Share

Part 14

Author: Khanna
last update Last Updated: 2021-08-29 12:10:25

POV Lutfan

“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.

Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!

“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”

Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.

“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”

Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.

“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”

Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.

“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kembali beliau mengatakan kalimat yang menurutku sangat tidak penting itu.

“Maksud Ibu apa sih sebenarnya? Maunya aku dekat sama Eliza? Begitu maksud Ibu?”

Rasa penasaranku membuncah. Sekalian saja kupertanyakan kepada beliau. Tak pikirkan jika ada Eliza di belakang.

“Lho? Kamu mau Fan?”

Ibu mengucapkannya saraya memandangku, nada bicaranya pun terkesan sangat santai. Padahal itu hal sensitif. Bisa-bisanya ibu seperti itu.

“Aku pasti nggak mau lah, Bu. Aku udah punya istri ‘kan? Ibu ngomong sendiri sama aku, kalau aku harus jadi imam yang baik untuk Salwa. Kenapa sekarang ibu begini?”

Kutahan sebisa mungkin emosiku. Tak mau berkata kurang ajar kepada ibu sendiri.

“Iya, Ibu tau kok … makanya Ibu berikan yang terbaik untukmu, Fan. Ibu mau kalian bahagia.”

Semakin rumit aku memahami semua perkataan ibu. Jika menginginkan rumah tanggaku baik-baik saja, kenapa ibu seolah selalu menyodorkan Eliza kepadaku? Terbaik dimananya coba?

“Kalau mau rumah tanggaku baik-baik saja dan bahagia, Ibu nggak usah minta yang aneh-aneh lagi deh.”

“Aneh gimana sih, Fan. Ibu itu melakukan apapun demi kebaikanmu.”

“Aku nggak tau apa maksud Ibu. Susah dipahami. Udahlah terserah Ibu. Istriku hanya Salwa seorang, Bu. Ibu nggak boleh aneh-aneh.”

“Iya Fan, Ibu tau. Kamu sangat mencintai istrimu ‘kan? Ibu nggak akan merusak rumah tangga kalian kok. Justru Ibu maunya kalian bahagia terus. Kamu nurut ya, sama Ibu.”

“Ah Ibu ngomongnya rumit. Jelas-jelas Ibu selalu menyuruh Eliza dekat-dekat denganku. Terserah Ibu sajalah. Aku nggak akan berpaling dari Salwa, Bu.”

“Iya, Ibu juga nggak menyuruhmu begitu ‘kan?”

“Dahlah … ini kemana lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, tentu saja dengan nada bicaraku yang ketus. “Oh ya, buat kamu Eliza. Kalau kamu hanya menuruti perkataan Ibu, terserah saja. Tapi aku nggak akan tertarik padamu. Melirik pun nggak. Maaf ya?” Mataku memandangnya lewat kaca spion dalam. Membuktikan jika aku ini berbicara dengan sungguh-sungguh. Tak terpikir lagi perasaannya seperti apa. Mau sakit hati atau tidak, terserah saja.

“Iya Mas,” jawab Eliza, lirih.

Matanya pun bertemu dengan mataku di dalam kaca spion. Namun hanya sebentar, dia langsung menunduk lagi.

“Jangan marahin Eliza, Fan. Dia kerjanya bagus, Ibu suka.”

Dari nada bicara ibu, sepertinya beliau tak sedikit pun merasa bersalah. Sangat egois memang.

“Ya ya … terserah Ibu saja.”

Beberapa saat setelah perdebatanku selesai, meski harus aku yang mengalah. Ibu hanya memperingatiku jika sebentar lagi akan sampai rumah temannya yang bernama bu Susi itu. Setelahnya beliau terdiam lagi.

“Iya nih, di sini. Belok Fan. Rumahnya warna hijau ya, nanti.”

Sesuai perintah ibu, aku berhenti di rumah itu. Terlihat dari banguannya masih tergolong rumah zaman dulu. Ada banyak jendela di bagian depan dan samping rumah. Warna hijau yang ibu sebutkan tadi, lebih condong ke warna hijau tua yang sudah usang. Itu pun hanya di kusen jendela saja. Selebihnya berwarna putih yang sudah kusam pula.

Setelah mobil terparkir rapi di halaman rumah yang lumayan luas, ibu dan Eliza bersiap untuk turun dan pergi ke dalam rumah milik temannya itu.

“Bu, aku nggak ikut ya? Di mobil aja,” ucapku sebelum ibu benar-benar turun dari mobil.

“Hus! Gimana sih kamu? Ayo turun, ikut ibu sebentar menemui teman Ibu. Nggak sopan kalau kamu di sini saja. Bu Susi pasti bertanya siapa yang mengentarkan Ibu ke sini. Udah ayo turun. Sebentar saja nggak apa-apa, nanti balik ke sini lagi.”

Panjang lebar ibu mengatakannya. Intinya aku disuruh ikut. Itu saja, simpel ‘kan?

“Ya ya ya ….”

