POV Lutfan
“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kembali beliau mengatakan kalimat yang menurutku sangat tidak penting itu.“Maksud Ibu apa sih sebenarnya? Maunya aku dekat sama Eliza? Begitu maksud Ibu?”Rasa penasaranku membuncah. Sekalian saja kupertanyakan kepada beliau. Tak pikirkan jika ada Eliza di belakang.“Lho? Kamu mau Fan?”Ibu mengucapkannya saraya memandangku, nada bicaranya pun terkesan sangat santai. Padahal itu hal sensitif. Bisa-bisanya ibu seperti itu.“Aku pasti nggak mau lah, Bu. Aku udah punya istri ‘kan? Ibu ngomong sendiri sama aku, kalau aku harus jadi imam yang baik untuk Salwa. Kenapa sekarang ibu begini?”Kutahan sebisa mungkin emosiku. Tak mau berkata kurang ajar kepada ibu sendiri.“Iya, Ibu tau kok … makanya Ibu berikan yang terbaik untukmu, Fan. Ibu mau kalian bahagia.”Semakin rumit aku memahami semua perkataan ibu. Jika menginginkan rumah tanggaku baik-baik saja, kenapa ibu seolah selalu menyodorkan Eliza kepadaku? Terbaik dimananya coba?“Kalau mau rumah tanggaku baik-baik saja dan bahagia, Ibu nggak usah minta yang aneh-aneh lagi deh.”“Aneh gimana sih, Fan. Ibu itu melakukan apapun demi kebaikanmu.”“Aku nggak tau apa maksud Ibu. Susah dipahami. Udahlah terserah Ibu. Istriku hanya Salwa seorang, Bu. Ibu nggak boleh aneh-aneh.”“Iya Fan, Ibu tau. Kamu sangat mencintai istrimu ‘kan? Ibu nggak akan merusak rumah tangga kalian kok. Justru Ibu maunya kalian bahagia terus. Kamu nurut ya, sama Ibu.”“Ah Ibu ngomongnya rumit. Jelas-jelas Ibu selalu menyuruh Eliza dekat-dekat denganku. Terserah Ibu sajalah. Aku nggak akan berpaling dari Salwa, Bu.”“Iya, Ibu juga nggak menyuruhmu begitu ‘kan?”“Dahlah … ini kemana lagi?” tanyaku mengalihkan pembicaraan, tentu saja dengan nada bicaraku yang ketus. “Oh ya, buat kamu Eliza. Kalau kamu hanya menuruti perkataan Ibu, terserah saja. Tapi aku nggak akan tertarik padamu. Melirik pun nggak. Maaf ya?” Mataku memandangnya lewat kaca spion dalam. Membuktikan jika aku ini berbicara dengan sungguh-sungguh. Tak terpikir lagi perasaannya seperti apa. Mau sakit hati atau tidak, terserah saja.“Iya Mas,” jawab Eliza, lirih.Matanya pun bertemu dengan mataku di dalam kaca spion. Namun hanya sebentar, dia langsung menunduk lagi.“Jangan marahin Eliza, Fan. Dia kerjanya bagus, Ibu suka.”Dari nada bicara ibu, sepertinya beliau tak sedikit pun merasa bersalah. Sangat egois memang.“Ya ya … terserah Ibu saja.”Beberapa saat setelah perdebatanku selesai, meski harus aku yang mengalah. Ibu hanya memperingatiku jika sebentar lagi akan sampai rumah temannya yang bernama bu Susi itu. Setelahnya beliau terdiam lagi.“Iya nih, di sini. Belok Fan. Rumahnya warna hijau ya, nanti.”Sesuai perintah ibu, aku berhenti di rumah itu. Terlihat dari banguannya masih tergolong rumah zaman dulu. Ada banyak jendela di bagian depan dan samping rumah. Warna hijau yang ibu sebutkan tadi, lebih condong ke warna hijau tua yang sudah usang. Itu pun hanya di kusen jendela saja. Selebihnya berwarna putih yang sudah kusam pula.Setelah mobil terparkir rapi di halaman rumah yang lumayan luas, ibu dan Eliza bersiap untuk turun dan pergi ke dalam rumah milik temannya itu.“Bu, aku nggak ikut ya? Di mobil aja,” ucapku sebelum ibu benar-benar turun dari mobil.