Share

Bab 2

  

Seluruh gajiku untuk mamaku

 

 

Perkataan Bara beberapa hari lalu masih terngiang, aku masih bingung dan serba salah. Untung saja kebutuhan untuk beberapa hari ke depan masih ada, cukup sampai aku gajian nanti. Hubunganku dengan Rania juga sedikit merenggang.

 

Pokoknya semenjak dia mengatakan sudah mengundurkan diri, aku menjadi enggan untuk bercakap-cakap sebelum tidur ataupun melihat senyumannya.

 

Semua itu terasa hampa.

 

"Kamu kenapa lagi?" Bara menatapku tajam membuat nyaliku sedikit ciut.

 

Bara adalah orang yang menguasai bela diri, larinya pun sangat cepat. Bahkan ada teman istrinya yang dia bawa lari seperti angin, sampai orang itu tidak sadar kalau dirinya sudah dipindahkan Bara.

 

"Sudah baikan belum sama Rania?" tanyanya. Kali ini dia tidak duduk, tapi membungkukkan badannya sambil kedua tangannya memegang mejaku.

 

"Tidak perlu dekat-dekat."

 

"Kenapa? Kau takut?"

 

"Tidak. Aku bukan laki-laki yang penakut."

 

Alasan apa yang harus aku katakan padanya kali ini? Dia pasti akan menceramahi aku lagi.

 

"Pak Bara, maaf, ditunggu direktur Azam di pantry!"

 

Disaat aku sedang memikirkan alasan, Kiya, sekretarisku tiba-tiba mengetuk pintu yang terbuka dan mengabarkan kalau direktur Azam menunggunya.

 

Akhirnya aku lolos.

 

Sebelum menghilang dari balik pintu, dia menatapku lekat, "Renungkan apa yang aku katakan waktu itu!" lalu dia menghilang.

 

Ah, akhirnya bisa bernapas lega.

 

 

***

 

 

"Kok kamu kusut gitu, Mas?" tanya Rania ketika melihatku masuk ke dalam rumah. Aku tidak menjawab, pertanyannya kuanggap sebagai angin lalu.

 

Bukannya diam, dia malah mengejarku sampai ke kamar.

 

"Salim." Rania menarik tangan kananku, tapi langsung kutepis.

 

"Kamu kenapa, sih, Mas?" dia mulai terpancing.

 

Tapi aku masih diam. Apa yang selama ini mama dan Ica katakan benar, kalau Rania gampang tersulut emosi.

 

"Enggak usah tanya-tanya aku!"

 

"Loh, terus aku tanya siapa, Mas?" Rania menatapku dengan tatapan yang tidak biasanya, karena aku baru pertama kali melihatnya.

 

"Terserah. Pokoknya jangan tanya aku kalau kamu enggak kerja."

 

Rania terdiam ketika melihatku membuang baju sembarangan. Tatapannya mulai tajam ketika lemparan kaos kakiku tepat ke meja kecantikannya.

 

"Mas!" Rania mulai terbawa emosi, tapi aku pura-pura tidak mendengar. Malas sekali jika harus mendengarkan perkataan dari wanita pengangguran.

 

"Enggak usah bentak gitu, aku gak budek!"

 

"Apa yang kamu lakukan, Mas?"

 

"Kamu punya mata kan?" kini suaraku lebih mendominasi.

 

"Rik, Riko!" panggil Mama dari luar, aku langsung membuka pintu.

 

"Kenapa, Ma?"

 

"Mama minta uang, ya?" 

 

"Uang? Bukannya aku baru saja memberikannya kemarin?"

 

"Enggak cukup, Rik. Mama sudah naksir baju yang ada di Mall kemarin. Tapi uangnya kurang."

 

Melihat ekspresi Mama yang memelas seperti ini membuatku tidak tega, bergegas aku mengambil uang yang masih ada di brankas.

 

"Tunggu, Mas!" Rania menghadangku.

 

"Janganlah kamu halangi Mama, Ran," ucap Mama terisak. "Apalagi kamu kan belum pernah beliin Mama dan Ica baju satu pun."

 

"Mama jangan fitnah!" ternyata tatapan tajam Rania tidak hanya padaku, tapi juga sama Mama. Aku sungguh tidak sadar kalau wanita yang kunikahi ini ternyata punya sifat yang berbeda.

 

"Rania berhenti! Kamu jangan buat Mama semakin sedih, aku tahu Mamaku bukan wanita yang sudah melahirkanmu. Tapi setidaknya sayangilah!" bentakku.

 

"Jadi kamu menilaiku begitu, Mas?"

 

"Aku hanya menilai dari apa yang aku lihat, Rania."

 

"Kau tidak adil, Mas!"

 

Darahku seketika mendidih ketika Rania mengatakan aku tidak adil.

 

"Katakan, dari arah mana aku terlihat tidak adil?"

 

"Pikir saja sendiri!" Rania kembali menghadangku agar tidak bertemu dengan Mama.

 

"Jangan halangi aku!"

 

"Atas dasar apa kamu memberikan Mama uang untuk membeli baju, sementara beras sudah kosong?" ucapnya.

 

Kini aku terdiam. Belum sempat aku mengulurkan tangan, Mama sudah maju ke sampingku dan mengambilnya.

 

"Terima kasih ya, Riko. Kamu memang anak yang berbakti, Mama bahagia punya anak sepertimu," ucapnya, kemudian berlalu.

 

Rania menatapku tajam, "Mau sampai kapan kamu seperti ini, Mas?"

 

"Seumur hidup, karena dia wanita yang sudah melahirkan aku."

 

"Baiklah, kalau begitu ceraikan aku sekarang!" ucapnya penuh penekanan. "Jadi kau bisa hidup dengan mamamu!"

 

 

 

**

 

 

Next enggak, nih?

 

 

Komen (3)
goodnovel comment avatar
agus wahyudi
bahasanya to tue point, ga berbelit belit
goodnovel comment avatar
Uly Muliyani
bgs kata2 terakhirX...
goodnovel comment avatar
Safariyah Nurhayati
bikin ngga mau berenti baca...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status