Akhirnya aku harus mengikuti titah ibu tercinta. Turun dari mobil dan mengikuti langkahnya pergi menuju rumah temannya itu. Suasana di sini terasa sejuk. Masih banyak pepohonan yang tumbuh subur  dan rindang. Karena itu sinar matahari tak begitu menyengat terhalang pepohonan. Teduh dan sunyi. Jika mendung dan hujan pasti akan terasa lebih mencekam.

Rumah tetangga pun belum terlalu banyak. Masih bisa di hitung dengan jari. Tak heran jika halamannya saja masih seluas itu. Mungkin masih cukup tiga mobil lagi yang bisa terparkir di sana.

Tok, tok, tok ….

“Bibi! Ini Eliza!”

Sesampainya di depan rumah, tanpa kusangka Eliza berteriak memanggil bibinya dengan suara yang cukup lantang. Bukannya mengucap salam justru melakukan hal itu. Ya … mungkin sudah menjadi kebiasaan untuknya. Atau mungkin mereka sudah saking akrabnya. Jadi mengabaikan kesopanan. Terserah mereka sajalah.

Cklek!

Pintu terbuka perlahan. Sosok ibu-ibu berbadan tambun keluar dari dalam rumah.

“Ada apa Za? Eh, ada bu Yuni juga? Ayo-ayo … silakan masuk.”

“Oh iya, Bu. Terima kasih lho, Bu.”

Dengan ketawa khas ibu-ibu yang hanya untuk basa-basi itu, kami memasuki rumah milik bu Susi. Ya, rumahnya rapi. Seperti rumah pada umumnya.

“Lho? Ini siapa? Tampan sekali?” ucap bu Susi, matanya melihat ke arahku.

“Ini lho, Bu. Anak laki-laki semata wayangku. Yang sering kuceritakan itu?”

“Oh ini? Tampan sekali anakmu ya, Bu.”

“Tentu dong, Bu.”

Senyum ibu melebar. Pasti dia merasa sangat bangga dengan segala pujian yang diberikan untukku—anaknya satu-satunya ini.

“Namanya siapa, Bu?”

“Saya Lutfan, Bu.”

Tanpa menunggu jawaban dari ibu, aku berinisiatif menjawabnya sendiri. Aku ini sudah dewasa. Tentunya sudah bisa memeperkenalkan diri sendiri.

“Namanya setampan orangnya, ya Bu Yuni?”

“Tentu saja.”

Mereka kembali tertawa bersama. Namun aku tahu, mereka tertawa hanya untuk berbasa-basi saja. Seperti itulah … tertawa tak ikhlas.

“Sebentar ya Bu, saya buatkan minum dulu. Eliza, bantu Bibi yuk.”

Dengan perintah seperti itu, Eliza bergegas membuntuti bu Susi pergi meninggalkan kami.

“Bu, aku kembali ke mobil ya?” ucapku.

“Lagi dibuatkan minum lho, Fan.”

“Itu gampang. Ntar kalau mau aku samperin ke sini lagi.”

Aku bangkit dan kembali ke mobilku yang terparkir di halaman.

“Fan! Lutfan!”

Ibu masih berusaha memanggilku untuk tetap duduk manis di sana. Tentu saja aku tak mendengarkan, buat apa aku duduk bersama ibu-ibu dan tak ada laki-laki di sana. Lebih baik kembali saja ke dalam mobil.

Saat kaki ini melangkah menuju mobil, hidungku mengendus aroma yang membuat bulu kudukku berdiri.

“Ih! Kok bau bunga melati sih?”

Mata kuedarkan ke sekeliling, melihat apakah ada tanaman bunga melati di sekitar sini. Jika ada aromanya, pasti pohonnya ada dekat di sekitar sini. Namun, aku tak menemukannya.

“Nggak ada pohonnya. Apa cuma lewat kebawa angin aja ya? Bodo amat ah ….”

Tak kubuat pusing, aku kembali meneruskan perjalananku menuju mobil. Toh, masih siang juga. Otakku tak memikirkan hal aneh. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 55

    “Dek, Zidan belum bangun?”Pertanyaan yang wajib bagi mas Lutfan saat pagi hari. Setelah menyelesaikan sholat subuh, dia akan menghampiriku dan mempertanyakan hal tersebut.“Belum dong, Mas. Tau sendiri ‘kan? Jadwal Zidan bangun pagi jam berapa? Agak siang biasanya.”“Hehe, tau sih. Kalau nggak tanya rasanya ada yang kurang, Dek.”“Kamu ini, Mas.”Aku sudah ada di dapur memasak untuk sarapan mumpung Zidan—anak kami masih terlelap tidur.“Dek, ternyata enak ya punya rumah sendiri. Bisa bermesraan dimana aja. Hehehe,” ucapnya seraya memeluku dari belakang.“Iya ‘kan? Kamu suka ‘kan, Mas?”“Iya Dek. Lebih enak kayak gini. Bebas, hati juga tenang.”“Tapi Mas, apa kamu mau memeluku begini terus? Aku mau masak dulu lho, mumpung Zidan belum bangun. Kalau bangun m

