mengalir di
Nayla berdiri terpaku di depan lift, jantungnya berdetak begitu kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Pandangannya bergantian antara wajah ibunya, Deeva, dan pria yang kini resmi akan menjadi ayah tirinya, Pratama.“Nayla?” suara Deeva terdengar lagi, kali ini lebih tenang namun penuh tanda tanya. “Kamu… sedang apa di sini?”Otak Nayla bekerja cepat. Ia tak boleh sampai mereka tahu ia baru saja keluar dari apartemen Arsen. Apalagi jika sampai mereka tahu rahasia itu… semuanya akan hancur.“A-aku…” Nayla menelan ludah, memaksakan senyum kaku. “Aku habis… main ke tempat teman. Dia tadi sakit, jadi aku… aku mampir sebentar untuk kasih catatan kuliah.”Pratama mengangkat alis, sejenak menatap Nayla dengan tatapan menyelidik. Namun senyumnya segera kembali, tenang dan ramah seperti biasanya. “Oh begitu? Bagus sekali kamu perhatian sama temanmu. Temanmu tinggal di lantai ini juga?”“I-iya.” Nayla mengangguk cepat. “Tapi aku barusan pamit, jadi… ya, kebetulan ketemu Mama sama Om
Keheningan di antara mereka terasa menusuk. Pertanyaan Arsen menggantung di udara, membuat jantung Nayla berdetak tak karuan. Kata-kata pria itu seolah menekan dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. “Apa sebenarnya… kau sudah jatuh cinta padaku?” suara itu kembali terngiang. Nayla menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Sesaat ia hanya bisa menatap mata Arsen, seolah terperangkap. Namun detik berikutnya, ia membantah dengan keras. “Tidak! Itu tidak mungkin!” seru Nayla. Ia mendorong dada Arsen dengan kedua tangannya. Dorongan itu cukup kuat, membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Nafas Nayla terengah, wajahnya memerah bukan hanya karena marah, tapi juga karena takut pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Arsen!” Nayla hampir berteriak. “Aku jamin! Aku… aku lebih baik mati daripada membiarkan hal itu terjadi!” Ruangan itu mendadak senyap. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar, saling memburu. Arsen menunduk sejenak, lalu pe
Pagi itu kampus masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak terburu-buru masuk ke gedung perkuliahan. Angin pagi berhembus ringan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah semalaman diguyur hujan. Nayla melangkah cepat, menundukkan kepala, seolah sedang dikejar sesuatu. Tas—nya ia genggam erat, langkahnya nyaris setengah berlari menuju kelas. Ia sengaja berangkat lebih awal, berharap tidak akan berpapasan dengan Arsen. "Apa setiap harinya aku harus berangkat lebih awal seperti ini, aku juga ingin tidur nyenyak seperti biasa." Sempat terlintas di pikiran Nayla, bahwa mungkin lebih baik ia keluar dari rumah dan tinggal di sebuah apartemen. Tetapi jika Nayla melakukan hal tersebut, maka Om Pratama akan berpikir bahwa Nayla tidak suka Om Pratama dan juga Arsen berada di rumah. Bahkan hal terpenting bagi Nayla, ia begitu takut jika ibunya sedih, ketika ia memutuskan hal tersebut. Namun, kenyataan tidak pernah semudah itu. Kenyataan yang sekarang bahwa Nayla harus tinggal sat
Udara malam itu sejuk, jalanan kota tampak ramai dengan lampu-lampu berkilau. Di dalam mobil hitam yang melaju tenang, hanya suara mesin yang terdengar.Nayla duduk di kursi penumpang dengan wajah menunduk, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Ia tidak berani menatap ke arah sopir di sampingnya. Arsen tampak fokus mengemudi, namun sesekali matanya melirik ke arah Nayla.Gaun sederhana berwarna pastel yang dipakai Nayla membuat wajahnya semakin lembut diterangi cahaya jalanan. Arsen berusaha menahan diri untuk tidak terus menatap, tapi sulit.“Pakai sabuk pengamannya benar?” suara Arsen terdengar datar namun penuh perhatian.Nayla mengangguk singkat. “Iya.”Hening kembali menguasai mobil.Setelah beberapa menit, Nayla memberanikan diri bicara. “Arsen.”“Hmm?”“Aku… aku minta satu hal.” Suaranya pelan, tapi jelas.Arsen melirik sebentar. “Apa?”“Tolong… selalu jaga jarak denganku. Kita… harus punya batasan. Apa pun yang terjadi.”Arsen terdiam. Ia mengetatkan genggaman di setir. “Kau ma







