Mag-log inDua minggu berlalu sejak tragedi itu. Dua minggu Nayla hidup dalam bayangan rumah sakit, doa, dan ketakutan akan pesan-pesan misterius yang tak kunjung berhenti. Namun ajaibnya, Deeva akhirnya pulih, meski harus menjalani fisioterapi.
Kini, hari besar itu tiba. Pernikahan Deeva dan Pratama. Villa mewah di tepi pantai berubah menjadi lokasi resepsi indah. Kursi-kursi berbalut kain putih berderet rapi, bunga segar menghiasi setiap sudut, dan hamparan laut biru menjadi latar belakang. Semua orang tersenyum bahagia… kecuali Nayla. Tatapannya kosong. Gaun cantik yang membalut tubuhnya tak mampu menutupi kegelisahan di hatinya. Senyum yang ia berikan hanyalah topeng. Arsen memperhatikannya dari jauh. Berkali-kali ia mendapati gadis itu menarik napas panjang, menunduk, atau menggenggam jemarinya sendiri hingga memutih. Sejak kejadian di rumah sakit, entah mengapa, Nayla selalu muncul dalam pikirannya. Kenapa aku tak bisa berhenti memperhatikannya? batinnya. Di ruang rias, beberapa menit sebelum acara dimulai, Deeva menatap putrinya dengan senyum lembut. “Sayang, kamu terlihat cantik sekali hari ini.” Nayla tersenyum samar. “Terima kasih, Ma.” Deeva menggenggam tangan putrinya erat. “Mama tahu ini sulit buatmu. Tapi percayalah, Om Pratama pria baik. Dia bisa bahagiakan Mama.” Nayla menunduk. “Aku cuma ingin Mama bahagia… walau harus aku sendiri yang menanggung beban.” “Maksudmu?” Deeva mengernyit, tapi Nayla cepat menggeleng. “Tidak, Ma. Tidak ada apa-apa.” Air mata Nayla hampir tumpah. “Mama.” “Ya, Sayang?” “Kalau… kalau ada hal yang bisa membuat pernikahan ini… salah. Apa Mama masih tetap ingin melanjutkannya?” Suara Nayla gemetar, seolah sedang meniti di antara jurang. Ibunya mengerutkan kening, lalu tersenyum tipis. “Selama itu hanya keraguan kecil, Mama yakin semuanya bisa dilewati. Tapi kalau itu alasan yang sangat besar, Nay… Mama akan dengar. Tapi kamu harus jujur. Mama tidak ingin keputusan ini kamu sesali seumur hidup.” Nayla menunduk, air mata jatuh membasahi gaun. Bibirnya terbuka, ingin sekali ia berkata. Ma, aku tidak bisa, karena anak laki-laki calon suamimu sudah merusak aku. Karena aku sudah terikat pada dosa yang tidak bisa kutinggalkan. Di luar, Arsen menunggu. Saat melihat Nayla keluar dari ruang rias, ia melangkah mendekat. “Kau baik-baik saja?” bisiknya, cukup pelan agar tak ada yang mendengar. Nayla menatapnya tajam. “Jangan pura-pura peduli.” Arsen menghela napas, lalu menunduk. “Aku peduli. Mau kau percaya atau tidak, itu urusanmu.” “Kalau benar peduli, hentikan semua ini,” balas Nayla dengan suara bergetar. “Hentikan semua drama rahasia ini.” Arsen menatapnya, mata mereka saling mengunci. “Aku sudah bilang, bukan aku yang main-main dengan pesan itu. Tapi kalau kau terus diam… orang itu akan menang.” Nayla menggertakkan gigi, menahan air mata. “Mungkin lebih baik aku hancur saja. Daripada semua ini meledak di depan orang banyak.” Arsen mengepalkan tangannya. “Jangan katakan hal bodoh seperti itu.” Acara dimulai. Musik lembut mengiringi langkah pengantin. Deeva dan Pratama berdiri di altar, wajah mereka bersinar bahagia. Para tamu bertepuk tangan, tersenyum. Nayla duduk di kursi barisan depan, tersenyum hambar. Pesan-pesan ancaman masih terus masuk di ponselnya, tapi ia memilih mengabaikan. “Kau pikir bisa sembunyi di balik gaun indah itu?” “Hari ini semua bisa berakhir kalau kau berani bicara.” Dadanya sesak. Ia merasa terjebak di tengah kebahagiaan ibunya dan teror yang terus menghantui. Arsen yang duduk di sebelahnya mencondongkan tubuh. “Apa pun yang terjadi, jangan lakukan