20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri