Share

Mas Gagah 5

KETIKA MAS GAGAH TIBA 5

Burik. Sudah menjadi panggilannya sejak dulu. Sejak menjejaki bangku sekolah dasar. Layaknya pertemanan anak-anak pada umumnya, Nata sering meledekku dengan mengatai nama ayah dan ibu. Hampir setiap ada kesempatan, dia terus ngajak ribut.

Awalnya, dikatai dengan panggilan ayah dan ibu itu hanya semacam bulian biasa. Aku akan membalas dengan hal yang sama. Tetapi setelah ibu pergi, itu jadi terasa sangat menyakitkan. Bagaimana tidak, aku sedang berkabung kehilangan seorang ibu, Nata masih membuliku dengan memanggil-manggil nama ibu. Hari itu, aku nangis parah. Sampai dipanggil guru. Aku dan Nata didamaikan, lalu Bu Guru kelas empat menceramahi teman-teman sekelasku seperti apa kondisiku saat itu dan tidak layak terus membuliku dengan mengatai nama ibu.

Sejak saat itu, panggilan Nata padaku berubah jadi Burik. Kami berpisah ketika naik ke SMP dan SMA. Meski begitu masih sering bertemu karena memang tinggal sekampung.

Setiap kali bertemu, di mana pun. Nata sering menatapku lama, dan ujung-ujungnya panggil burik. Dia suka olahraga, sejak SMA ikut tim desa ke mana-mana. Dari voli, main bola, badminton, lari, dan semua jenis cabang olahraga dia sepertinya suka.

Pernah satu ketika aku menonton dia main bola di lapangan. Sebelum dimulai, biasanya para pemain melakukan pemanasan dulu dengan berolahraga ringan. Waktu itu, aku sudah stand by di sisi lapangan. Nata melihatku. Selama pemanasan dia terus saja melihatku. Bahkan di sela-sela permainan, sesekali matanya tertuju padaku. Aku coba pindah tempat, dan dia masih melakukan hal yang sama. Aku sudah curiga kalau dia sepertinya menyimpan perasaan, tapi tidak pernah bicara. Hanya membuli doang dengan memanggil burik. Sekarang, panggilan itu malah jadi terasa lucu dan spesial.

Aku dan Nata terus berjalan beriringan. Hanya beberapa meter dari jalan besar depan toko, kami belok ke jalan kecil khas perkampungan. Kiri-kanan jalan, rumah-rumah penduduk cukup rapat.

Nata menyapa setiap orang yang ditemui. Dari ibu-ibu yang sedang menyapu. Bapak-bapak yang lagi nongkrong depan rumah. Sampai anak-anak yang berlarian di jalan sore. Aku jadi ikut menunduk pada mereka semua yang dia sapa.

“Woi, Mas Bro. Sehat?” tanyanya pada motor yang baru saja lewat. Padahal aku yakin dia juga belum tentu kenal sama orang itu. Orang yang disapa pun hanya berteriak “Woi, Bro.” Tanpa memelankan motornya sama sekali.

“Burik, sudah makan?”

“Belum.”

“Mampir di tukang bakso yuk. Kita makan dulu!”

“Bakso ojolali yang di depan?”

“Iya.”

Aku terus jalan. Lalu masuk ke tenda tukang bakso yang ada di pinggir jalan.

Masih dengan keramahannya pada semua orang. Dia langsung menghampiri tukang bakso dan menyapa.

“Wah, makin mantap nih baksonya. Apa kabar, Mas Bro?”

“Walah, walah, ada atlet toh. Kapan pulang, Mas Bro?”

Nata dan tukang bakso salaman dan berpelukan.

“Udah lima hari.”

“Saya lihat jenengan di berita, keren tenan. Dapat emas, ya, Bro. Mengharumkan nama bangsa dan kampung kita, Sampean.”

Alhamdulillah, Mas.”

“Mau bakso?”

“Jelas.”

“Mau berapa porsi, atlet biasanya makan banyak?” Mas Joko menunjuk mangkok di gerobak.

“Satu saja, tapi bikin dua. Buat ituh.” Nata menunjukku.

Aku tertunduk malu.

“Mbak Andini? Pacar?”

“Calon istri.”

Wes, wes. Mantap. Apik tenan hidup sampean. Sudah sukses langsung nikah.”

“Aamiin….”

Yo, wes. Tunggu. Kasihan Mbak Andin sendiri.”

Nata mendekat padaku. Duduk di seberang meja. Mas Joko mulai meracik bakso.

“Jadi sekarang ceritanya sudah berhasil?” tanyaku. Nata tidak pernah muncul di televisi, tidak terkenal seperti artis. Tapi, kalau dicari di internet, prestasi-prestasinya bisa di lihat di pemberitaan. Dari PON sampai SEA Game, Nata memenangi kejuaraan di bidang olah raga dayung.