sesuatu yang akan kau sesali.” Nayla menoleh, tatapannya penuh luka. “Aku sudah menyesal sejak awal.” Ketika prosesi mencapai puncak, Pratama dan Deeva berdiri di depan penghulu. Suara penghulu menggema, memimpin ijab kabul. Semua mata tertuju pada pasangan itu. Namun di kursi tamu, Nayla menggigil. Suara penghulu terdengar jauh, terdistorsi oleh degup jantungnya yang menggedor keras. Haruskah aku diam? Haruskah aku biarkan Mama bahagia, meski aku sendiri hancur? Air mata menitik. Tangan Nayla bergetar hebat, hingga tanpa sadar ia berdiri dari kursinya. “Maafkan aku…,” bisiknya lirih. Beberapa tamu langsung menoleh, keheranan. Deeva memandang putrinya dengan bingung. Pratama menghentikan ucapannya. “Nayla?” suara Deeva bergetar. “Ada apa, Sayang?” Nayla melangkah maju, gaunnya berdesir menyentuh karpet putih. Nafasnya terengah, tubuhnya gemetar. Semua mata kini tertuju padanya. Arsen ikut berdiri, menatapnya tajam, seolah mencoba membaca niat di balik gerakan itu. Tatapannya sulit diartikan—antara marah, cemas, dan… takut. Nayla berhenti di depan altar. Suaranya bergetar, tapi cukup jelas terdengar oleh semua orang. “Ada sesuatu yang harus kalian tahu…”Malam sudah begitu larut. Lampu-lampu di dalam rumah mulai meredup, meninggalkan suasana tenang yang hanya diiringi bunyi samar dari suara AC.Nayla baru saja pulang dari kampus. Ia sengaja menunggu sampai sepi, agar tidak harus berpapasan dengan Arsen ataupun kedua orang tuanya. Langkahnya terasa berat, pikirannya penuh dengan peristiwa siang tadi.Tatapan tajam Om Pratama, pelukan Arsen yang terlalu dekat, serta pertanyaan yang membuat jantungnya hampir berhenti masih yakin kau tidak akan jatuh cinta padaku?Napasnya terengah saat membuka pintu apartemen. Hening. Syukurlah.Dengan langkah ragu, Nayla berjalan ke balkon belakang, tepat ke arah kolam renang pribadi yang tenang di bawah sinar lampu remang. Udara dingin malam menyapanya. Ia melepas sepatu, menggulung sedikit celana panjangnya, lalu duduk di pinggir kolam, membiarkan ujung kakinya menyentuh air.“Akhirnya… bisa bernapas.” bisiknya lirih.Karena merasa tidak nyaman, Nayla memutuskan untuk duduk di tepi kolam yang lebih ny
Lorong apartemen itu mendadak sunyi. Hanya ada empat pasang mata yang saling menatap dengan penuh tanda tanya.“Apa yang sedang kamu lakukan di sini?” suara Pratama terdengar dalam dan penuh wibawa, tatapannya menusuk langsung ke arah Arsen.Nayla menahan napas, jemari tangannya bergetar hebat. Ya Tuhan… jangan sampai semua terbongkar. Tolong…Arsen, dengan wajah tenang khasnya, sedikit mengangkat alis. “Aku?” katanya ringan. “Aku... aku juga menyewa apartemen di sini.”“Di sini?” Pratama mengulang dengan nada tak percaya. “Maksudmu… di unit sebelah?”“Iya.” Arsen mengangguk sopan, senyum tipis terbit di bibirnya. “Aku memang sudah menyewa apartemen ini beberapa waktu yang lalu. Lokasinya kebetulan juga tidak jauh dari kampus. Sangat praktis.”Deeva tampak tersenyum, seolah menerima penjelasan itu begitu saja. “Oh begitu rupanya. Wah, kebetulan sekali ya.”Nayla hampir terjatuh karena lega. Untungnya Arsen pandai menutupi semuanya. Tapi di balik itu, keringat dingin terus mengalir di
