Aku buru-buru melihat isi tas. Seingatku, aku menyimpan dompet di tas bagian depan. Tapi sekarang dompetnya tidak ada. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Lalu ke belakang. Terlihat seorang lelaki mengenakan jaket jeans belel dan topi berlari sambil sesekali menoleh ke arahku. Tak salah lagi. Orang itu pasti sudah mencuri dompetku."Pencopet ... pencopet ...," teriakku."Mana, mana?" Beberapa orang menghampiriku."Itu, Pak." Sebagian orang yang berkerumun mulai berlari untuk mengejar pencopet itu."Apa yang dicopet?" Sebagian yang lain ada yang menanyaiku."Dompetku." Aku terduduk lesu di pinggir sebuah kios sambil terus berdoa semoga dompetku bisa kembali.Beberapa orang yang tadi berusaha mengejar pencopet, terlihat sudah kembali."Maaf, Dek. Kami kehilangan jejak," ucap salah satunya. Membuatku semakin tertegun.Orang-orang mulai meninggalkanku dan kembali ke aktivitasnya masing-masing. Aku masih termenung sendirian. Pekerjaan belum dapat, uang yang dibawa pun kini sudah melayang. Ba
Aku semakin mempercepat langkahku menjauhi area pom bensin. Sesekali aku menengok ke belakang. Mami masih berusaha mengejarku sambil menjinjing sepatu hak tingginya. Namun, jaraknya sudah lumayan jauh karena tubuh mami yang subur membuatnya sedikit kesusahan berlari.Di depan sana, terlihat seorang lelaki yang sedang menelpon di pinggir mobilnya dengan pintu mobil terbuka.Aku bergegas mendekat ke arahnya. Lalu diam-diam masuk ke dalam mobil laki-laki itu. Bersembunyi di jok bagian belakang.BrughTak berselang lama, laki-laki itu masuk ke dalam mobil dan duduk di belakang kemudi.Mesin mobil mulai dihidupkan. Kemudian maju perlahan. Laki-laki yang belum terlihat wajahnya itu belum menyadari keberadaanku di dalam mobilnya. Aku masih bersembunyi di bawah jok.GuprakTerdengar sebuah benda yang jatuh."Kenapa hapenya harus jatuh segala sih," gerutu laki-laki itu. Mobil terasa berhenti. Laki-laki itu menunduk untuk mengambil hapenya yang jatuh."Hei, kamu siapa? Kenapa bisa ada di dalam
"Dia siapa, Mbok?" tanya wanita yang tampak tidak berbeda jauh usianya denganku."Dia--." Ucapan Mbok Sumi menggantung."Dia pengasuh Raisa," jawab tuan Raihan.Tiba-tiba tuan Raihan datang. Menuang air putih dalam gelas, lalu meneguknya sampai tandas sambil duduk di kursi makan."Pengasuh Raisa? Gak salah, Kak?" Wanita itu menghampiri tuan Raihan yang dipanggilnya Kakak."Salah kenapa?" Tuan Raihan menatap wanita dengan rambut pirang sebahu itu."Dia kan masih kecil," jawab wanita itu."Iya, dia memang masih kecil. Tapi dia lagi butuh kerjaan. Gak punya tempat tinggal. Kakak kasian melihatnya. Gak tega ngebiarin dia di jalanan malam-malam. Kakak teringat sama kamu." Tuan Raihan mengacak rambut wanita itu."Rindu. Ini adikku. Namanya Riana. Sepertinya kalian seumuran," ucap tuan Raihan.Aku mengangguk sambil sedikit membungkukkan badanku ke arah Riana. Wanita bermata bulat itu tersenyum sekilas. Duh, kayaknya jutek gitu."Usia kamu berapa, Rindu?" tanya tuan Raihan."Lima belas tahun,
Wajah Mbok Sumi terlihat langsung sedih. Ia menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan."Ibunya Raisa bernama nyonya Sarah. Nama Raisa sendiri diambil dari perpaduan nama Tuan Raihan dan nyonya Sarah. Tiga tahun yang lalu, Tuan Raihan menikah dengan nyonya Sarah setelah beberapa bulan pendekatan. Setelah setengah tahun usia pernikahan mereka, nyonya Sarah hamil. Tapi, tanpa disangka, nyonya Sarah meninggal beberapa hari setelah melahirkan Raisa. Nyonya Sarah mengalami pendarahan hebat." Mata Mbok Sumi tampak berkaca-kaca. Pandangannya menerawang seolah kembali mengingat masa lalu."Meskipun Mbok mengenalnya cuma sebentar, tapi Mbok tau nyonya Sarah orang yang sangat baik. Tuan Raihan sangat kehilangan istri yang begitu dicintainya itu. Sampai sekarang, belum ada wanita yang bisa menggantikan nyonya Sarah di hati Tuan Raihan.Mbok kasihan sama Raisa. Sejak kecil, dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang seorang ibu."Air mata Mbok Sumi mulai menetes. Mengaliri pipinya ya
