Hatiku ikut tegang seketika melihat Tuan Raihan menutup panggilan dengan pandangan lesu."Kenapa, Kak?" tanya Riana dengan suara serak khas habis menangis."Barusan Teh Asih yang telepon. Kakek sakit katanya. Manggil-manggil kakak terus. Sudah tidak masuk makanan apapun, makanya dibawa ke RS." Tuan Raihan menjelaskan dengan sendu dan mata berkaca-kaca."Ya Alloh, Kakek," lirih Riana kembali menangis."Harusnya aku menuruti kakak untuk langsung ke Garut kemarin. Mungkin semua kejadian memilukan ini tidak akan terjadi." Riana tergugu menyesali semuanya."Sudah. Gak perlu menyalahkan diri sendiri. Ini semua sudah takdir. Lebih baik sekarang kita beristirahat. Besok pagi-pagi sekali kita kembali ke Jakarta. Terus langsung berangkat lagi ke Garut. Mudah-mudahan kakek segera sembuh," tutur Tuan Raihan lembut."Rindu, kamu juga istirahat, ya. Tolong jaga Riana. Dia pasti masih trauma dengan kejadian yang menimpanya tadi," pinta Tuan Raihan menatapku teduh."Baik, Tuan," jawabku singkat.Tuan
Suasana dapur yang remang-remang membuat bulu kudukku sedikit merinding. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali bunyi hewan malam khas pedesaan. Buru-buru aku berjalan meninggalkan dapur. Ketika melewati kamar nenek Tuan Raihan, samar aku mendengar suara tangisan. Pelan tapi begitu memilukan. Mungkinkan nenek yang sedang menangis?Aku mematung sejenak di hadapan pintu berbahan kayu jati itu. Bingung antara masuk atau membiarkannya saja. Namun, aku langsung teringat nenekku yang begitu terpukul waktu kehilangan kakekku belasan tahun silam.Perlahan aku mengetuk pintu itu pelan."Nek," panggilku lirih.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Menampakkan wajah keriput nenek yang sembab bersimbah air mata. Rambut yang sudah memutih semuanya itu digelung, tak seperti biasanya yang selalu memakai ciput."Rindu," sapa nenek dengan suara bergetar."Boleh, Rindu temenin?" Aku menatap mata cekung nenek."Tentu saja, Nak. Ayo masuk." Nenek berbalik, kembali ke dalam kamar. Aku mengikutinya
Sepersekian detik, jantungku terasa berhenti berdetak. Denyutannya seolah hilang shock dengan apa yang aku dengar. Namun, sesaat kemudian justru berubah mengencang. Hingga debarannya terdengar sampai ke telinga."Ma-maksud, Tuan, apa?" tanyaku dengan wajah yang pasti sudah pucat pasi bak mayat."Astagfirullah. Saya kok, bingung, ya ngomongnya." Tuan Raihan meraup wajah kasar. Kemudian, helaan napas pelan keluar dari mulutnya.Aku masih mematung dengan jantung yang semakin melompat-lompat. Menunggu penjelasan lebih jauh dari lelaki yang berjarak usia belasan tahun denganku itu."Gini maksud saya. Kamu mau gak jadi bagian dari keluarga saya? Jangan pernah berpikir lagi kalau kamu hanya sebatas pegawai di rumah saya. Bagi Riana dan Raisa, kamu itu sudah lebih dari keluarga." Tuan Raihan menjelaskan. Namun, aku masih belum sepenuhnya mengerti tentang arah dan tujuannya."Anggap saja Riana itu saudara. Raisa sebagai ... keponakan misalnya. Dengan begitu kamu tidak akan pernah punya niat un
Tuan Raihan tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "Terima kasih. Tapi ... apa kamu tidak akan mengantarku ke depan?" tanya Tuan Raihan membuatku salah tingkah."Oh ... tentu saja, Tuan. Mari."Tuan Raihan meneruskan langkahnya. Aku mengekor di belakang dengan jantung berdegup kencang. Kugenggam erat-erat benda pipih pemberian darinya.Di depan ternyata sudah berkumpul Riana, nenek, dan Raisa. Sepertinya mereka sudah mengetahui tentang akan perginya Tuan Raihan."Icha ... Ayah pergi dulu sebentar, ya. Icha di sini sama nenek, Tante Riri sama Bibi Rindu. Icha jangan nakal. Makannya yang banyak." Tuan Raihan berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan Raisa."Ayah mau ke mana?" tanya anak perempuan berusia tiga tahun itu. Raisa memang sudah fasih berbicara."Ayah mau kerja, Sayang. Cari uang buat Icha." Tuan Raihan membelai pelan pucuk kepala sang putri."Icha mau ikut sama ayah. Icha mau ikut pulang," rengek Raisa manja sambil menghentakkan kaki mungilnya."Iya.