Nayla berdiri terpaku di depan lift, jantungnya berdetak begitu kencang seolah ingin melompat keluar dari dadanya. Pandangannya bergantian antara wajah ibunya, Deeva, dan pria yang kini resmi akan menjadi ayah tirinya, Pratama.“Nayla?” suara Deeva terdengar lagi, kali ini lebih tenang namun penuh tanda tanya. “Kamu… sedang apa di sini?”Otak Nayla bekerja cepat. Ia tak boleh sampai mereka tahu ia baru saja keluar dari apartemen Arsen. Apalagi jika sampai mereka tahu rahasia itu… semuanya akan hancur.“A-aku…” Nayla menelan ludah, memaksakan senyum kaku. “Aku habis… main ke tempat teman. Dia tadi sakit, jadi aku… aku mampir sebentar untuk kasih catatan kuliah.”Pratama mengangkat alis, sejenak menatap Nayla dengan tatapan menyelidik. Namun senyumnya segera kembali, tenang dan ramah seperti biasanya. “Oh begitu? Bagus sekali kamu perhatian sama temanmu. Temanmu tinggal di lantai ini juga?”“I-iya.” Nayla mengangguk cepat. “Tapi aku barusan pamit, jadi… ya, kebetulan ketemu Mama sama Om
Keheningan di antara mereka terasa menusuk. Pertanyaan Arsen menggantung di udara, membuat jantung Nayla berdetak tak karuan. Kata-kata pria itu seolah menekan dinding pertahanan yang selama ini ia bangun. “Apa sebenarnya… kau sudah jatuh cinta padaku?” suara itu kembali terngiang. Nayla menggigit bibirnya, tubuhnya menegang. Sesaat ia hanya bisa menatap mata Arsen, seolah terperangkap. Namun detik berikutnya, ia membantah dengan keras. “Tidak! Itu tidak mungkin!” seru Nayla. Ia mendorong dada Arsen dengan kedua tangannya. Dorongan itu cukup kuat, membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Nafas Nayla terengah, wajahnya memerah bukan hanya karena marah, tapi juga karena takut pada dirinya sendiri. “Aku tidak akan pernah jatuh cinta padamu, Arsen!” Nayla hampir berteriak. “Aku jamin! Aku… aku lebih baik mati daripada membiarkan hal itu terjadi!” Ruangan itu mendadak senyap. Hanya suara napas mereka berdua yang terdengar, saling memburu. Arsen menunduk sejenak, lalu pe
Pagi itu kampus masih sepi. Hanya beberapa mahasiswa yang tampak terburu-buru masuk ke gedung perkuliahan. Angin pagi berhembus ringan, membawa aroma tanah yang masih lembap setelah semalaman diguyur hujan. Nayla melangkah cepat, menundukkan kepala, seolah sedang dikejar sesuatu. Tas—nya ia genggam erat, langkahnya nyaris setengah berlari menuju kelas. Ia sengaja berangkat lebih awal, berharap tidak akan berpapasan dengan Arsen. "Apa setiap harinya aku harus berangkat lebih awal seperti ini, aku juga ingin tidur nyenyak seperti biasa." Sempat terlintas di pikiran Nayla, bahwa mungkin lebih baik ia keluar dari rumah dan tinggal di sebuah apartemen. Tetapi jika Nayla melakukan hal tersebut, maka Om Pratama akan berpikir bahwa Nayla tidak suka Om Pratama dan juga Arsen berada di rumah. Bahkan hal terpenting bagi Nayla, ia begitu takut jika ibunya sedih, ketika ia memutuskan hal tersebut. Namun, kenyataan tidak pernah semudah itu. Kenyataan yang sekarang bahwa Nayla harus tinggal sat
Udara malam itu sejuk, jalanan kota tampak ramai dengan lampu-lampu berkilau. Di dalam mobil hitam yang melaju tenang, hanya suara mesin yang terdengar.Nayla duduk di kursi penumpang dengan wajah menunduk, kedua tangannya bertaut di pangkuan. Ia tidak berani menatap ke arah sopir di sampingnya. Arsen tampak fokus mengemudi, namun sesekali matanya melirik ke arah Nayla.Gaun sederhana berwarna pastel yang dipakai Nayla membuat wajahnya semakin lembut diterangi cahaya jalanan. Arsen berusaha menahan diri untuk tidak terus menatap, tapi sulit.“Pakai sabuk pengamannya benar?” suara Arsen terdengar datar namun penuh perhatian.Nayla mengangguk singkat. “Iya.”Hening kembali menguasai mobil.Setelah beberapa menit, Nayla memberanikan diri bicara. “Arsen.”“Hmm?”“Aku… aku minta satu hal.” Suaranya pelan, tapi jelas.Arsen melirik sebentar. “Apa?”“Tolong… selalu jaga jarak denganku. Kita… harus punya batasan. Apa pun yang terjadi.”Arsen terdiam. Ia mengetatkan genggaman di setir. “Kau ma