“Hus! Gimana sih kamu? Ayo turun, ikut ibu sebentar menemui teman Ibu. Nggak sopan kalau kamu di sini saja. Bu Susi pasti bertanya siapa yang mengentarkan Ibu ke sini. Udah ayo turun. Sebentar saja nggak apa-apa, nanti balik ke sini lagi.”Panjang lebar ibu mengatakannya. Intinya aku disuruh ikut. Itu saja, simpel ‘kan?“Ya ya ya ….”Akhirnya aku harus mengikuti titah ibu tercinta. Turun dari mobil dan mengikuti langkahnya pergi menuju rumah temannya itu. Suasana di sini terasa sejuk. Masih banyak pepohonan yang tumbuh subur dan rindang. Karena itu sinar matahari tak begitu menyengat terhalang pepohonan. Teduh dan sunyi. Jika mendung dan hujan pasti akan terasa lebih mencekam.Rumah tetangga pun belum terlalu banyak. Masih bisa di hitung dengan jari. Tak heran jika halamannya saja masih seluas itu. Mungkin masih cukup tiga mobil lagi yang bisa terparkir di sana.Tok, tok, tok ….“Bibi! Ini Eliza!”Sesampainya di depan rumah, tanpa kusangka Eliza berteriak memanggil bibinya dengan suara yang cukup lantang. Bukannya mengucap salam justru melakukan hal itu. Ya … mungkin sudah menjadi kebiasaan untuknya. Atau mungkin mereka sudah saking akrabnya. Jadi mengabaikan kesopanan. Terserah mereka sajalah.Cklek!Pintu terbuka perlahan. Sosok ibu-ibu berbadan tambun keluar dari dalam rumah.“Ada apa Za? Eh, ada bu Yuni juga? Ayo-ayo … silakan masuk.”“Oh iya, Bu. Terima kasih lho, Bu.”Dengan ketawa khas ibu-ibu yang hanya untuk basa-basi itu, kami memasuki rumah milik bu Susi. Ya, rumahnya rapi. Seperti rumah pada umumnya.“Lho? Ini siapa? Tampan sekali?” ucap bu Susi, matanya melihat ke arahku.“Ini lho, Bu. Anak laki-laki semata wayangku. Yang sering kuceritakan itu?”“Oh ini? Tampan sekali anakmu ya, Bu.”“Tentu dong, Bu.”Senyum ibu melebar. Pasti dia merasa sangat bangga dengan segala pujian yang diberikan untukku—anaknya satu-satunya ini.“Namanya siapa, Bu?”“Saya Lutfan, Bu.”Tanpa menunggu jawaban dari ibu, aku berinisiatif menjawabnya sendiri. Aku ini sudah dewasa. Tentunya sudah bisa memeperkenalkan diri sendiri.“Namanya setampan orangnya, ya Bu Yuni?”“Tentu saja.”Mereka kembali tertawa bersama. Namun aku tahu, mereka tertawa hanya untuk berbasa-basi saja. Seperti itulah … tertawa tak ikhlas.“Sebentar ya Bu, saya buatkan minum dulu. Eliza, bantu Bibi yuk.”Dengan perintah seperti itu, Eliza bergegas membuntuti bu Susi pergi meninggalkan kami.“Bu, aku kembali ke mobil ya?” ucapku.“Lagi dibuatkan minum lho, Fan.”“Itu gampang. Ntar kalau mau aku samperin ke sini lagi.”Aku bangkit dan kembali ke mobilku yang terparkir di halaman.“Fan! Lutfan!”Ibu masih berusaha memanggilku untuk tetap duduk manis di sana. Tentu saja aku tak mendengarkan, buat apa aku duduk bersama ibu-ibu dan tak ada laki-laki di sana. Lebih baik kembali saja ke dalam mobil.Saat kaki ini melangkah menuju mobil, hidungku mengendus aroma yang membuat bulu kudukku berdiri.“Ih! Kok bau bunga melati sih?”Mata kuedarkan ke sekeliling, melihat apakah ada tanaman bunga melati di sekitar sini. Jika ada aromanya, pasti pohonnya ada dekat di sekitar sini. Namun, aku tak menemukannya.“Nggak ada pohonnya. Apa cuma lewat kebawa angin aja ya? Bodo amat ah ….”Tak kubuat pusing, aku kembali meneruskan perjalananku menuju mobil. Toh, masih siang juga. Otakku tak memikirkan hal aneh.