"Rindu. Kenapa masih berdiri di sini?" Tiba-tiba Tuan Raihan sudah berdiri di sampingku. Matanya memandangku heran."Saya ... saya." Lidahku kelu. Bingung harus menjawab apa. "Santi." Sebuah suara terdengar menggelegar dari dalam rumah ibu. Suara yang tak asing lagi di telinga. Om Haryo."Ngapain kamu di situ? Ajak Rindi masuk. Di luar cuacanya panas. Lihat tuh, dia nangis pasti gara-gara kepanasan." Om Haryo berkata lantang di ambang pintu depan. Bahkan aku yang berjarak beberapa meter saja bisa menangkap suaranya dengan jelas.Ibu terlihat mengangguk. Menggendong Rindi kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Om Haryo pun ikut masuk. Diikuti suara dentuman pintu yang ditutup cukup keras.Aku mengusap dada. Bisa terlihat dengan jelas, kalau sekarang sikap Om Haryo pada ibu tidak selembut dulu. Ingin aku mengajakmu pergi jauh, Bu. Namun, aku bisa apa. Aku pun hanya hidup bergantung pada orang lain.Keinginanku bertemu ibu dan Rindi langsung, pupus sudah. Aku tak ingin lagi berurusan
Aku tertegun. Bimbang antara jujur atau tetap menutupinya. Bapak nampak sudah bahagia dengan keluarga barunya. Apa jadinya kalau orang lain tau tentang kebusukan yang selama ini ditutupinya? Ah, meski bagaimana pun, dia tetap bapakku. Aku tak ingin orang lain mengetahui keburukannya."Apa ... Tuan bisa berjanji satu hal?" tanyaku ragu. Menatap manik hitam legam yang juga sedang menatapku."Janji?" ulangnya.Aku mengangguk. "Saya mau berkata jujur pada Tuan, kalau Tuan sudah berjanji tidak akan mengatakan hal ini pada siapapun. Termasuk Riana.""Insyaallah saya berjanji," jawab Tuan Raihan mantap. Tentu saja aku percaya. Bukankah selama ini dia orang yang amanah?"Bapak saya baik-baik saja. Bahkan sangat baik. Setiap hari saya selalu berada dekat dengannya. Hanya saja, tak pernah bisa menyentuhnya." Aku berkata sendu. Ada perih yang menggores hati saat mengatakannya."Maksudnya? Dekat bagaimana?" Tuan Raihan seolah tak sabar mendengar lanjutan ceritaku."Bapak saya adalah ... Pak Ari W
Aku tersenyum menatap deretan huruf tulisan tangan Andika. Rapi. Persis tulisan cewek. Hai, Rindu. Apa kabar? Aku berharap kamu selalu baik-baik saja di manapun kamu berada. Selalu bahagia dan selalu dalam perlindungan Alloh SWT. Aamiin. Aku menulis surat ini, tepat sebulan setelah kepergianmu. Kamu tau gak, sebulan yang aku lalui tanpamu, bagai setahun lamanya. Bukan gombal ya, tapi kenyataan, hehe. Setiap hari aku selalu teringat sama kamu. Berharap kita akan segera kembali bertemu. Setiap waktu, aku selalu menatap layar ponsel. Berharap dapat kabar dari kamu meski sebatas SMS. Nihil. Tak ada sama sekali. Aku yakin itu bukan karena kamu melupakan aku. Tapi karena suatu hal yang kamu sendiri pun tak ingin. Aku sudah mengenalmu begitu lama. Sama sekali bukan tipe-mu membiarkan orang yang mempedulikan dirimu merasa cemas. Oh, iya. Hari ini adalah hari terakhir aku ada di Tasik. Ayahku dipindah tugaskan oleh perusahaannya ke Jawa Tengah. Aku sengaja menulis surat ini karen
Aku dan Tuan Raihan duduk di sofa ruang TV. Berjauhan. Wajahku menunduk dengan jantung bertalu-talu. Jari-jari tangankan bertautan satu sama lain, mengurai sedikit ketegangan yang menggelayut di hati."Ehhmmm." Tuan Raihan sedikit berdehem. Lalu mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak."Saya tadi habis ketemu teman. Janjian di restoran dekat kantor, makanya pulangnya telat." Tuan Raihan memulai percakapan. "Waktu saya akan pulang, saya tidak sengaja ketemu Pak Ari yang habis meeting sama rekannya. Jadilah kami ngobrol-ngobrol dulu sambil minum kopi." Tuan Raihan melanjutkan kembali.Aku mendengarkan dengan seksama. Sesekali menatap wajahnya tapi kemudian buru-buru menunduk lagi. Apalagi kalau tanpa sengaja pandangan kami beradu. Menambah ketegangan menjadi lebih kuat lagi. Suasana rumah yang sudah sunyi senyap membuatku begitu grogi. Hanya suara gemericik air yang membasahi genteng yang terdengar."Saya tadi sempat mendapat beberapa informasi, mudah-mudahan bermanfaat buat kamu.
"Kamu ngelindur, ya? Ngomongnya gak jelas gitu," tutur Tuan Raihan sambil bangkit dari duduknya."Kakak mau ke mana? Emang gak penasaran, siapa yang aku maksud?" tanya Riana menatap Tuan Raihan yang sedang berjalan menuju tangga."Enggak," jawab Tuan Raihan mengibaskan tangan sambil menaiki tangga."Aku juga mau tidur," ucapku sambil bangkit. "Rin, tunggu!" Riana menyusul. Mensejajarkan langkahnya denganku, lalu sama-sama masuk ke dalam kamar."Kamu gak nanya, siapa wanita yang akan aku jodohkan sama kakakku?" tanya Riana pelan saat kami sudah sama-sama berbaring."Enggak. Itu bukan urusanku," jawabku tak kalah pelan karena takut mengganggu tidurnya Raisa."Issshhh ... kamu mah gitu," protes Riana."Terus harusnya gimana?" "Harusnya kamu paksa aku buat kasih tau siapa orang yang aku maksud," jawab Riana."Iya, deh. Memangnya siapa orangnya?" tanyaku agar Riana diam."Kamu," jawab Riana sambil tersenyum menyeringai."Aku?" Aku menunjuk hidungku sendiri."Iya. Kamu," jawab Riana perca
Mata Erik menatapku tajam. Aku dibuat salah tingkah ditatapnya seperti itu. Apalagi sorot beberapa pasang mata yang menyaksikan kejadian ini membuatku semakin tak nyaman.Aku menunduk. Menghela napas panjang kemudian mengembuskannya perlahan. Mengurangi amarah yang masih menggelegak dalam dada. Bisa-bisanya Erik mengatakan sesuatu yang mustahil terjadi antara aku dan dirinya. Mungkin saja perasaannya itu hanya perasaan sayang seorang kakak pada adiknya. Karena ikatan batin saudara itu kuat. "Kenapa diam?" tanyanya. Masih menunggu kepastian dari mulutku.Aku mendongak perlahan. "Bukankan semuanya sudah aku katakan dengan cukup jelas? Aku ingin fokus belajar dan bekerja agar kelak jadi orang sukses. Bukan memikirkan hal konyol seperti ini." Aku berkata cukup pelan. Malu jika terdengar siswa lain."Ini bukan hal konyol. Ini menyangkut perasaan. Oke. Sekarang kita memang belum dewasa. Tapi dua atau tiga tahun lagi, kita sudah cukup dewasa. Dan aku pastikan aku akan kembali bertanya padam
"Ada apa, sih, Ri?" Tuan Raihan kembali bertanya. Menyimpan tas jinjing hitam yang biasa dibawanya bekerja di atas sofa. Lalu menggulung lengan kemeja navy yang digunakannya hingga ke siku. Matanya masih memandang ke arah Riana yang berwajah sembab."Gak apa-apa. Kakak tuh kepo terus sama urusan cewek," jawab Riana sambil menyusut cairan bening yang tersisa di kedua ujung netra sipitnya. "Beneran gak apa-apa? Kakak itu bukan kepo, tapi khawatir. Takut terjadi sesuatu sama kamu. Ya, meskipun kadang nyebelin, manja, cerewet, tapi kakak sayang." Tuan Raihan sedikit tergelak membuat bibir ranum Riana mengerucut seketika."Tuh, kan. Malah ngeledek lagi." Riana menghentakkan kakinya ke lantai. Membuatku tersipu melihat kelakuannya."Kakak percaya, selama Rindu ada di deket kamu, kamu akan baik-baik saja. Eh, tapi. Kok, kebalik ya? Bukannya kamu itu lebih tua dari Rindu? Harusnya sikapmu lebih dewasa dong," tutur Tuan Raihan."Ye ... biarin. Aku ini memang manja dan gemesin," sahut Riana ta
"Enggak, kok, Tuan. Beneran. Saya gak gak pernah minta Riana untuk mengajak saya ke Bali," belaku buru-buru. Takutnya Tuan Raihan berpikir akulah yang sudah menghasut Riana."Saya tau, kok. Kamu tenang aja. Saya yakin ini cuma akal-akalan Riana biar bisa liburan." Tuan Raihan memijit hidung mancung Riana, gemes."Habisnya ... selama ini, tiap aku minta liburan pasti gak diizinin. Apalagi alasannya kalau kakak takut terjadi sesuatu sama aku. Khawatir gini lah, gitu lah, gak ada yang nemenin lah, Raisa masih kecil lah. Kalau sekarang kan ada Rindu yang nemenin. Raisa juga udah cukup besar buat diajak liburan." Riana menjelaskan alasannya dengan muka sedikit ditekuk."Ri, kita kan udah berencana untuk berkunjung lagi ke rumah kakek sama nenek. Kamu gak inget pesan mereka waktu itu?" tanya Tuan Raihan mengingatkan peristiwa beberapa bulan silam."Apa yang dikatakan Tuan Raihan bener, Ri. Lebih baik liburannya di kampung kakek sama nenek saja. Mumpung mereka masih ada loh." Aku ikut member