Livy menggeleng. “Jangan Tuan. Sadar…” Dia berusaha memalingkan wajahnya saat Kaay mendekatkan dirinya dan menghimpit tubuhnya. “Ingat! Tuan akan menikah dengan Nyonya Jenna,” ucapnya mengingatkan. Seperti baru disadarkan, Kay langsung terdiam. Lalu dia kembali berdiri. “Wanita murahan sepertimu ternyata masih jual mahal!” Ia langsung meninggalkan Livy. Memang sangat aneh. Livy tidak tahu bagaimana menghadapi Kay. Bukan hanya ketakutan, tetapi dia juga merasa rendah mendengar semua perkataan dan hinaannya. Walau sesekali Livy berani melawan, tetap saja sikapnya terlalu kejam. Entah kapan Livy bisa tidur dengan tenang. Tanpa menyimpan rasa sedih dan ketakutan. Lagi, malam ini dia kembali menangis sebelum akhirnya terlelap. Keesokan harinya saat Livy membantu si Bibi menghidang sarapan di meja makan, Richard pun menegur Livy. “Sebenarnya apa yang Ibu Livy pikirkan sampai berani mengubah baju yang saya berikan?” tanyanya dingin, tak seramah sebelumnya. “Tuan… saya benar-benar tidak
Dokter Rico mengangguk.Livy menutup mulutnya dengan kedua tangan. Dia terlihat resah dan bersedih.Sementara Kay, tiba-tiba dia terdiam. Ada perasaan yang dia sendiri tidak dapat mengerti. Apa dia akan merasa kehilangan jika Livy tidak ada lagi? ‘Tidak mungkin!’ batinnya menolak.“Ya sudah Dok, terima kasih,” ucap Kay pada Dokter Rico.Tak lama setelah itu Doter Rico pun pamit.Livy sudah dihantui rasa kehilangan. Hatinya mengatakan tidak siap untuk berpisah dengan Albern, tapi apa daya, dia hanyalah ibu susu yang dikontrak. Selama ini Albern sudah menjadi obat baginya. Tapi setelah beberapa hari ke depan, besar kemungkinan mereka tidak akan bersama lagi alias harus berpisah.“Artinya waktumu di sini hanya satu minggu lagi. Lebih baik kau mulai mengemas barang-barangmu sejak hari ini agar setelah kontrakmu selesai, kau bisa langsung pergi…” Kay menjelaskan pada Livy. “Apa kau mengerti?”Dada Livy sudah teramat sesak. Dia hanya bisa mengangguk. “Tuan… bo- bolehkah selama satu minggu i
Kay mengusap kepalanya. Dia merasa frustrasi dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. Sedangkan akalnya terus menolak Livy. Dia tidak bisa memaafkan wanita itu. Hatinya terlalu sakit. Kebenciannya terlalu dalam. Lalu kenapa dia menitikkan air mata?Malam sudah larut, Livy pun meninggalkan Albern. Itu adalah malam terakhir dia melihat anak susunya. Besok dia akan pergi. Pekerjaannya sudah selesai.Ingin rasanya waktu berhenti agar Livy terus bisa bersama Albern, tetapi apa boleh buat. Dia bukanlah siapa-siapa.Livy berjalan lambat dari kamar Albern menuju kamarnya. Rasanya sangat berat untuk menjalani semuanya. Meski begitu, dia sudah sampai di kamarnya.Semua barang-barangnya yang tidak seberapa sudah dia siapkan dalam sebuah tas. Seperti perintah Kay yang menyuruhnya untuk mengemas semuanya.Livy menghela napas yang sangat berat. Air matanya kembali bercucuran. Ia membuka handphone-nya dan melihat foto kebersamaannya dengan Albern di sana. Bibirnya tersenyum namun suaranya terisak m
