Share

Ketika Istri Berubah cantik
Ketika Istri Berubah cantik
Penulis: Purwa ningsih

Begitu menyakitkan

Eliana merasa bingung, badannya gemetar.

Ia memijit pelipis merasakan kepalanya begitu berat saat membuka mata. Mungkin, karena ia terlalu banyak menangis tak tahu apa yang harus ia lakukan.

Besarnya kecewa yang kian menumpuk di hatinya, membuat Eliana tak sanggup lagi bertahan dari rasa sakit yang menderanya.

Berulang kali ia menelepon suaminya, namun, tak terjawab dari seberang sana.

"Hallo, Mas!"

Eliana mendengus kesal, kenapa panggilan dibiarkan saja tanpa menjawab telepon dari istrinya? Kenapa suaminya tak mau berbicara dengannya? Eliana panik tak tahu harus menghubungi siapa lagi.

Oekkk.

Ia memegang kening anak semata wayangnya, suhu badan anaknya sangatlah tinggi, ia harus segera membawa Dafa ke rumah sakit, kalau tidak ke dokter terdekat. Eliana panik karena badan anaknya demam tinggi, bagaimana ini? sedangkan Elina

tak begitu hafal jalanan kota di mana suaminya bekerja.

Eliana, tak tahan dengan tangisan anaknya, bergegas ia membawa baju seadanya di dalam tas dan memasukkan uang di dalam tas yang depan. Eliana segera keluar rumah dan mengunci pintu dan menaiki taksi menuju rumah sakit terdekat. Ia tak

sadar jika ia ke rumah sakit hanya mengenakan daster lusuh miliknya.

-

Taksi membawanya ke rumah sakit, Eliana langsung membawa anaknya menuju IGD. Rasa cemas dan derai air mata membasahi pipinya.

"Tolong, dokter anak saya," pintanya pada sang dokter.

"Baik, Ibu, tolong tunggu di luar ya." Jelas sang dokter.

Eliana masih menangis. "Iya, dokter."

Jantung Eliana berdetak lebih cepat ia begitu takut jika terjadi apa-apa dengan anaknya. Eliana ingat harus menelepon suaminya lagi, namun hasilnya

nihil bahkan seratus panggilan tak juga di jawab oleh suaminya.

Mendadak perasaannya tak enak. Pikiran menjadi berkecamuk begitu saja membayangkan apa yang di lakukan suaminya saat bekerja. Bahkan ini sudah sangat malam, mungkinkah suaminya sedang berduaan dengan seorang wanita? Ah mungkin

hanya pikiran Eliana saja.

Tak terasa air matanya mengalir deras dan jatuh membasahi pipi.

"Bagaimana kondisi anak saya, dokter?" tanya Eliana saat dokter keluar.

"Alhamdulillah, untung anda segera membawanya ke sini, jika tidak akan bahaya,

Ibu. Demamnya terlalu tinggi."

"Terus sekarang, dok?"

"Aman, Ibu."

"Oh, Alhamdulillah. Terima kasih, dokter."

Dokter pria itu mengangguk mengiyakan.

Eliana masuk dan menatap anaknya dengan infus di tangan, pandangannya kosong.

Entah kenapa akhir-akhir ini suaminya begitu sibuk sekali, bahkan saat-saat ngidam sampai melahirkan hingga memiliki anak perhatianya berkurang. Suaminya lebih sering kerja lembur dan jarang pulang ke rumah.

Suara tangisan bayinya kembali terdengar, "Kamu akan sembuh, Nak. Bersabarlah

Mama, ada disini."

Sampai tiba-tiba ada pesan masuk dari nomor suaminya, terbaca oleh Eliana.

Satria; "Sudah tidur, Sayang? Maaf, Mas masih lembur. Uang gajiannya sudah aku

transfer ya."

Seketika detak jantung Eliana sesak seperti ada pisau yang menusuk tepat di dalam jantungnya. Meski ragu, namun Eliana mencoba membalasnya.

Eliana; "Belum, Mas."

