Mobil yang membawa kami telah terparkir di tempat yang telah ditentukan oleh panitia. Tepat di seberangnya rumah yang sedang berlangsung acara hajatan tersebut. Satu persatu dari kami turun. Bang Zaki membantu menurunkan ibu. Dengan gerakan cepat, Wulan yang telah keluar terlebih dahulu mengeluarkan kursi roda milik ibu dari jok paling belakang.Dengan tenang dan santai aku mendorong kursi roda ibu menuju ke tempat acara. Kami harus menyeberang jalan menuju tempat berlangsungnya pesta.Pesta yang cukup meriah dan megah untuk ukuran di kampung. Aku terus menatap ke arah pasangan yang sedang berada di pelaminan dengan dekorasi yang mewah itu. Bukan apa-apa hanya ingin melihat reaksi mas Radit saat melihat kedatangan kami.Tampaknya lelaki yang sedang menjadi raja sehari itu belum mengetahui kedatangan kami. Dia masih sibuk dengan para tamu undangan yang memberikan ucapan selamat padanya.Para penerima tamu sudah menyambut kedatangan kami yang beriring-iringan ini. Bapak dan Bunda berja
"Fotografer, tolong fotokan kami dong," pinta Bunda pada lelaki berseragam putih yang mencangklong kamera. Tangan yang penuh dengan gelang emas itu mengulurkan handphone ke arah pria tersebut.Lelaki itu mendekat ke arah Bunda dan segera mengambil handphone dalam genggaman ibu tiriku. Aku yang sudah hendak turun pun terpaksa kembali ke arah mempelai setelah dipanggil Bunda dari atas panggung. Bunda sepertinya tahu apa yang aku rasakan. Dengan segera, beliau berdiri di antara aku dan Desti. Wildan yang sudah menunggu di bawah pun kembali naik. Dia berdiri di antara bapak dan ibu tirinya itu.Entah apa tujuan Bunda meminta foto bersama? Aku juga tidak mengerti apa maksud Bunda beli baju seragaman untuk kami semua? Bruuk! Suara benda jatuh terdengar dari atas pelaminan. Siapa yang jatuh? Enggan rasanya aku menoleh tapi penasaran.~~~~Rasa penasaran yang tinggi membuatku menoleh ke arah panggung. Semua orang terlihat panik. Seketika suara musik yang bising itu berhenti. Mataku terus m
Dengungan para tamu undangan mulai terdengar. Kasak-kusuk mereka membicarakan Desti. Tak ada suara yang membelanya. Semua terdengar menghujatnya."Oalah dia hanya istri kedua? Tapi kok malah marah-marah pada istri pertama, ya? Dasar nggak tahu malu. Aku menyesal datang ke sini. Kalau bukan karena suamiku kenal baik dengan pak Radit ogah aku datang. Aku juga tidak menyangka Pak Radit lelaki yang suka mendua." Suara seorang ibu yang duduk di kursi baris kedua. "Ya Tuhan … ternyata pemilik grosiran itu pelakor. Menjijikkan." Aku menoleh ke arah sumber suara. Seorang ibu muda sedang yang duduk di sebelah kiri ibu yang tadi berbicara."Padahal, cantik istri tuanya dan juga terlihat sayang mertua. Kok bisa diselingkuhi seperti ini? Mas Radit itu membuang berlian belum tentu mendapatkan gantinya dengan batu permata. Bisa jadi hanya batu kali yang tidak berkualitas." Suara perempuan yang lain saling menimpali. "Dengar ucapan ibu-ibu barusan? Yang dibela siapa? Aku kan? Itu baru beberapa ora
Jantungku seakan berloncatan dari tempatnya, saat mata ini menatap Alina dan keluarga besarnya memilih tempat duduk di depan pelaminan pas. Dengan santainya mereka duduk sambil mengunyah makan. Ya Allah … sesantai itu mereka? Justru aku yang tidak santai sama sekali. Mata ini terus menatap satu persatu dari mereka yang mengiringi Alina. Ada Bapak dan Bunda. Bang Sukri dan keluarga kecilnya. Bang Zaki, istri dan anak tunggalnya. Wulan, orang kepercayaan Alina di rumah makan. Lalu lelaki itu siapa? Ini pertama kalinya aku menatapnya. Kenapa dia juga mengenakan baju seragam? Jangan-jangan calonnya Alina. Ah, tidak. Tidak mungkin Alina secepat itu. Dia bukan wanita gampangan. Segera, aku enyahkan pikiran negatif yang merasuk dalam otak ini.Senyum ini berkembang saat melihat Wildan yang sedang makan dengan lahap. Anak bukan pemilih makanan. Selama itu diperbolehkan oleh ibunya, apa saja ia makan. Tidak manja meskipun, ibunya memiliki banyak uang. Sayangnya, dia harus melihat aku duduk d