Livy terbangun dari tidurnya yang sangat lelap. Dia menoleh ke sebelahnya dan tidak mendapati siapa pun di sana. Ke mana Kay? Apa dia sudah bangun?Menyadari tubuhnya yang masih polos di bawah balutan selimut, membuatnya sadar bahwa apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi. Jantungnya berdebar.Jam sudah menujukkan pukul 8 pagi. Livy benar-benar tidak menyangka dia akan bangun se-siang itu. Cepat-cepat dia beranjak, menghentak selimut untuk turun dari tempat tidur.Detik berikutnya, dia mematung melihat tumpukan uang di atas tempat tidur. Seketika perasaannya tidak tenang. Hatinya hancur. Sebuah kertas menyertai tumpukan uang yang berserakan itu.‘Ini bayaranmu untuk kejadian malam ini. Jika masih kurang, katakan saja berapa kau memberikan tarif untuk permainan satu malam.’ Hati Livy tercabik-cabik membaca pesan tulisan tangan Kay. Semua itu lebih buruk dari mimpi buruk. Ternyata Kay melakukan semuanya hanya dengan nafsu, bukan cinta seperti apa yang Livy rasakan dari apa yang dia
“Sini Kak… biar aku yang menenangkan Albern…” Jenna mengambil Albern dari Kay. Dia langsung membawanya ke kamar.Kay masih mematung. Seperti ada yang hilang dari hatinya, dari hidupnya. Namun, semua perasaan itu terus dia sangkal. Kebenciannya pada Livy membuatnya menganggap Livy pantas mendapatkan apa yang terjadi tadi malam.‘Aku mengatakan rindu padanya sampai dia rela untuk bercinta denganku. Lalu pagi harinya aku merendahkannya dengan bayaran. Tidak! Tidak ada yang salah. Aku sudah melakukan dendamku!’“Kay? Apa yang sedang kamu pikirkan?” tanya Richard, menepuk bahunya.Kay kembali dari lamunan. “Ah, tidak apa-apa, Pa.”“Kalau begitu, kamu lihat Albern. Kamu dan Jenna harus punya chemistry untuk sama-sama merawat Albern,” jelas Richard mengingatkan.Kay mengangguk.Sepanjang perjalanan, Livy menangis.“Ibu Livy? Maaf kalau lancang. Aku mendengar percakapan Ibu dan suami Ibu yang datang membuat keributan hari itu. Jadi, benar Ibu dan Tuan Kay dulunya…”“Pak… tolong rahasiakan ini
Saat anak buah Kay tiba di pemakaman, ternyata Livy sudah tidak di sana. Mereka kehilangan jejak. Membutuhkan waktu lebih untuk bisa melacak keberadaannya.Ternyata setelah dari pemakaman anaknya, Livy mencari penginapan murah di pinggiran kota. Tak apa sederhana asal dia bisa tenang, tak ada yang mengganggu. Sepanjang perjalanan dari peristirahatan terakhir anaknya itu, dia terpikir untuk meninggalkan kota New York. Pergi entah ke mana saja untuk menata kembali hidupnya.‘Tapi, aku tidak tahu harus pergi ke mana…” batin Livy, saat dia sudah merebahkan diri di atas kasur kecil. Ia mengingat hidupnya yang malang. Tak punya siapa-siapa. Bahkan suaminya pun tak layak untuk disebut sebagai suami.Teringat pada David, Livy merasa dia harus segera menyelesaikan urusan mereka terlebih dahulu agar dia bebas. Tak ada hal yang mengikat dia dan David. Itu adalah langkah awal untuk mendapat ketenangan batin.Saat itu juga Livy menghubungi suaminya.“Halo…” sapa David.“Pekerjaanku sudah selesai.
