“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.
Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?’Ya … kini aku mengingatnya. Tapi kenapa ada di kamar ibu? Bukannya ini seharusnya milik Eliza?“Wa! Salwa! Kamu pegang apa?”Lamunanku seketika buyar saat mendengar pertanyaan bapak.“Oh ini? Salwa juga nggak tau, Pak. Bapak tau ini apa?”Lagi, aku berbohong. Aku ingin tahu, apakah bapak mengetahui benda apa yang saat ini aku pegang.“Itu? Sepertinya air mawar, Wa.”Lho? Ternyata bapak mertua tahu, tapi kenapa Eliza mengatakan hal seperti itu tadi pagi?“Buat apa, Pak?” selidikku.“Kata ibu sih untuk bersihin wajahnya, Wa. Bapak juga tidak tau persisnya. Ayo Wa, cari peci Bapak lagi.”Sejak kapan ibu mertua melakukan hal itu? Seharusnya aku tahu kalau beliau sedang merebus bunga mawarnya. Atau mungkin beliau melakukan saat aku ada di toko. Ya, mungkin begitu. Aku masih mencoba untuk berpikir positif meski sulit.Kring, kring, kring ….Nada dering gawai milik bapak mertua berbunyi. Bagaimana pun mereka orang berpunya, meski sudah tua masih bisa bermain gawai seperti anak zaman sekarang.“Ya, halo? Assalamu’alaikum?” Dengan cepat bapak mengangkatnya.“Apa? Sudah ditinggal? Kok bisa sih?”Sepertinya rombongan pengajian beliau sudah berangkat. Tentu saja bapak mertua tak jadi pergi.“Oh … ya sudah. Lain kali, mungkin bisa ikut. Ya, wa’alaikumsalam.”Beliau menutupnya. Wajahnya kini berubah lesu.“Kenapa Pak?” tanyaku.“Sudah Wa, tidak usah cari pecinya lagi. Bapak sudah ditinggal rombongan.”“Oh … maaf ya, Pak. Salwa belum bisa menemukannya. Bapak jadi ketinggalan. Atau mau Salwa pesankan ojek saja?”Ada rasa bersalah di dalam hati. Peci yang seharusnya sudah kutemukan dan kuberikan kepada beliau justru sengaja tak kuberikan. Demi berbohong untuk menemukan sesuatu jawaban atas kecurigaanku kepada ibu mertua dan Eliza. Egois memang aku ini.“Tidak usah, Wa. Besok-besok lagi nggak apa-apa kok. Nanti kalau ibu pulang, ibu suruh carikan peci itu. Sekarang kamu bisa istirahat, Wa. Terima kasih sudah mau membantu Bapak ya? Kamu pasti terganggu ya?”Tambah bersalah yang kurasakan saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa tega membohongi beliau yang sebaik ini? Salwa, kamu jahat banget sih?“Iya Pak. Seharusnya Salwa yang minta maaf, bukan Bapak. Salwa nggak bisa cepat mencarinya.”“Iya, nggak apa-apa Wa. Kamu istirahat saja sana.”“Iya Pak, tinggal dulu ya?”Aku pergi meninggalkan kamar milik ibu mertua dan kembali ke kamarku sendiri. Niat hati mau rebahan malah jadi detektif dadakan. Itu pun tak mendapatkan titik terang. Justru membuat semakin rumit. Air mawar dan kertas bertulis Arab itu ternyata milik ibu mertua. Tapi untuk apa itu semua?Ting!Gawaiku berbunyi. Mungkin pesan dari mas Lutfan. Dia ‘kan memang tak bisa jauh dariku.[Dek, kamu kangen sama aku nggak?]Pertanyaan yang sangat kurang kerjaan. Tentu saja pesan itu dari mas Lutfan—suamiku tercinta. Meski begitu, aku pun bahagia. Dia sepertinya sangat membutuhkanku. Aku suka dia selalu manja kepadaku.[Kamu ini ya, Mas. Kurang kerjaan banget sih?]Aku kirimkan pesan itu. Tak lupa kusisipkan emoji kecupan kepadanya.[Kamu nggak kangen sama aku, Dek? Padahal aku kangen banget lho?]Tak butuh lama, dia sudah membalas pesanku.[Gombal terus kamu, ya Mas?][Aku serius, Sayangku tercintah][Hehe, di situ ngapain Mas?][Aku di dalam mobil nih, malas lah duduk bareng mereka. Nggak ada kamu juga di sana][Lho? Kok gitu Mas? Nggak sopan dong?][Aku udah salaman sama yang punya rumah, Dek. Habis itu baru pergi ke mobil.][Kamu nggak minum suguhan dari yang punya rumah, Mas?][Nggak Dek, aku video call ya? Bosen tau, Dek.]Belum sempat aku membalasnya, tapi panggilan video itu sudah masuk ke gawaiku.