Langsung bercentang biru, Satria di sana sedang mengetik.

Satria: "Kenapa belum? Tidurlah ini sudah malam, aku harus menyelesaikan tugasku ini, dua hari lagi aku baru bisa pulang. Jaga anak kita ya?"

Eliana terisak merasakan bahwa ia sendiri di kota sebesar ini tanpa sanak

saudara.

"Keterlaluan kamu, Mas!" Lirih Eliana sambil mengelap sudut matanya yang basah.

Eliana: "Dafa, rawat inab. Di rumah sakit, Mas."

Notif berubah menjadi centang satu.

Dada Eliana terasa sesak menahan gejolak jiwa yang terasa hampa, entah suaminya berbohong atau tidak yang jelas pikiran buruk menghantui Eliana. Hingga pagi hari notif berubah menjadi centang biru.

"Kamu kenapa? Bukankah aku sibuk. Kau tahu kan kau bisa atasi semuanya, aku

juga sudah kirim uangnya 'kan?"

Eliana: "Iya aku baik, aku bisa atasi semuanya, Mas."

Bohong Eliana, yang sejujurnya ia ingin menjerit sekencang-kencangnya saat ini

juga.

Satria: "Bukan seperti itu, El, sikapmu kenapa? Kenapa aneh, aku kerja disini lo, tidak main-main."

Eliana: "Tidak ada yang aneh, tenanglah, aku bisa jaga, Daffa."

Eliana seraya berusaha membuat anak semata wayangnya tersenyum. Eliana

menghela napas panjang berusaha untuk tegar dan kuat.

Satria: "Aku tidak akan pulang hari ini, tolong jaga, Daffa."

Eliana merasa tak peduli, suami macam apa ini, kelakuannya benar-benar keterlaluan.

Satria: "El kau dengar?"

Eliana hanya diam tak peduli dan tak menjawabnya.

"Mas, ayolah jangan lama-lama." Suara wanita terdengar di pendengaran Eliana

dari sebarang sana

Wajah Eliana seketika memanas, menahan gejolak dada yang kian meledak. Siapa wanita itu? Kenapa nada suaranya begitu manja dengan suaminya? Wanita itu siapa? Menemani suaminya bekerja kah?

Eliana: "Mas, siapa wanita itu, kamu sedang berbicara dengan siapa?"

"Bosku, maaf, El. Mas harus bekerja lagi."

Panggilan dari suaminya Satria tiba-tiba terputus.

Jantung Eliana tak berhenti berdetak, membayangkan jika suaminya benar-benar selingkuh darinya. Kenyataan bahwa sang suami tak pernah sekalipun menyakitinya, ia pun tidak pernah berkata kasar pada dirinya, bagaimana mungkin

bisa ia berselingkuh.

Eliana menyimpan semua kecurigaan. Pada suaminya, namun ia harus fokus mengurusnya anaknya yang sedang sakit saat ini.

-

Satu hari kemudian.

"Bu ... anaknya, Daffa sudah boleh pulang, tolong dijaga agar tak mudah demam,

Ibu." Dokter memberi saran pada Eliana.

"Baik, dokter, terima kasih."

"Sama-sama semoga cepat sembuh."

Elaina tersenyum. "Aamiin."

Selesai membayar administrasi, Eliana menggendong si kecil dan melangkah pergi

meninggalkan rumah sakit, menuju jalan utama. Eliana melangkah melewati trotoar di sebelah kiri jalan menuju depan. Suara kicau burung terdengar merdu di pepohonan rindang pinggir jalan. Angin siang ini, membuainya. Menebarkan damai

di penjuru hati.

Eliana terus saja melangkah saat ada lalu lalang sepeda motor di sampingnya. Langkahnya semakin ia percepat agar lekas sampai jalan utama. Matanya menyapu mencari taksi, selang beberapa menit Eliana dan Dafa sudah berada di dalam

taksi. Senyum dari Dafa membuat Eliana begitu kuat menjalani semuanaya. Masih di dalam taksi ia hanya bisa memeluk tubuh mungil sang buah hati, berharap jika anaknya akan baik-baik saja kelak.