Mataku berbinar membaca nama akun tersebut. Aku beringsut. Mengubah posisi tubuhku yang tadinya berbaring menjadi duduk menyender di kepala ranjang.Aku terima pertemanan dari akun bernama Andika dengan foto profil gambar seorang laki-laki sedang berada di puncak gunung. Namun, hanya bagian belakangnya yang tampak. Wajahnya tak terlihat sama sekali.Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak karuan. Sangat berharap jika pemilik akun ini benar Andika, sahabatku.Aku mengklik akunnya. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti, siapa sebenarnya yang ada di balik akun ini. Aku scroll dari atas sampai bawah. Nihil. Tak satu pun ada foto dirinya yang sedang menghadap kamera. Kebanyakan foto yang dia upload adalah pemandangan puncak gunung di beberapa tempat. Sepertinya dia anak pencinta alam. Bukan hobi Andika sama sekali.Aku menghela napas pelan. Rasa kecewa langsung menyergap hati. Harapan besar yang tadi kurasakan, sirna sudah. Namun, sebuah ide tiba-tiba melintas di
Aku berniat buru-buru masuk ke dalam rumah, menghindari pertanyaan konyol Riana pada kakaknya itu. Baru juga kaki ini mengayun, tangan Riana keburu mencekal pergelangan tanganku."Mau ke mana? Malah kabur," tanyanya."Aku mau ambil minum buat Tuan Raihan. Pasti haus setelah perjalanan jauh," elakku. Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Riana."Gak perlu. Gak apa-apa, kok. Saya kan bawa minum di mobil," cegah Tuan Raihan.Aku melirik Riana dengan ujung mata. Dia tersenyum menggoda. "Tuh, kan. Orangnya aja gak minta dibawain.""Siapa tau tadinya mau minum air dingin gituh. Secara kan hari ini panas banget." Aku masih mencoba mengelak agar bisa segera pergi dari sini."Sepanas hatimu, ya?" Riana tertawa lebar. Membuatku semakin kesal.Aku mendelik. Dia selalu saja menggodaku. Membuatku merasa salah tingkah dan kikuk di depan majikanku sendiri."Kakak bawain kalian oleh-oleh. Kakak ambil dulu di mobil, ya." Tuan Raihan hendak menyerahkan Raisa yang masih dipangkunya padaku."Biar say
Aku tertegun. Mencerna setiap tanya yang keluar dari mulut Tuan Raihan. Sepertinya lelaki di sebelahku ini begitu antusias ingin mengetahui hal ini. Namun, jangankan Tuan Raihan. Aku saja yang menjalaninya sulit untuk menjawab."Kok, diam?" Tuan Raihan protes melihatku hanya membisu."Saya bingung harus menjawab apa, Tuan. Sampai detik ini saja saya tidak tau bagaimana kabarnya dia. Apakah dia masih mengingat saya atau tidak? Atau mungkin, baginya, janji kami dulu hanya sebatas janji sepasang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Saya serahkan saja semuanya pada takdir. Bisa kembali dipertemukan lagi sangat bersyukur. Tidak pun tidak apa-apa. Yang pasti, saya akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang dia lakukan untuk saya. Saya juga akan selalu mendoakan agar dia selalu sehat di manapun berada." Aku menjawab dengan panjang lebar."Apa ... kamu menyukainya?" Tuan Raihan bertanya dengan ragu. Aku langsung menoleh mendengar pertanyaannya."Apa maksud, Tuan? Dulu kami masih begitu p
"Assalamu'alaikum," ucap Erik tersenyum mengerling menatapku."Wa'alaikum salam," jawabku membuang muka. Kesal. Padahal aku pernah bilang jangan pernah datang ke rumah ini."Ada perlu apa, Ka?" Aku berusaha bertanya sesopan mungkin. "Mau main aja. Emangnya gak boleh? Mumpung masih liburan, kan?" jawabnya membuatku semakin kesal."Maaf ya, Kak. Aku kan sudah pernah bilang, tolong jangan datang ke rumah ini. Aku gak mau pemilik rumah ini salah paham." Aku mengingatkannya lagi. Siapa tau dia hilang ingatan."Loh loh. Siapa yang bilang aku ke rumah ini mau ketemu kamu. Aku mau ketemu Riana, kok. Orangnya ada kan?" Kepala Erik celingukan melihat ke arah dalam rumah.Aku menghela napas pelan. Entah harus lega atau bagaimana. "Ada. Silakan masuk." Aku menggeser tubuhku dari ambang pintu. Memberi jalan kepada Erik untuk masuk ke dalam rumah.Dia berjalan dengan santai. Seolah tak ada kecanggungan sedikit pun. "Silakan duduk. Aku panggilkan Riana dulu," tuturku sopan. "Oh, iya. Mau minum ap