“Dek, harusnya kamu ikut biar aku nggak bosen di sini.”Mas Lutfan mulai berbicara lewat gawaiku. Dia sedang duduk di dalam mobil.“Nggak engap Mas, di dalam mobil terus? Harusnya di dalam rumah saja, Mas. Kan bisa minum jadi seger, Mas.”“Nggak mau, Dek. Nih Dek, kutunjukin di luar mobil kayak apa ya? Masih banyak banget pohon gede-gede di sini. Suasananya juga adem,sejuk Dek.”Mas Lutfan sepertinya benar-benar keluar dari dalam mobilnya. Gambarnya di dalam video terlihat tak jelas. Geser kesana-kemari. Tak bisa fokus.“Tuh ‘kan Dek, kamu lihat ‘kan? Sejuk banget di sini. Harusnya kamu ikut, Dek.”Di dalam gawaiku dia memperlihatkan lingkungan di sekelilingnya. Tapi saat kamera itu mengarah ke arah pintu bagian belakang rumah itu, mataku melihat seseorang yang sudah tak asing lagi di mataku. Ya, dia Eliza. Dia sepertinya sedang memperhatikan mas Lutfan yang sedang video call denganku.“Mas, Mas … itu di pintu belakang bukannya Eliza ya?” tanyaku padanya, menghentikan kamera yang sengaja dia edarkan ke sekelilingnya.“Eh mana? Nggak ada siapa-siapa Sayang. Eliza mungkin masih di dalam bersama ibu.”“Coba kamu arahkan lagi ke sana, Mas.”“Dih … kamu nggak percaya sama aku ya? Padahal aku yang ada di sini.”Meski begitu, mas Lutfan kembali menghadapkan kamera ke arah pintu belakang. Ya, di sana sudah kosong tak ada siapa-siapa. Secepat itu dia perginya? Pasti mataku tak salah melihatnya ‘kan?“Tuh ‘kan, nggak ada. Kamu nggak percaya sih sama suamimu sendiri.”“Iya deh, mataku yang salah lihat ….”Tapi aku yakin, aku melihat Eliza di sana. Biarlah, aku mengalah saja.“Udah hampir jam lima, mereka kok nggak nongol-nongol ya, Dek?”“Namanya ketemu teman pasti gitulah, Mas. Biasanya lupa waktu.”“Apa aku samperin ke sana saja, Dek?”“Terserah kamu saja, Mas.”“Eh, nggak jadi. Udah pada keluar tuh. Udah dulu ya, Dek. Mau pamitan sama yang punya rumah.”“Iya Sayang, pulangnya hati-hati ya?”“Oke Sayangku … aku matiin ya? Assalamu’alaikum. Emmuach!”“Hehe … wa’alaikumsalam.”Tut!Selesai sudah video call bersama mas Lutfan. Rencanaku untuk menggeledah kamar Eliza pun tak jadi. Sebentar lagi dia akan pulang. Takutnya aku ketahuan. Bahaya kalau begitu.Kembali aku merebahkan tubuh ini di atas kasur. Mumpung tidak ada mas Lutfan yang teramat sangat manja kepadaku. Tapi tentu saja aku tetap suka.“Tadi Eliza kayaknya memperhatikan mas Lutfan dari jauh deh. Ngapain sih dia begitu? Apa dia jatuh cinta sama mas Lutfan. Ya Allah … jangan sampai. Cukup ibu saja yang aneh. Jangan Eliza ikut-ikutan. Kalau mas Lutfan nggak kuat gimana? Ya Allah … lindungi kami.”Tentu saja aku merasa khawatir. Bukan hanya ibu mertua yang menjadi aneh. Kini pembantu yang katanya keponakan dari temannya ibu mertua itu pun sepertinya sama saja. Mereka sedang merencanakan sesuatu.POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, kenapa ibu makin ke sini makin nyebelin ya? Atau memang dari dulu begitu? Baru akhir-akhir ini saja aku yang kena terus. Kamu pasti sering begini ya, Dek?”Kami sudah menyendiri di dalam kamar, mendiskusikan semua yang sedang terjadi.Mendengar perkataannya seperti itu, mungkin dia baru menyadari jika selama ini alasanku menginginkan untuk pindah dari rumah ini adalah karena masalah yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Ibunya terlalu keras kepala dan selalu berkomentar tentang segala hal.“Iya … emang begitu, Mas. Kamu merasakannya ‘kan sekarang? Semenjak kita memutuskan untuk punya anak, ibu semakin berlebihan gini. Masa iya, kebutuhanmu Eliza yang memenuhi segalanya. Kalau masalah sepele nggak mungkin aku merasa lelah ‘kan Mas.”“Nah itu makanya, Dek. Soal makanku segala, ibu mengomentarinya. Aku makan banyak buat apa coba? Ngomongnya buat kebaikanku. Emangnya selama ini p