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 54

    Cklek!Mas Lutfan membuka pintu.“Ayo, kalian langsung saja masuk ke rumah.”“Iya Fan, kami bermaksud datang ke sini kalau sudah pagi. Ternyata kamu menelponku untuk segera datang ke sini. Kebetulan, kami sudah mendapatkan bukti dan jawaban atas penyelidikan ini.”“Bagus, Fif. Sekalian jelaskan di depan kami semua. Ada kejadian lain yang harus kuusut agar semua menjadi bertambah jelas. Ayo masuk dulu.”“Iya, ini sekalian aku bawa tersangka yang menaburkan tanah kuburan itu, Fan.”Mereka memasuki ruang tamu. Semua sudah berkumpul.“Bu Susi … ada apa ini? Kenapa Bu Susi datang dengan teman-teman Lutfan?”Wajah ibu mertua terlihat sangat khawatir. Apa semua akan terbuka hari ini? Ya, semoga saja semua terungkap. Aku capek dengan apa yang sudah terjadi.“Aku sudah ngomong ‘kan, Bu. Ibu akan men

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 53

    Tok, tok, tok!Kencang mas Lutfan mengetuk pintu kamar ibu mertua. Wajahnya benar terlihat sangat marah. Apa dia jujur dan tidak membohongiku?“Ibu! Keluar!”Suara mas Lutfan sangat lantang. Tangannya tak henti menggedor pintu kamar beliau.Cklek!“Ada apa ini, Fan? Kenapa tengah malam begini kamu berisik banget sih?”Sepertinya ibu mertua sudah bangun tidur dari tadi. Wajahnya tidak memperlihatkan jika beliau baru saja bangun, matanya sudah terlihat segar.“Bu jelaskan segala yang Ibu perbuat pada kami. Maksud Ibu apa?”“Maksud kamu apa sih? Ibu nggak paham dengan semua ucapanmu.”Tangan mas Lutfan meraih lengan Eliza. Dia melemparnya kehadapan ibu.“Eliza! Bicara sama Ibu!”“Maksud kamu apa sih, Fan? Eliza kenapa?”“Ada apa ini?”Ba

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 52

    Aku berjalan menyusuri setiap ruangan. Mataku fokus mencari keberadaan mas Lutfan.“Dimana dia? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?”Dari ruang tamu sampai ke ruang tengah sudah kutelusuri, tidak ada batang hidungnya di sana. Aku semakin gusar.“Kamu dimana sih, Mas?”Sepanjang langkah ini, mulutku terus bergumam. Kini aku melangkah ke dapur. Entah mengapa langkahku justru tertuju ke kamar Eliza.“Kenapa aku berjalan ke sini sih?”Telingaku samar mendengar suara seseorang yang sedang mendesah. Kepalaku menjadi berpikir yang bukan-bukan. Apa mungkin mas Lutfan ada di dalam kamar ini? Dia yang setia apa mungkin melakukan perzinahan di belakangku? Lemas rasanya jika semua benar terjadi.Tanganku mencoba memutar gagang pintu. Siapa tahu pintu ini tidak dikunci. Rasa penasaranku terpanggil dan ingin segera mengetahui apa yang terjadi di dalam kamar.

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 51

    POV Afif****Mobilku mulai memasuki halaman rumah bu Susi yang memang cukup luas. Damar yang dari tadi di belakang mobil kini memarkirkan motor di depan kami.“Ayo turun,” ucap Hari pada pak Dito.Terlihat jelas jika dia sangat ragu dan tidak ingin turun dari mobil.“Aku takut, Pak.”“Nggak usah takut. Dia polisi. Pasti akan menggunakan jalur hukum. Ayo turun. Nggak usah takut,” ucapku.Dengan raut wajah yang terlihat khawatir, akhirnya dia mau turun juga. Kami turun dari mobil. Ada Damar yang sudah menunggu kami.“Lama banget,” protesnya.“Dia takut, Mar.”“Oh, ada pak polisi, nggak usah takut. Ayo, Pak Dito jalan di depan.”Dengan begitu, pak Dito memandu jalan kami. Tangannya masih terborgol. Kami tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, lebih baik sem

  • Ketika Mertua Ikut Campur   Part 50

    POV Afif****“Bagus kamu bisa ikut sama kami, Har. Kita tunggu beberapa saat lagi, pasti orang itu akan muncul.”Kami sudah berada di dalam mobil. Kini kami tidak membawa motor. Ada Hari—teman polisiku juga yang sekarang ikut dalam penyelidikan. Aku sudah berbicara dengan Lutfan sebelumnya, dia sangat setuju dan ingin langsung diusut.“Iya, aku jadi ikut penasaran. Buat apa ada orang yang menabur tanah kuburan di depan toko seperi itu. Mendengar ceritamu saja, aku jadi ingin tau alasannya apa.”“Kamu ini ‘kan aparat keamanan, aku jadi merasa aman kalau melakukan penyelidikan kayak gini. Kalau Cuma aku dan Damar kayaknya kurang gereget.”“Iya, tapi ‘kan aku nggak pakai seragam. Pasti dia mengira aku orang biasa saja, bukan polisi maksudnya.”“Nggak apa-apa. Yang penting kami tau kamu siapa. Hehe.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status