“Sebentar.” Kay langsung beranjak. Dia keluar dari kamar Albern, meninggalkan Jenna dengan wajah kesal.“Kenapa lama sekali?! Bagaimana?” tanya Kay.“Kami kehilangan jejak, Tuan. Kami tidak punya informasi apa-apa untuk bisa melacak keberadaannya. Tadi, saat kami tiba di pemakaman, dia sudah tidak ada di sana.”Kay berdecak kesal. “Kalau begitu tetap cari tahu keberadaannya.” Tangan kirinya menekan pelipisnya.“Bolehkah kami meminta kontaknya, Tuan? Agar lebih mudah melacaknya.”“Ya, akan aku kirim.” Kay mengakhiri panggilan itu. Tangan dan jarinya pun langsung mengirim kontak Livy pada anak buahnya. Detik berikutnya, ia malah menghela napas panjang. ‘Kenapa aku malah memikirkan dia?! Kenapa aku ini?!’ batin Kay.Jenna kembali mendekati Kay. Dia memeluknya dari belakang.“Kak? Ada apa?” tanyanya, menempelkan kepala di punggung Kay.Kay menoleh dan langsung membalik badan. “Sudah malam… sebaiknya kamu tidur,” ucap Kay lembut.“Bolehkah temani aku tidur?” tanya Jenna terang-terangan.“J
Richard adalah pribadi yang sangat menjunjung tinggi kejujuran. Dia tidak sabar meminta penjelasan Jenna tentang semuanya.Baru saja Kay ingin kembali melanjutkan langkah untuk mengimbangi Jenna dan Albern, tiba-tiba handphone-nya kembali berbunyi. Dia menjawabnya,“Sudah ku bilang tidak perlu lagi—”“Kay!” panggil Richard, yang terkejut dibentak.Kay memastikan nama yang memanggilnya. “Ma- maaf Pa, aku pikir tadi…”“Kau kenapa?” tanya Richard.“A—tidak apa-apa, Pa. Tadi aku pikir dari kantor, anak buah. Maaf,” jelas Kay sedikit panik.“Kalian di mana?” tanya Richard dingin.“Kami sedang di mall, Pa. Jalan-jalan. Ada apa, Pa?”“Kalau urusan Albern sudah selesai, segera pulang, ada hal penting yang ingin Papa tanyakan.”“Apa itu Pa?” tanya Kay.“Bukan kamu, tapi Jenna.”“Je- Jenna? Ada apa, Pa? Ba- baiklah…” tanya Kay yang heran, tetapi paham sepertinya masalah serius.Kay memberi tahu Jenna.“Om mau tanya apa Kak?” tanyanya dengan wajah penasaran sedikit salah tingkah. Ia pikir Richar
“Kau ada-ada saja!” celetuk Livy, segera masuk ke dalam rumah dan meninggalkan Kay di sana sendirian.Kay menunduk lalu tersenyum. Dia geleng kepala melihat tingkahnya sendiri. ‘Bodoh! Kalau kau memang cemburu, memang takut kehilangan, bukan begini caranya!’ batinnya pula merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Setelah itu, Kay memanggil Pak Sopir. Ia segera meminta bantuannya untuk membawakan hasil belanja mereka dari mobil.Livy yang berjalan ke kamarnya, merasa panas dingin dengan pertanyaan dan sikap Kay. Ada-ada saja! Kalaupun itu bercanda, dia mencoba mengabaikan, meskipun hatinya penuh mendengarnya.**Tidak terasa, waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Mereka akan segera berangkat liburan, sesuai janji Richard.Pagi itu, rumah terasa lebih sibuk dari biasanya. Matahari baru saja menyembul di balik tirai jendela, menyinari koper-koper yang sudah tertata rapi.Livy meraih tas kecil sambil memastikan botol susu dan selimut kesayangan Albern sudah masuk ke dalamnya. Suara langkah
Livy melihat Kay yang ingin mendekat, namun akhirnya pergi. Ia menarik tangannya pelan. “Rei? Sebenarnya ada apa?” tanyanya hati-hati.Reino pun sempat menoleh ke belakang. Ia juga melihat Kay yang pergi. Bukannya tersinggung, dia justru tersenyum. “Kamu sangat menjaga perasaannya, ya? Lalu, kalau begitu… apa yang kalian tunggu?” tanyanya. “Kalau masih sama-sama ada rasa, masih saling menjaga hati, kenapa tidak bersatu kembali?”Pertanyaan itu menggantung begitu saja. Tak dapat Livy jawab. Semua tidak semudah itu.Ternyata dari balik tembok penyekat ruang tamu itu, Kay mendengar ucapan Reino. Dia cukup terkejut karena awalnya pikirannya sudah jauh mengarah pada marah sebab cemburu. Nyatanya Rei memberi pukulan yang berbeda.Livy terdiam.““Aku ke sini bukan untuk mengusikmu, Livy. Bukan juga ingin membujukmu atau menawarkan waktu tunggu. Tidak. Aku mau minta maaf.”Livy menatapnya, bingung. “Kamu tidak salah apa-apa, Rei. Kenapa harus meminta maaf?”“Entahlah, aku merasa aku membawa s