“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, kenapa ibu makin ke sini makin nyebelin ya? Atau memang dari dulu begitu? Baru akhir-akhir ini saja aku yang kena terus. Kamu pasti sering begini ya, Dek?”Kami sudah menyendiri di dalam kamar, mendiskusikan semua yang sedang terjadi.Mendengar perkataannya seperti itu, mungkin dia baru menyadari jika selama ini alasanku menginginkan untuk pindah dari rumah ini adalah karena masalah yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Ibunya terlalu keras kepala dan selalu berkomentar tentang segala hal.“Iya … emang begitu, Mas. Kamu merasakannya ‘kan sekarang? Semenjak kita memutuskan untuk punya anak, ibu semakin berlebihan gini. Masa iya, kebutuhanmu Eliza yang memenuhi segalanya. Kalau masalah sepele nggak mungkin aku merasa lelah ‘kan Mas.”“Nah itu makanya, Dek. Soal makanku segala, ibu mengomentarinya. Aku makan banyak buat apa coba? Ngomongnya buat kebaikanku. Emangnya selama ini p
Seketika aku bangun dari tempat tidur. Tadinya malas-malasan, kini terpaksa harus bangun mencari mas Lutfan. Baru hari ini dia seperti ini. Tak pernah kita tidur terpisah meski hanya semalam.Aku segera pergi keluar kamar. Aku pun belum sempat mandi demi mencari keberadaan mas Lutfan.“Mas … kamu kenapa sih? Kenapa pagi-pagi sudah nggak ada di kamar. Biasanya aku yang selalu membangunkanmu. Kamu tuh susah bangun sendiri, tapi kenapa sekarang kamu nggak ada di kamar?”Aku hanya bergumam sendiri. Sekhawatir ini saat mengetahui tak ada mas Lutfan di sampingku.Kaki ini kubawa pergi ke dapur. Namun di sana masih gelap belum ada siapa-siapa.“Tumben ibu belum di dapur.”Aku kembali bergumam dan tak memikirkannya begitu dalam. Aku masih fokus untuk mencari keberadaan mas Lutfan.‘Mas Lutfan dimana sih?’ batinku semakin khawatir.Dari arah ruang
“Udah mateng belum, Dek? Tumben nih, aku udah kerasa lapar.”Mas Lutfan datang menghampiriku. Jam di dinding belum genap pukul enam, masih seperempat jam lagi. Tapi dia sudah meminta makan kepadaku. Tumben sekali.“Tumben kamu, Mas? Belum ada jam enam lho ini,” ucapku.Tanpa sengaja aku melihat ibu mertua tersenyum puas. Tapi mulutnya belum berkomentar apa-apa. Biasanya beliau langsung berkomentar.”Ya … mungkin, karena tadi malam, Dek. Hehe ….”Seketika tanganku mencubitnya. Bisa-bisanya berbicara seperti itu dihadapan banyak orang. Meski mereka memahami, aku tuh yang merasa malu. Nadanya pun sepertinya bercanda dan sedang meledekku, tapi apa pun itu, aku tetap malu.“Aduh Dek, sakit,” pekiknya seraya memegang lengan bekas cubitanku.Aku tak membalas ucapan mas Lutfan, hanya saja mataku mengisyaratkan jika aku tak suka.
“Dek, soal pertanyaan yang ibu tanyakan tadi sama kamu, dijawab apa, Dek?” tanya mas Lutfan, dia tiba-tiba mempertanyakannya lagi.“Emmm, itu Mas. Aku jawabnya, emm … jawab itu, tergantung … emm, inginnya kamu, Mas.” Sebenarnya aku malu mengatakannya. Entah mengapa, padahal dia suamiku.Saat ini kami sedang berjalan ke arah garasi. Tak lama lagi kami akan sampai di sana.“Kamu beneran jawab gitu, Dek?”Mas Lutfan sepertinya sangat bahagia mendengar jawabanku. Senyumnya mengembang sangat manis. Tapi aku malu dengan jawabanku sendiri.“Iya, Mas … udah dong, aku malu tau!” Dahiku mengernyit dan bibirku mulai mengerucut.“Lho? Kok malu sih, Dek? Padahal aku seneng banget lho, tau jawabanmu kayak gitu. Berarti, terserah inginku ‘kan, Dek. Hehe ….”Sengaja mas Lutfan mengulangnya lagi. Dia suka jika aku sed