Seketika aku bangun dari tempat tidur. Tadinya malas-malasan, kini terpaksa harus bangun mencari mas Lutfan. Baru hari ini dia seperti ini. Tak pernah kita tidur terpisah meski hanya semalam.Aku segera pergi keluar kamar. Aku pun belum sempat mandi demi mencari keberadaan mas Lutfan.“Mas … kamu kenapa sih? Kenapa pagi-pagi sudah nggak ada di kamar. Biasanya aku yang selalu membangunkanmu. Kamu tuh susah bangun sendiri, tapi kenapa sekarang kamu nggak ada di kamar?”Aku hanya bergumam sendiri. Sekhawatir ini saat mengetahui tak ada mas Lutfan di sampingku.Kaki ini kubawa pergi ke dapur. Namun di sana masih gelap belum ada siapa-siapa.“Tumben ibu belum di dapur.”Aku kembali bergumam dan tak memikirkannya begitu dalam. Aku masih fokus untuk mencari keberadaan mas Lutfan.‘Mas Lutfan dimana sih?’ batinku semakin khawatir.Dari arah ruang
“Udah mateng belum, Dek? Tumben nih, aku udah kerasa lapar.”Mas Lutfan datang menghampiriku. Jam di dinding belum genap pukul enam, masih seperempat jam lagi. Tapi dia sudah meminta makan kepadaku. Tumben sekali.“Tumben kamu, Mas? Belum ada jam enam lho ini,” ucapku.Tanpa sengaja aku melihat ibu mertua tersenyum puas. Tapi mulutnya belum berkomentar apa-apa. Biasanya beliau langsung berkomentar.”Ya … mungkin, karena tadi malam, Dek. Hehe ….”Seketika tanganku mencubitnya. Bisa-bisanya berbicara seperti itu dihadapan banyak orang. Meski mereka memahami, aku tuh yang merasa malu. Nadanya pun sepertinya bercanda dan sedang meledekku, tapi apa pun itu, aku tetap malu.“Aduh Dek, sakit,” pekiknya seraya memegang lengan bekas cubitanku.Aku tak membalas ucapan mas Lutfan, hanya saja mataku mengisyaratkan jika aku tak suka.
“Dek, soal pertanyaan yang ibu tanyakan tadi sama kamu, dijawab apa, Dek?” tanya mas Lutfan, dia tiba-tiba mempertanyakannya lagi.“Emmm, itu Mas. Aku jawabnya, emm … jawab itu, tergantung … emm, inginnya kamu, Mas.” Sebenarnya aku malu mengatakannya. Entah mengapa, padahal dia suamiku.Saat ini kami sedang berjalan ke arah garasi. Tak lama lagi kami akan sampai di sana.“Kamu beneran jawab gitu, Dek?”Mas Lutfan sepertinya sangat bahagia mendengar jawabanku. Senyumnya mengembang sangat manis. Tapi aku malu dengan jawabanku sendiri.“Iya, Mas … udah dong, aku malu tau!” Dahiku mengernyit dan bibirku mulai mengerucut.“Lho? Kok malu sih, Dek? Padahal aku seneng banget lho, tau jawabanmu kayak gitu. Berarti, terserah inginku ‘kan, Dek. Hehe ….”Sengaja mas Lutfan mengulangnya lagi. Dia suka jika aku sed
[Fan, nanti malam kamu minum obat kuat ya? Kalian harus sering berhubungan. Ibu ingin cepat punya cucu, Fan. Siapa tau, bulan ini langsung jadi.]Pesan dari ibu mertua. Isinya memang sangat mengejutkan. Baru saja beliau kami puji, eh sekarang masalah ranjang beliau ikut mencampuri.“Mas, ibu kok wa gitu sama kamu?”“Ck! Ibu bener-bener ya? Aku saja malu pas bacanya. Apa ibu nggak ada perasaan begitu sih, sampai kirim wa kayak gini.”Aku hanya bergeming, mendengarkan keluhan mas Lutfan kepada ibunya sendiri. Meski ibu mertua sangat menginginkan cucu dari kami, tidak seperti itu juga caranya. Kita memang anak-anaknya, tapi ibu seharusnya tahu jika kita punya privasi. Tidak sepatutnya mencampuri masalah di atas ranjang kami.“Mas, balas ntar aja ya, kalau sudah sampai. Aku takut kamu nggak fokus.”Sebelum mas Lutfan bermain dengan gawainya lagi, aku sudah menasehatinya terl