Share

Part 15

“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.

Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.

“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.

“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”

“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”

Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.

‘Eh, air apa ini?’

Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?

‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’

Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.

‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?’

Ya … kini aku mengingatnya. Tapi kenapa ada di kamar ibu? Bukannya ini seharusnya milik Eliza?

“Wa! Salwa! Kamu pegang apa?”

Lamunanku seketika buyar saat mendengar pertanyaan bapak.

“Oh ini? Salwa juga nggak tau, Pak. Bapak tau ini apa?”

Lagi, aku berbohong. Aku ingin tahu, apakah bapak mengetahui benda apa yang saat ini aku pegang.

“Itu? Sepertinya air mawar, Wa.”

Lho? Ternyata bapak mertua tahu, tapi kenapa Eliza mengatakan hal seperti itu tadi pagi?

“Buat apa, Pak?” selidikku.

“Kata ibu sih untuk bersihin wajahnya, Wa. Bapak juga tidak tau persisnya. Ayo Wa, cari peci Bapak lagi.”

Sejak kapan ibu mertua melakukan hal itu? Seharusnya aku tahu kalau beliau sedang merebus bunga mawarnya. Atau mungkin beliau melakukan saat aku ada di toko. Ya, mungkin begitu. Aku masih mencoba untuk berpikir positif meski sulit.

Kring, kring, kring ….

Nada dering gawai milik bapak mertua berbunyi. Bagaimana pun mereka orang berpunya, meski sudah tua masih bisa bermain gawai seperti anak zaman sekarang.

“Ya, halo? Assalamu’alaikum?” Dengan cepat bapak mengangkatnya.

“Apa? Sudah ditinggal? Kok bisa sih?”

Sepertinya rombongan pengajian beliau sudah berangkat. Tentu saja bapak mertua tak jadi pergi.

“Oh … ya sudah. Lain kali, mungkin bisa ikut. Ya, wa’alaikumsalam.”

Beliau menutupnya. Wajahnya kini berubah lesu.

“Kenapa Pak?” tanyaku.

“Sudah Wa, tidak usah cari pecinya lagi. Bapak sudah ditinggal rombongan.”

“Oh … maaf ya, Pak. Salwa belum bisa menemukannya. Bapak jadi ketinggalan. Atau mau Salwa pesankan ojek saja?”

Ada rasa bersalah di dalam hati. Peci yang seharusnya sudah kutemukan dan kuberikan kepada beliau justru sengaja tak kuberikan. Demi berbohong untuk menemukan sesuatu jawaban atas kecurigaanku kepada ibu mertua dan Eliza. Egois memang aku ini.

“Tidak usah, Wa. Besok-besok lagi nggak apa-apa kok. Nanti kalau ibu pulang, ibu suruh carikan peci itu. Sekarang kamu bisa istirahat, Wa. Terima kasih sudah mau membantu Bapak ya? Kamu pasti terganggu ya?”

Tambah bersalah yang kurasakan saat ini. Bagaimana mungkin aku bisa tega membohongi beliau yang sebaik ini? Salwa, kamu jahat banget sih?

“Iya Pak. Seharusnya Salwa yang minta maaf, bukan Bapak. Salwa nggak bisa cepat mencarinya.”

“Iya, nggak apa-apa Wa. Kamu istirahat saja sana.”

“Iya Pak, tinggal dulu ya?”

Aku pergi meninggalkan kamar milik ibu mertua dan kembali ke kamarku sendiri. Niat hati mau rebahan malah jadi detektif dadakan. Itu pun tak mendapatkan titik terang. Justru membuat semakin rumit. Air mawar dan kertas bertulis Arab itu ternyata milik ibu mertua. Tapi untuk apa itu semua?

Ting!

Gawaiku berbunyi. Mungkin pesan dari mas Lutfan. Dia ‘kan memang tak bisa jauh dariku.

[Dek, kamu kangen sama aku nggak?]

Pertanyaan yang sangat kurang kerjaan. Tentu saja pesan itu dari mas Lutfan—suamiku tercinta. Meski begitu, aku pun bahagia. Dia sepertinya sangat membutuhkanku. Aku suka dia selalu manja kepadaku.

[Kamu ini ya, Mas. Kurang kerjaan banget sih?]

Aku kirimkan pesan itu. Tak lupa kusisipkan emoji kecupan kepadanya.

[Kamu nggak kangen sama aku, Dek? Padahal aku kangen banget lho?]

Tak butuh lama, dia sudah membalas pesanku.

[Gombal terus kamu, ya Mas?]

