"Sheila, kamu jangan tersinggung ya? Aku mau ngomong serius!"
"Ngomong apa Bang?""Kamu bisa pergi gak? Jangan ajak ngobrol aku terus, aku mau makan tau!""Hehehe, oke aku kunci deh mulutku ini." Sheila mengacungkan ibu jarinya ke udara.Aku langsung melahap nasi di piring dengan secepat mungkin, cacing di perutku sudah demo sejak tadi, tetapi Sheila tidak mengerti dan malah mengajakku bicara panjang lebar. Rasanya kesal sekali, aku merasa dijebak oleh pertemuanku dengan Aisyah.Setelah selesai makan, Sheila kembali mengajakku bicara. Aku benar-benar tidak memperdulikan ucapannya, bahkan aku hanya menjawab ala kadarnya saja. Aku masih memimpikan seandainya aku benar-benar bisa menikahi Aisyah, tetapi sayangnya itu hanya angan-angan semata. Aku tidak mengerti mengapa aku sangat bosan dengan pernikahan ini, ya mungkin karena sudah lima tahun pernikahan kami, tapi belum juga dikaruniai seorang anak. Sheila memiliki riwayat penyakit kista, walau ia sudah dioperasi dan sudah sembuh total, tetapi kata dokter hanya kemungkinan kecil kami bisa memiliki anak.
"Shel, aku ingin sekali punya anak!"Seketika kata-kataku membuat Sheila diam membisu, dirinya yang masih bicara panjang lebar langsung menutup mulutnya rapat-rapat."Maaf, kalau aku uda buat kamu tersinggung," ucapku lirih."Gak papa kok Bang aku ngerti, ya udah ayo kita buat anak yang banyak. Pantang menyerah sebelum pagi!" Ia bersorak mengangkat tangannya sambil menarik tanganku, mulutku terbuka lebar melihat tingkahnya. Astaga, mengapa ia malah menjadi salah mengerti. Padahal maksud omonganku bukan untuk kesitu, aku ingin ia sadar tidak dapat memberiku anak dan mengizinkanku menikah lagi, bukannya malah mengajakku tempur di siang bolong seperti ini."Ayo Bang, kok malah diem aja sih!" Sheila terus saja menarik tanganku sekuat tenaganya, tetapi aku enggan beranjak dari tempat duduk. Spontan saja aku membentaknya, rasa kesal dalam hatiku benar-benar sudah memuncak."Bukan itu maksudku Dek, aku mau nikah lagi. Aku bosan kamu kerjain terus, tapi nyatanya kamu gak hamil-hamil. Aku juga pengen punya keturunan, tolong jangan egois!"Genggaman tangan Sheila mulai mengendur saat mendengar ucapanku, air matanya mengalir membasahi kedua pipi mungilnya. Bibirnya bergetar tidak mengeluarkan sepatah katapun."Maaf Dek, bukan maksudku menyakiti perasaanmu, tapi aku hanya minta sedikit pengertianmu saja." Aku mencoba menyeka air matanya, tetapi Sheila menepis tanganku. Ini baru pertama kalinya Sheila menolak sentuhanku, pasti ia sangat sakit hati dengan kata-kataku. Aku ingat betul dengan kata-kata Sheila, ia akan memaafkan segala kesalahanku, tetapi tidak untuk berselingkuh atau pun dimadu. Ia berkata hatinya terlalu rapuh untuk di dua kan dan ia juga tidak suka berbagi diriku dengan orang lain, tetapi bagaimana lagi aku benar-benar bosan dengan pernikahan tanpa anak ini.Sheila menyembunyikan wajahnya dan langsung berlalu pergi masuk kedalam kamar, aku tau aku pasti sudah sangat keterlaluan. Naluriku berkata tidak tega karena telah menyakiti anak yatim piatu itu, Ibu dan Ayahnya sudah menyakiti dia dengan cara membuangnya, kini aku suaminya pun malah tidak bisa membahagiakan nya. Lelaki macam apa aku ini? Akan tetapi aku juga menginginkan keturunan, aku bosan jika harus menjalani hidup hanya berdua dengan istriku. Aku ingin mendengar tangis dan tawa seorang bayi di rumah ini.Satu harian ini Sheila sama sekali tidak ada keluar kamar, ia mengunci pintu kamar dan tidak memberiku izin untuk masuk. Sudah sampai larut malam pun Sheila tak kunjung mau membukakan pintu, setiap aku mengetuk pintu dan memanggil namanya sama sekali tidak ada jawaban darinya. Dengan terpaksa aku mendobrak pintu secara paksa, Alhasil terbuka juga dan kulihat Sheila sudah terlelap.