Hari itu di mana suaminya juga pulang ke rumah. Satria memeluk tubuh istrinya dengan hangat, Eliana mencium tangannya dengan takzim. Setelah lama tak bertemu Satria mengendong Dafa, mungkin rasa rindu pada ayahnya membuat Dafa terdiam

dalam gendongan sangat ayah.

"El, aku hanya sebentar saja, besok aku sudah harus ke luar kota untuk menemani Bosku menemui kliennya." Tatap Satria membuat Eliana seolah tak mengenali suaminya lagi, tatapan itu yang sulit Eliana artikan.

"Tidak bisakah satu hari saja bersama kami, Mas, Dafa butuh kamu," pinta Eliana pada suaminya.

Satria hanya diam, saling tatap dalam kebisuan. Entah ada apa ini?

Eliana mendekati dapur dan mencuci piring di wastafel sambil menahan sesak di dadanya. Tidakkah ia lelah? Kenapa sudah mau berangkat lagi? Entah kenapa

seketika bayangan Eliana merasa jika ada wanita lain dalam hati suaminya.

"Semua juga untukmu dan anak kita, El, tolong mengertilah," rayu Satria sambil

memeluk tubuh istrinya dari belakang.

"Sejak, Dafa lahir kau begitu sibuk, Mas, bahkan aku begitu asing buatmu, aku

merasakan itu."

"Kau yang berlebihan, El. Aku masih sama dan masih mencintaimu."

"Mas, tak bisakah sedikit waktumu untuk kami.

"Sudah, ya, aku capek. Aku mau tidur," ucapnya dengan nada tinggi.

Satria tak memperdulikan Eliana, yang masih duduk termangu di sebelahnya. Eliana masih sibuk menidurkan Dafa yang sedikit rewal. Sedangkan Satria sudah terlelap dalam tidurnya, tanpa menghiraukan istrinya yang begitu rindu akan dirinya yang satu minggu baru pulang ke rumah.

"Keterlaluan kamu, Mas!" Lirih Eliana kesal.

Adzan menggema Eliana hanya menguncir rambutnya keatas dan membuat sarapan untuk suaminya, selesai ia memanggil suaminya yang masih sibuk dengan laptopnya.

"Sarapan dulu, Mas," ajak Eliana.

"Iya sebentar lagi."

Eliana mengangkat tubuh Dafa dan memandikannya selesai ia langsung menyuapinya dengan bubur bayi. Eliana kesana kemari. Membujuk anaknya agar mau disuapi, selesai ia kembali ke rumah di dapati suaminya sudah rapi dan pergi bekerja

hendak keluar kota.

"El, aku berangkat lagi. Jaga Dafa dengan baik jangan sampai ia masuk rumah sakit lagi," ucapnya mengingatkan Eliana istrinya.

"Iya, Mas."

Eliana mencium takzim punggung tangan suaminya sambil menggendong anaknya

dengan daster lusuhnya.

Hari-hari Eliana lalui tanpa suaminya dengan lantunan doa yang tak henti. Mengharap pada yang Maha Kuasa, agar segalanya di lancarkan dan pernikahannya bisa terselamatkan. Namun pagi itu ponsel. Di atas nakasnya berdering nyaring,

beberapa pesan chat dari nomor yang tak ia kenali. Saat Eliana membukanya seolah tubuhnya mau terjatuh.

Tangannya gemetar melihat foto-foto mesra suaminya dengan wanita lain juga

sebuah vidio seorang wanita bergelayut manja pada suaminya. Eliana menahan rasa panas, rongga dadanya sesak. Tak tahu harus berkata apa kenapa suaminya tega memperlakukannya seperti ini.

"Mas Satria kau keterlaluan...." lirih Eliana sambil terisak.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Suaminya bangsat, udah depak aja
goodnovel comment avatar
Rani Hermansyah
mampir ya BESTie Judul buku Istri yang Tak Dirindukan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status