[Aku serius, Sayangku tercintah]

[Hehe, di situ ngapain Mas?]

[Aku di dalam mobil nih, malas lah duduk bareng mereka. Nggak ada kamu juga di sana]

[Lho? Kok gitu Mas? Nggak sopan dong?]

[Aku udah salaman sama yang punya rumah, Dek. Habis itu baru pergi ke mobil.]

[Kamu nggak minum suguhan dari yang punya rumah, Mas?]

[Nggak Dek, aku video call ya? Bosen tau, Dek.]

Belum sempat aku membalasnya, tapi panggilan video itu sudah masuk ke gawaiku.

“Dek, harusnya kamu ikut biar aku nggak bosen di sini.”

Mas Lutfan mulai berbicara lewat gawaiku. Dia sedang duduk di dalam mobil.

“Nggak engap Mas, di dalam mobil terus? Harusnya di dalam rumah saja, Mas. Kan bisa minum jadi seger, Mas.”

“Nggak mau, Dek. Nih Dek, kutunjukin di luar mobil kayak apa ya? Masih banyak banget pohon gede-gede di sini. Suasananya juga adem,sejuk Dek.”

Mas Lutfan sepertinya benar-benar keluar dari dalam mobilnya. Gambarnya di dalam video terlihat tak jelas. Geser kesana-kemari. Tak bisa fokus.

“Tuh ‘kan Dek, kamu lihat ‘kan? Sejuk banget di sini. Harusnya kamu ikut, Dek.”

Di dalam gawaiku dia memperlihatkan lingkungan di sekelilingnya. Tapi saat kamera itu mengarah ke arah pintu bagian belakang rumah itu, mataku melihat seseorang yang sudah tak asing lagi di mataku. Ya, dia Eliza. Dia sepertinya sedang memperhatikan mas Lutfan yang sedang video call denganku.

“Mas, Mas … itu di pintu belakang bukannya Eliza ya?” tanyaku padanya, menghentikan kamera yang sengaja dia edarkan ke sekelilingnya.

“Eh mana? Nggak ada siapa-siapa Sayang. Eliza mungkin masih di dalam bersama ibu.”

“Coba kamu arahkan lagi ke sana, Mas.”

“Dih … kamu nggak percaya sama aku ya? Padahal aku yang ada di sini.”

Meski begitu, mas Lutfan kembali menghadapkan kamera ke arah pintu belakang. Ya, di sana sudah kosong tak ada siapa-siapa. Secepat itu dia perginya? Pasti mataku tak salah melihatnya ‘kan?

“Tuh ‘kan, nggak ada. Kamu nggak percaya sih sama suamimu sendiri.”

“Iya deh, mataku yang salah lihat ….”

Tapi aku yakin, aku melihat Eliza  di sana. Biarlah, aku mengalah saja.

“Udah hampir jam lima, mereka kok nggak nongol-nongol ya, Dek?”

“Namanya ketemu teman pasti gitulah, Mas. Biasanya lupa waktu.”

“Apa aku samperin ke sana saja, Dek?”

“Terserah kamu saja, Mas.”

“Eh, nggak jadi. Udah pada keluar tuh. Udah dulu ya, Dek. Mau pamitan sama yang punya rumah.”

“Iya Sayang, pulangnya hati-hati ya?”

“Oke Sayangku … aku matiin ya? Assalamu’alaikum. Emmuach!”

“Hehe … wa’alaikumsalam.”

Tut!

Selesai sudah video call bersama mas Lutfan. Rencanaku untuk menggeledah kamar Eliza pun tak jadi. Sebentar lagi dia akan pulang. Takutnya aku ketahuan. Bahaya kalau begitu.

Kembali aku merebahkan tubuh ini di atas kasur. Mumpung tidak ada mas Lutfan yang teramat sangat manja kepadaku. Tapi tentu saja aku tetap suka.

“Tadi Eliza kayaknya memperhatikan mas Lutfan dari jauh deh. Ngapain sih dia begitu? Apa dia jatuh cinta sama mas Lutfan. Ya Allah … jangan sampai. Cukup ibu saja yang aneh. Jangan Eliza ikut-ikutan. Kalau mas Lutfan nggak kuat gimana? Ya Allah … lindungi kami.”

Tentu saja aku merasa khawatir. Bukan hanya ibu mertua yang menjadi aneh. Kini pembantu yang katanya keponakan dari temannya ibu mertua itu pun sepertinya sama saja. Mereka sedang merencanakan sesuatu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status