Aku melihat wajahnya yang sebab, masih ada sisa air mata di pipinya. Tanpa sadar aku menyentuhnya dan membuat Sheila terbangun, saat melihatku ia langsung membalikkan tubuhnya membelakangiku. Sepertinya kali ini ia benar-benar marah dan tidak akan meminta dilayani, aku merasa lega karena malam ini bisa tidur tanpa harus dikerjai nya terlebih dahulu.
Keesokan harinya aku terbangun dari tidurku, perlahan aku mengerjapkan mata dan kulirik disampingku, Sheila sudah tidak ada disana. Ia memang selalu bangun pagi untuk membuatkan sarapan dan juga bekal, tanpa pikir panjang aku segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri, tetapi aku tercengang saat melihat seisi dapur tidak ada orang. Lalu Sheila ada dimana pikirku, aku mencoba mencarinya mengelilingi seisi rumah, dan kutemukan ia sedang duduk di kursi belakang sembari menatap kebun kami dengan pandangan kosong.
"Shel?" Aku menepuk bahunya, tetapi ia tidak mau menoleh melihatku. "Aku tau aku sudah keterlaluan, tapi kamu jangan seperti ini dong! Masa gara-gara masalah sepele kamu mogok masak, dan malah malas-malasan. Itu sama saja artinya kamu lalai dalam kewajibanmu sebagai istri!" imbuhku dengan tegas. Bukannya menjawab Sheila malah menatapku dengan matanya yang memerah, lalu pergi meninggalkanku begitu saja sembari memberi secarik kertas.
Aku membuka kertas itu dan terdapat tulisan 'Bekal kamu uda aku siapin, sarapan kamu uda ada diatas meja makan. Tolong jangan ajak aku ngobrol, aku ingin sendiri!' Aku tidak mengerti mengapa ia menjadi membisu seperti ini, tetapi aku tidak ingin memikirkan nya paling juga nanti ia kembali ganas seperti biasanya.Dengan cepat aku langsung mandi untuk membersihkan diri, aku mengguyur kepala ku dengan air dingin. Seketika rasa panas dikepala ini hilang, aku sangat bingung menghadapi Sheila saat ini hingga membuat kepalaku terasa panas. Setelah selesai mandi, dengan segera aku masuk kembali ke kamar. Kulihat Sheila kembali berbaring ditempat tidur, ia tidak lagi menyiapkan pakaianku, ia tidak lagi melayaniku seperti biasanya. Aku hanya menatapnya sambil menghela nafas panjang.Perutku sudah sangat keroncongan, dengan segera aku menuju meja makan dan membuka tudung saji. Kulihat hanya ada sepiring nasi goreng gosong disana, aku benar-benar marah kali ini, bisa-bisanya ia membalaskan dendam
Hari ini aku sangat lelah rasanya, kulajukan sepeda motor dengan kecepatan penuh agar segera sampai rumah. Biasanya kalau sudah mengeluh capek Sheila pasti akan langsung pijitin aku, rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera sampai di rumah.Sesampainya dirumah tidak ada lagi sambutan ketika aku pulang, padahal biasanya Sheila pasti paling senang kalau melihat aku pulang kerja. Bahkan ia selalu langsung lari peluk dan cium aku, tetapi kini rasanya rumah sepi tanpa keceriaannya lagi.Krek…Kutarik handle pintu yang tidak terkunci itu, mataku melirik kesana kemari mencari keberadaan Sheila, tetapi tidak ada tanda-tanda dirinya. Feelingku mengatakan ia pasti masih berada didalam kamar, dan benar saja kulihat ia masih berbaring dan terus menangis diatas kasur."Shel, aku capek banget hari ini loh," ucapku sembari mengelus rambutnya yang lembut.Sheila malah menepis sentuhanku dengan kasar lalu berkata, "aku lebih capek, nangis berhari-hari kamu buat Bang!""Siapa yang suruh kamu nangis?
Aku hanya menghela napas panjang mendengar perkataannya, padahal biasanya kalau aku cium ia pasti akan kegirangan dan minta dicium lagi, tetapi kini sudah berbeda tidak seperti dulu. Tidak lama kemudian aku mendengar gemericik air dari kamar mandi, sepertinya Sheila sedang membersihkan tubuhnya setelah perbuatanku tadi malam, tetapi mengapa sepagi ini dia sudah mandi? Bahkan jam masih menunjukkan pukul empat pagi, biasanya jam segini ia masih molor, nunggu adzan subuh berkumandang ia baru mandi dan sholat. "Kamu kok uda mandi Shel?" tanyaku saat melihat Sheila masuk hanya menggunakan lilitan handuk di tubuhnya. "Aku mau pergi nanti, jadi aku mau lekas masakin buat sarapan dan bekal Abang," sahutnya tanpa menoleh ke arahku, ia masih sibuk mengenakan baju secara lengkap. "Kamu mau kemana?" tanyaku heran dengan tatapan menyelidik. "Mau jalan-jalan, ngerayain hari spesial!" "Hah, hari spesial apa maksudnya?" "Gak papa kok, aku cuma mau main ke panti hari ini!" "Oh, yaudah hati-hat
"Hahaha, aku mandul ya? Iya aku memang mandul, dan pantas untuk diceraikan Bang!""Kamu benar-benar menguji kesabaranku ya, oke kalau kamu mau cerai. Mulai sekarang kamu aku talak!"Aku membanting kue yang ada di tanganku hingga berserakan di lantai, sementara Sheila masih diam mematung dengan air matanya yang berlinang. Aku lelah dengan sikapnya yang egois, ia benar-benar tidak bisa mengerti suami. Mungkin perpisahan adalah hal yang benar untuk kami, lagi pula hubungan kami sudah tidak sehat untuk dilanjutkan.Aku berlalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku mengguyur kepalaku yang panas untuk meredam emosi. Tidak lama kemudian setelah aku selesai mandi, kulihat Sheila dikamar sedang membereskan pakaiannya. Tidak ada sepatah katapun yang aku ucapkan saat Sheila pergi, bahkan ia juga tidak berkata apa-apa selain menangis.POV SHEILA…Hari yang seharusnya spesial untuk kami, malah menjadi hari malapetaka. Aku tidak tau akan pergi kemana sekarang, tetapi yang pasti aku ingi
POV HABIB…Kini aku sudah sendiri dan bisa bebas mencari pengganti Sheila, tetapi permasalahannya aku masih sering mencari Sheila karena tidak terbiasa hidup sendiri. Tidak ada lagi yang membuatkan aku sarapan, tidak ada lagi yang membuatkan ku bekal, tidak ada lagi yang membersihkan rumah, tidak ada lagi yang mencucikan bajuku dan tidak ada lagi yang menemani tidurku. Kini aku hanya bisa menikmati kehidupanku penuh kesendirian."Permisi, saya boleh duduk disini mas. Soalnya tempat duduk yang lain sudah penuh," sapa seorang wanita cantik berambut cokelat yang membuyarkan lamunanku."Eh, iya silahkan Mbak," sahutku mempersilahkan nya duduk.Wanita itu terus menatapku sambil tersenyum, aku mencoba melihat diriku apa mungkin ada sesuatu yang aneh? Akan tetapi tidak ada sedikitpun yang aneh dari diriku. Aku mencoba memberanikan diri untuk menegurnya, rasanya aku sangat risih dan menjadi salah tingkah jika diperhatikan seperti itu."Mbak kenapa liatin aku seperti itu ya? Apa ada yang aneh
POV SHEILA…Sebenarnya aku tidak tega melakukan hal seperti itu kepada Bang Habib, tetapi aku tidak ingin dianggap wanita lemah olehnya. Sejak tadi aku melihat ia berkenalan dengan wanita lain di cafe tersebut, hatiku benar-benar sakit dan kecewa padanya. Aku sengaja menabraknya dan menghampiri lelaki yang bahkan aku tidak mengenalnya, aku hanya ingin membalas perbuatan Bang Habib padaku."Maaf ya Bang, maaf banget saya udah ganggu waktunya," ucapku pada pria itu saat kami sudah cukup jauh dari cafe tersebut, ia tersenyum kecil menatapku dan tiba-tiba mengelus kepalaku dengan lembut."Gak papa, saya paham kenapa kamu lakukan ini. Saya udah liat semuanya, dan bagaimana kelakuan mantan suamimu itu." Aku berjalan mundur, dan menghindari sentuhannya. Bagaimanapun aku tetap risih disentuh dengan pria asing."Makasih Bang, kalau gitu aku permisi ya. Assalamualaikum," ucapku padanya sembari sedikit membungkukkan badan. Tidak ada jawaban darinya, ia malah tersenyum tipis melihatku."Saya non-
"Bang, aku mau kita rujuk. Kamu mau kan kembali sama aku," ucap Sheila sembari menggenggam tangan Habib."Bukannya kamu uda ada laki-laki lain?" tanya Habib."Aku kemarin cuma akting Bang, aku gak mau cerai sama kamu. Aku mohon Bang," rintihnya terisak-isak. Habib melepaskan tangannya dari genggaman Sheila lalu merangkul gadis yang sejak tadi bersamanya."Maaf Shel aku gak bisa rujuk sama kamu, setelah surat cerai kita selesai aku akan menikahi Fanny!"Wanita itu memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya lalu berkata, "kamu telat Mbak, aku baru saja dilamar Mas Habib!"Ingin rasanya aku mencakar wajah wanita tidak tau malu itu, sekolah juga belum kelar, tapi uda berhasil jadi pelakor kelas kakap. Mau jadi apa negeri ini, jika kelakuan anak dibawah umur sudah melampaui batas kewajaran."Emangnya kamu dapat restu dari orang tuamu untuk menikah lagi Bib? Aku yakin orang tuamu pasti belum tau tentang perceraian antara kamu dan Sheila," ucapku mengingatkan Habib."Masalah itu bukan
Sudah larut sore kedua orang tuaku tidak kunjung pulang, mereka masih saja di rumahku dan terus berusaha menelpon Sheila, dan untunglah Sheila tidak menjawab panggilan dari mereka jika tidak aku bisa mati dibuatnya."Kamu gak lagi berantem sama Sheila kan Bib?" tanya Ibu dengan tatapan menyelidik."Nggak kok Bu, mungkin Sheila lagi sibuk. Uda lah Habib mau tiduran," sahutku yang langsung berlalu pergi masuk kedalam kamar.Aku terus berharap semoga Sheila benar-benar enggan menjawab telepon dari Ibu, untuk kali ini aku belum siap mengakui tentang perceraian kami, tetapi baru saja aku ingin memejamkan mata tiba-tiba Ibu berteriak memanggil namaku.Ser…Darahku mengalir dengan cepat, dari suaranya Ibu seperti sedang marah. Apakah Sheila sudah menjawab telepon dari Ibu dan memberitahu semuanya? Aku melangkahkan kaki keluar dengan rasa takut yang memuncak, kulihat Ayah dan Ibu tertunduk dengan raut wajah yang tidak enak dipandang."A… Ad… Ada apa Bu?" tanyaku terbata-bata, perasaanku benar