“Berhasil atau tidak tergantung dari sudut mana kita melihatnya.”

“Maksudnya?”

Aku memotong bahkan mungkin kalimatnya belum selesai.

“Tergantung tujuan. Ada yang tujuannya punya rumah, mobil, pekerjaan bagus, penghasilan sekian. Mereka akan merasa berhasil kalau sudah dapat itu. Aku sendiri, tujuan saat sekolah dulu memang inginnya membawa nama bangsa di kancah internasional. Dan bersyukur sudah dapat. Sekarang juga ada lagi target pencapaian lebih besar. Tapi ya nikah dulu.”

“Pantes dulu janjinya gitu sama aku.”

“Iya. Dan itu jadi semacam motivasi. ‘Kapan nih dapat emas, biar cepat merit.’ Bersyukur kamu belum digondol demit.”

“Ish.”

Nata tidak mau diam geraknya. Dia menepuk-nepuk meja dengan ujung telunjuk, melihat-lihat tenda lapak, kaki menepuk-nepuk tanah.

“Jadi sekarang fokusnya di dayung?”

“Sejauh ini, yang membawa keberhasilan memang di bidang itu. Mungkin sudah di sana keahliannya.”

“Pusing enggak kalau lagi di aer gitu?”

“Jelas. Awal-awal pusing, tapi kalau udah ke sini-sini biasa. Nanti aku bawa kamu dayung.”

“Enggak, ah. Takut.”

“Enggak percaya banget. Kan ada Mas.” Nata menepuk dadanya. “Pasti jagain.”

Mas Joko datang, menyimpan dua bakso di hadapan kami. “Iki, Mas Bro. Monggo.”

“Mantap ini. Makasih, Mas.”

“Siap.”

“Udah seminggu ini gak makan.” Nata mengambil sendok dan garpu siap menyantap.

Sampean bisa saja.”

“Seminggu tak makan bakso maksudnya.”

Walah, hahaha.” Mas Joko tertawa dan kembali ke belakang gerobaknya.

Aku lumayan kepikiran perkataan Wulandari kemarin. Dia bener juga sih. Aku dan Nata terlalu jauh. Apa tidak memalukan nanti jika bertemu teman-temannya yang tentunya jauh level.

Sambil makan, aku mulai bercerita bagaimana semalam ngobrol dengan Wulandari dan sekarang aku merasa khawatir.

“Saya bodoh, Mas. Nanti malah tidak bisa berbaur sama lingkungan Mas. Kebayang nanti kalau ketemu sama teman-teman Mas mau ngomong apa?”

“Kemampuan orang dalam berkomunikasi itu beda-beda, Din. Tidak bisa disamakan. Ada yang bawaannya memang supel, mudah berbaur, ada juga yang penyendiri, tidak suka banyak bicara. Itu bukan masalah karena setiap personal dibentuk oleh lingkungannya.” Jelas Nata di sela-sela makan.

“Memang kemampuan itu bisa diasah. Dengan sekolah, kuliah, lalu bekerja yang mengharuskan berkomunikasi dengan banyak orang. Tapi tidak semua orang bisa masuk ke semua bidang, namun semua orang pasti punya bidang yang mereka kuasai. Orang pintar itu, orang yang bisa tahu bagaimana kapasitas lawan bicaranya, dan dia tidak membahas apa yang ada di luar kapasitas lawan bicaranya. Dan bodoh itu menurutku, orang yang katanya berpendidikan tapi sengaja mencari topik bicara yang diluar kapasitas lawan bicara. Ujung-ujungnya lawan bicara malah merasa minder dan bodoh. Seperti saudara tirimu itu.”

Nata menyuap lagi. Kakinya terus menepuk-nepuk tanah.

“Maksudnya?”

“Simpelnya gini. Kalau kamu bergabung sama teman-teman aku, pembahasannya tentu saja bukan dayung. Kalau mereka tanya masalah dayung, berarti mereka yang bodoh. Dan kamu juga tidak perlu ikut-ikutan untuk menguasai itu. Jadi orang itu yang penting ramah. Dan tidak harus berpendidikan tinggi untuk menjadi ramah.

“Untuk urusan pernikahan kan yang penting personalnya. Orang luar sih gak penting. Kita sudah kenal lama. Kita satu kampung. Satu keseharian. Satu selera makan. Satu adat, budaya, tradisi. Kamu pasti bisa masuk ke kehidupan aku.”

Nata cepat sekali makannya. Hanya beberapa menit saja—ngobrol sambil makan—mangkuk baksonya sudah kosong lagi.

“Mangkokmu bocor, Mas Bro.”

Walah. Mau tak tambah lagi?”

“Jelas.”

Mas Joko tertawa dan membuat semangkuk bakso lagi.

Bersambung ….

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
romantus ala kampung,habis tunangan ajak.makan baso
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status