"Kak, aku berangkat, ya." Riana menyembulkan kepalanya di pintu sebuah ruangan yang sudah disulap menjadi area bermain Raisa. Berbagai mainan ada di dalamnya. Mulailah dari ayunan yang terbuat dari plastik, perosotan, rumah-rumahan, berbagai macam boneka, dan masih banyak lagi."Iya. Hati-hati. Jangan boros boros. Beli apa yang dibutuhkan bukan diinginkan," pesan Tuan Raihan tanpa keluar ruangan."Siap, bos," timpal Riana sambil menutup kembali pintu itu."Ayo, Rindu," ajaknya.Aku pun mengikuti langkah kaki Riana menuju luar rumah.Sebuah mobil berwarna putih bertuliskan Alphard sudah terparkir di depan rumah. Riana langsung masuk ke dalam mobil itu. Di susul olehku. Kami sama-sama duduk di belakang. Bersisian."Ke mall ya, Pak," ujar Riana pada sang supir."Baik, Non," jawab sang supir sambil menyalakan mesin mobil.Sepanjang perjalanan, aku tertunduk memainkan kuku kuku tanganku yang mulai panjang untuk mengurangi ketegangan. Rasa dingin dan wangi yang menguar dari pengharum mobil
Langkahku semakin cepat ketika kulihat bapak mulai membuka pintu mobilnya."Bapak ...." Aku kembali berteriak sambil berlari. Air mata sudah mengalir deras membasahi kedua pipi.Laki-laki yang kini terlihat lebih tegap dan berwibawa itu menoleh ke arahku. Namun, seper sekian detik kemudian, masuk ke dalam mobil hitam miliknya. Diikuti wanita yang usianya tampak lebih muda dari ibu.Aku masih berusaha untuk mengejarnya. Berharap bapak masih mengenali anak perempuannya yang dulu ditinggalkan kini sudah beranjak dewasa.Langkahku sudah sangat dekat ketika mobil yang bapak kendarai mulai melaju perlahan. Namun, sesaat kemudian melesat semakin kencang mengabaikan panggilanku yang terus meneriakkan namanya.Aku pasrah. Tungkai kakiku melemah dan ambruk ke lantai. Terduduk lemas menatap kepergian mobil bapak yang keluar dari area mall. Aku tergugu. Menangis sesenggukan. Tertunduk seorang diri.Tak ku hiraukan tatapan iba dari orang-orang yang melewati tubuhku. Aku hanya ingin menangis. Ingin
Hari pertama di sekolah, aku masih merasa begitu canggung. Apalagi teman-teman di sini terlihat jauh berbeda dengan teman-teman saat di kampung dulu. Penampilan anak sekolah di sini lebih modis dan gaya. Membuatku merasa minder untuk bercampur baur dengan mereka.Waktu pulang sudah tiba. Riana terlihat telah menungguku di luar kelas. Majikan rasa teman itu melambaikan tangan saat aku baru saja keluar ruangan. Dengan senyum mengembang, dia menghampiriku dan mengajakku untuk segera pulang.Riana pernah bercerita, jika Tuan Raihan begitu over protective padanya. Tuan Raihan tidak mengizinkan Riana untuk pergi keluyuran sehabis pulang sekolah sekalipun itu ke rumah temannya. Tuan Raihan tidak mau adik perempuan satu-satunya itu terjerumus dalam pergaulan bebas yang marak terjadi akhir-akhir ini.Itulah sebabnya, Riana sangat senang ketika aku bekerja di rumahnya. Dia merasa punya teman sekadar untuk berbagai cerita."Ri, kenapa kamu bilang kalau aku ini masih sepupu kamu? Aku gak apa-apa,
Bibir masih mengembangkan seuntai senyuman saat aku melangkah memasuki rumah. Aku bagai seorang yang sedang dimabuk asmara. Tak sabar menanti untuk kembali bertemu dengan lelaki yang setia bertahta di hati. Bapak.Meski begitu banyak menorehkan luka dan kecewa, tetap saja jiwa ini masih mendamba untuk kembali mereguk manis kasih sayangnya. Tetap saja hati ini masih merindu belai lembutnya. "Bibi Lindu ...." Si cantik Raisa yang sedang menonton TV ditemani Mbok Sumi berlari kecil menghampiriku dengan merentangkan kedua tangannya. Rambut kriwilnya yang dibiarkan tergerai bergerak-gerak bagai sebuah per besi. Matanya yang bulat berbinar melihat kedatanganku. Ya, sedekat ini kami sekarang. Bagaimana tidak. Setiap waktu aku selalu ada di sisinya, kecuali jika aku sedang bersekolah. Bahkan setiap malam aku yang menemaninya tidur dan memeluk tubuhnya. Terkadang aku terjaga mendengar rengekannya yang minta susu di tengah malam.Bagiku, merawat dan mengasuhnya sama sekali tidak melelahkan.