Lelaki berseragam baju panitia itu datang dengan napas tersengal-sengal. Habis lari dia."Selesaikan dulu urusanmu, Mas. Maaf kami harus segera pulang. Ini mobil orang. Sudah ditunggu yang punya." Dengan gerakan cepat Alina membuka pintu mobil. "Tunggu, Lin. Beri kesempatan aku untuk bicara." Permintaanku tak diindahkannya. Dia masuk ke dalamnya tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara padaku."Sudah tak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Tunggu surat panggilan dari pengadilan." Kepala Alina nyembul di jendela mobil yang dibuka setengah. Aku membeku di tempat. Ucapan Alina bagai air es yang menyiram seluruh tubuhku. Apa artinya aku kehilangan kesempatan untuk rujuk dengannya? Lagi- lagi aku kalah strategi oleh perempuan itu. Ah, si al! Aku me ne ndang ban mobil milik orang yang sedang terparkir di dekatku. Mobil Alina bergerak maju menjauh dari tempatku berdiri. Tempat yang kami jadikan parkiran adalah lapangan. Sehingga lebih leluasa untuk memutar kendaraan. Si al. Aku kehilan
"Bang, apa-apaan ini?" Dengan kasar Desti mengeluarkan semua isi peti kayu yang dibungkus dengan kertas kado dan dihiasi pita. Aku terperangah menatap isinya yang berserakan di lantai akibat ulah Desti. Tidak ada yang istimewa atau pun spesial. Semua hanya baju-baju dan barang-barang milikku yang ada di rumah Alina. Kenapa Alina harus mengusir aku dengan cara seperti ini? Apa itu artinya rumah itu telah ia kuasai? Padahal, di sana aku masih memiliki hak. Hak atas harta bersama.Aku lunglai seketika. Seluruh persendian ini rasanya tidak bertulang. Kursi tamu menjadi pilihan untuk menjatuhkan bobot tubuh ini."Ini artinya dia sudah mengusir, Abang! Sudah menginjak-injak harga diri Abang! Aku tidak menyangka Alina se ke jam ini! Kamu harus melakukan sesuatu, Bang! Harus segera!" Desti bersungut-sungut, matanya menyalang ke arah onggokan baju yang berserak di lantai. Aku bergeming. Tatapanku lurus ke depan. Pikiran ini mengawang. "Bang! Jangan diam aja dong! Lakukan sesuatu untuk Alin
Usai pulang dari kondangan kami masih kembali ke rumah Bang Randu. Bahkan rencananya dua hari kedepan. Hitung-hitung liburan untuk anak-anak. Kebetulan bertepatan dengan anak-anak yang baru selesai menjalani ujian semester genap. Sehingga tidak mengganggu sekolah mereka.Ada beberapa hal yang akan kami kerjakan di sini. Salah satunya kami akan berkunjung ke rumah Ririn usai menilik kebun karet yang dulu aku miliki. Kami sudah janjian untuk mengunjungi rumahnya yang masih tiga puluh kilo lagi dari sini."Lin, tadi Mbak sempat khawatir sama kamu, lho. Takut-takut Desti mengamuk dan hilang kendali kemudian mencakar dan menjambak kerudungmu," ungkap Mbak Puji usai makan malam. Aku tersenyum menanggapi ucapan istrinya Bang Sukri. Kami, para orang tua masih berbincang di meja makan. Anak-anak telah diamankan oleh Wulan di depan. Dari suaranya yang riuh, bisa dipastikan mereka sedang bermain di ruang tengah milik Bang Randu."Keren kamu tadi, De. Kalau Mbak jadi kamu sudah tidak tahu lagi.
******Jam sepuluh pagi kami berangkat ke kebun karet yang berjarak sepuluh kilometer dari rumah Bang Randu. Kami hanya berangkat dengan mengendarai motor.Bang Randu memang duda tajir. Lima motor adalah salah satu bukti lelaki yang belum memiliki anak itu adalah golongan kelas menengah ke atas selain dua mobil. Satu mobil pribadi yang kemarin digunakan ke kondangan. Dan ini mobil kijang kapsul yang sudah cukup umur yang kami tumpangi. Mobil yang digunakan khusus untuk ke kebun-kebunnya. Katanya, kendaraan roda dua itu pun sengaja dibeli untuk fasilitas para karyawannya. Setiap pagi mereka akan mengambil dan sorenya dikembalikan lagi ke rumah yang punya. Hari ini pun kami melihat sendiri mereka mengambil motor-motor itu. Tentu, motor bekas yang dibelikan Bang Randu untuk mereka.Mobil melaju meninggalkan rumah besar milik Bang Randu. Di belakang kami ada tiga orang yang mengikuti. Mereka tentang ga Bang Randu yang akan ditugaskan untuk menyadap karet.Bapak tanpa Bunda kali ini. Bel