Livy tak tahu harus menjawab apa dengan pernyataan Kay yang mengaku cemburu. Hingga pada akhirnya Kay yang kembali berbicara, “Ah, sudahlah lupakan. Kamu tidak apa-apa kan?” tanyanya.“Ya, aku tidak apa-apa,” jawab Livy pelan. Ia pun tidak tahu harus bereaksi seperti apa.“Oh ya, setelah ini, kita jadi ke salon?” tanya Kay.“Apa aku terlihat menyedihkan?” Cepat Livy merespon, membuat Kay menatapnya terdiam dan sedikit bingung.“Ke- kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Kay.“Kamu menyarankan aku ke salon, apa aku terlihat sudah sejelek itu ya?” tanya Livy pula, bingung.Kay tiba-tiba tertawa. Cemburu yang tadi mengganggu hatinya kini berubah menjadi lucu. Ia sampai mengusap wajahnya untuk menahan tawa lalu menatap Livy tersenyum.Livy yang mendapat respon seperti itu tiba-tiba jengkel. “Kenapa kamu tertawa? Apa yang lucu?” tanyanya dengan nada sedikit tidak suka.“Maaf maaf, aku tidak bermaksud menertawakanmu. Bukan. Bukan begitu. Aku hanya bingung kenapa kamu bisa berpikiran seper
“Ahm, ti- tidak usah,” ucap Livy.Kay pun mengangguk.Livy masuk ke dalam kamar. Dia berdiri di depan cermin. ‘Apa aku dekil? Jelek? Sampai Kay menawarkan untuk ke salon? Apa aku benar-benar terlihat tidak b isa mengurus diri sendiri?’ batinnya overthinking. Namun, saat itu pula dia menepis pikirannya. “Kenpa aku ini?! Aku berpikir apa!” celetuknya pula.Setelah sarapan pagi itu, mereka pun siap-siap untuk pergi.“Hati-hati ya… cucu Kakek!” seru Richard, mengusap kepala Albern.“Kalian juga… selamat bersenang-senang!” ucapnya tersenyum menatap Livy dan Kay.“Kami pergi dulu, Pa.”**Hari itu mall terlihat ramai, tapi tidak sesak. Musik lembut mengalun dari pengeras suara pusat perbelanjaan, aroma kopi dari kafe-kafe menyatu dengan semilir wangi parfum dari toko-toko di sekitarnya. Kay menggendong Albern, sementara Livy berjalan di sisi mereka sambil membawa tas kecil berisi peralatan anak itu. Sesekali Albern menunjuk ke arah stan ice cream, namun Kay mengalihkannya agar mereka lebih
Hari-hari berikutnya berlalu dengan baik dan nyaman. Tidak ada masalah, tidak ada yang menyesakkan dada. Albern tumbuh semakin ceria, dan Livy menjadi lebih sering tersenyum dan tertawa, tanpa beban. Bahkan Kay, tanpa sadar, seringkali tersenyum sendiri hanya karena melihat atau hanya mengingat Livy. Hatinya sangat hangat saat mengingat Livy begitu dekat dengan Albern. Suatu pagi, di akhir pekan, di tengah suasana rumah yang damai, setelah sarapan Richard memanggil semua orang ke ruang tamu. Ia berdiri dengan map cokelat di tangannya, seolah hendak menyampaikan sesuatu yang resmi. “Papa punya ide,” ujarnya sambil menatap mereka satu per satu. “Bagaimana kalau kita liburan bersama?” Livy yang tengah menemani Albern bermain langsung menoleh. Kay yang baru duduk pun mengangkat alis. “Liburan, Pa?” sahut Kay. Richard mengangguk semangat. “Iya. New York terlalu padat. Papa pikir kita harus tenang dan menjauh dari kesibukan kota ini. Menghirup udara baru, melihat hal-hal yang indah, y
Livy menoleh. Menatap tangan Kay yang menahan lengannya. “Ah, ma- maaf. Maaf,” ucap Kay. “Ya?” sahut Livy dengan nada bertanya. “Kalu kamu tidak keberatan, bolehkah kapan-kapan kita mengobrol lagi? Ka- kalau kamu mau sih. Aku senang sekali bisa berbagi cerita denganmu. Bukan berarti aku mengabaikan semua luka yang ada, tapi memiliki waktu bersama seperti ini bersamamu benar-benar menenangkan hatiku.” Kay berkata dengan tulus dari hatinya, yang juga berhasil sampai tepat di hati Livy. Livy menunjukkan senyum simpul dan mengangguk pelan. Walau canggung, ia tetap meresponnya. Karena tidak ada alasannya untuk menolak. Sebab sebenarnya ia pun merasakan hal yang sama, yaitu kenyamanan. “Ya, boleh. Sudah malam. Kamu beristirahatlah. Selamat malam,” ucapnya lebih lembut. Kay tersenyum. Lega menghampiri hatinya. “Yaa, selamat malam Livy. Mi- mimpi indah,” lanjutnya, untuk pertama kali berani berkata seperti itu. “Kamu juga,” balas Livy. Ia pun melangkah pergi, meninggalkan dapur lebih d
Livy membuka lemari gelas dan menuangkan air putih dari botol ke gelas kaca. Tepat saat ia hendak meminumnya, suara langkah kaki menyusul pelan dari arah lorong.“Kay?” Livy menoleh, sedikit heran melihat pria itu hadir di dapur.Kay menggaruk tengkuknya, ekspresi gugup jelas terlihat di wajahnya. “Aku… juga haus,” katanya sambil mencoba tersenyum, padahal jelas-jelas itu bukan alasannya datang ke dapur.Livy mengangkat alis, tapi tak berkomentar. Ia hanya memalingkan wajah dan membuka botol air lagi, lalu menuangkan air ke gelas kedua dan menyodorkannya tanpa banyak kata.Kay menerimanya, jari mereka nyaris bersentuhan. Dan lagi-lagi, itu cukup membuat jantung Kay memompa darahnya lebih cepat.Mereka duduk di dua kursi berhadapan di meja makan kecil dapur. Hening.Sesekali pandangan mereka saling bertemu, lalu sama-sama buru-buru berpaling seolah takut ketahuan sedang saling mengamati.Kay memutar gelasnya pelan dengan jemari, mencoba mencari topik pembicaraan. Tapi entah kenapa, sem
Kay kembali masuk ke dalam kamar Albern. Di sana ia kembali duduk di pinggiran tempat tidur. Ia tersenyum. “Makasih Nak, sudah membuat Papa dekat dengan Mama. Kamu bantu Papa ya? Supaya Mama Livy selamanya akan menjadi Mama kamu…” ucapnya berbicara sendiri dengan nada pelan.Setelah memastikan anaknya benar-benar lelap, Kay pun melangkah perlahan untuk keluar dari kamar Albern. Sebelum menjauh dari sana, ia sempat melihat pintu kamar Livy. Hatinya menghangat.Lampu-lampu lorong rumah sudah diredupkan. Suasana terasa sunyi, namun sangat tenang. Kay ingin pergi menuju kamarnya, namun saat melewati ruang tengah, ia melihat Richard duduk sendirian di sofa dengan secangkir air putih di meja.Richard menatap ke arah Kay. “Kay,” sapanya.“Papa? Kenapa tidak di kamar? Kenapa tidak langsung tidur?” tanya Kay.Richard mengangguk, mempersilakan Kay duduk di sampingnya dengan menepuk bagian sofa yang kosong itu.Kay menurut, tanpa banyak tanya. Beberapa detik keheningan menyelimuti mereka sebelum
Usai makan malam yang hangat itu, mereka tidak lupa mengabadikan momen dengan berfoto bersama. Richard pun memberikan ruang untuk mereka berfoto tanpa dirinya.“Papa? Kenapa pergi?” tanya Livy.“Kan tadi sudah? Sekarang… giliran kalian bertiga!” ucapnya tersenyum semangat. “Rapat-rapat!” ucapnya pula menggeser Livy pada Kay. Membuat jarak di antara mereka terpotong. Sempat mata mereka saling menatap, hingga akhirnya tersenyum menatap kamera.Setelah itu, Kay pun menarik tangan Richard. “Sekarang, giliran kita berdua, Pa.”Ada rasa bangga dan haru tersendiri di dalam diri Richard saat Kay merangkulnya dan berfoto berdua dengannya. Ia tidak salah memilih lelaki untuk mendiang anaknya. Ia juga tidak salah mempercayakan perusahaan padanya. Ia benar-benar tidak gelap mata.Malam itu benar-benar memberikan momen yang tidak akan terlupakan untuk mereka.Waktu berlalu… sudah waktunya mereka pulang. Ditambah Albern yang terlihat sudah bosan karena mulai mengantuk. Akhirnya mereka meninggalkan